Pages

28 October, 2014

Seseorang yang (pernah) istimewa dalam hidupmu



Aku masih ingat nuansa serba tujuh saat kamu menyatakan cinta. Ya, kamu begitu menggilai angka tujuh. Kamu bilang angka tujuh adalah angka kita. Padahal hari lahirmu atau pun hari lahirku bukan tujuh. Pun, kamu dan bukan anak atau cucu ketujuh. Tapi, kamu mendesain momen istimewa, tanggal tujuh, bulan tujuh dan tahun berakhiran tujuh. Aku curiga, apa benar kamu menunggu waktu yang tepat selama itu, atau pada saat itu kamu baru saja jatuh hati padaku? Bagaimana misalnya, kamu kelewatan tanggal cantik itu? Akankah kamu tetap menyatakan cintamu padaku? Haha… entahlah.

Lalu, setelah sekian lama kita asyik dengan kesibukan masing-masing, tepat tujuh tahun dari waktu itu, kita bertemu kembali. Aku mulai bertanya-tanya, apa gerangan dengan angka tujuh? Benarkah angka itu istimewa dan ajaib bagi kita?

Pertemuan tak sengaja, di kereta. Aah… aku dan imajiku selalu menempatkan stasiun, dan bandara sebagai tempat romantis sekaligus menyakitkan, sebab dalam cerita klise, kedua tempat itulah biasanya yang digunakan sebagai tempat pertemuan dan—lebih banyak—perpisahan. Mana kutahu, di tengah sesaknya penumpang, ada kamu di sebelahku. Kamu yang menyadari terlebih dahulu. Yaa.. selalu saja kamu, sama seperti kamu yang lebih dahulu menyadari ada rasa suka di antara kita. Sedangkan aku, agak lambat, baru menyadari saat kamu pergi. Kembali pada pertemuan di kereta yang penuh sesak, kamu mengenaliku dan menegur, “Hai, Apa kabar?”

Aku begitu bodoh, menyadari bahwa ada teguran, tapi tak menyangka bahwa akulah objek yang ditegur, sehingga kamu menyentuh halus pundakku yang lebih pendek darimu, dan mengulangi, “Hai, Apa kabar?”

Aku menoleh ke kanan—lebih tepatnya mendongak. Karena kamu terasa semakin tinggi dari kali terakhir aku melihatmu. Tak heran, hobimu kan berenang dan bermain basket.—dan sempat terpaku sekian detik mengenali matamu. Mata yang sama, yang pernah membuatku begitu nyaman menatapnya, seperti saat aku menatap kolam renang yang biru. Membuatku ingin terus berada di sana, tenggelam dalam birunya. Untunglah, sentakan kereta saat berguncang menyadarkanku dari hipnosis itu.

Aku tersenyum dan membalasmu dengan pendek. Yaa, agak sulit untukku membuka percakapan kembali denganmu. Sebab, dengan membuka percakapan, aku takut ada bagian lain dalam diriku yang ikut terkoyak, terbuka dan kembali pedih. Sebab kamu seperti mentari yang begitu menyengat. Aku tak bisa mendekat. Tapi kamu dengan kekeraskepalaanmu, masih saja mencoba membuka percakapan. Bertanya kabar keluargaku, teman-teman dekatku, kegemaranku, dan kehidupanku setelah tanpamu. Aku hanya menjawab sekadar. Sependek mungkin. Hingga mungkin kamu menyadari, ada keengganan dalam nada bicaraku. Perlahan kita diam. Aku mulai menyibukkan diri dengan membaca pesan-pesan di ponselku. Kamu pun sama. Kita seketika menjadi sibuk di dunia maya sana, padahal kita begitu dekat. Sejujurnya, aku benci keadaan ini. Berharap segera saja kereta berhenti di tujuan akhirnya, sehingga kamu dan aku bisa lepas dan kembali menjadi dua orang yang tak lagi saling mengenal. Syukurlah, harapanku tak lama terwujud. Kereta tiba di stasiun terakhir. Sudah kusiapkan kalimat basa-basi untuk pamit padamu. Tapi, lagi-lagi kamu lebih cepat dariku. Kamu menutup pertemuan itu dengan kalimat, “Lucu ya, setelah tujuh tahun tak bertemu, tak sengaja kita dipertemukan. Mengapa saat denganmu, angka tujuh begitu melekat ya?”

“…..” Damn! Aku kehabisan kata-kata mendengar kalimatmu.

“Baiklah, sampai jumpa.”

Lalu kamu melangkah pergi. Kembali pergi, sama seperti saat kamu melangkah pergi dari kehidupanku.

Aku hanya berharap, semoga “Sampai jumpa” tak akan menjelma pertemuan.

Cukup.

Meta morfillah

4 comments:

Text Widget