Pages

10 October, 2014

Bukankah begitu?

Kau tahu?
Aku selalu berdoa semoga tidak bertemu dengan gadis satu almamater. Bila pun bertemu, aku selalu berharap itu berada di dunia luar. Tidak saling mengetahui asal usul kita. Lalu, sama-sama tertawa saat tahu ternyata kita saat almamater.

Kau tahu?
Aku tidak pernah mencari seorang gadis satu almamater. Bangku sekolah ini terlalu arogan, terlalu keras, dan terlalu melangit. Seringkali memandang begitu jauh hingga lupa apa yang ada di dekat. Seringkali melihat dari atas dan lupa bahwa kita semua sejajar mata.

Aku tidak pernah mencari. Tapi seperti dulu aku bilang, ‘Jangan Jakarta’. Nyatanya aku justru hidup di tengah-tengahnya. Mungkin benar kata orang, hati-hati terhadap kata-kata sendiri.

Bila saja kita bertemu di dalam almamater sana, mungkin aku sama sekali tidak akan memikirkanmu. Sayangnya ceritanya tidak begitu. Kita harus bertemu di kala hujan. Saat kita sama-sama kalah oleh dingin dan basah air. Saat kita harus bersembunyi di bawah atap-atap yang melindungi kita dari kejaran hujan. Kita bertemu. Pertemuan pertama.


(Karya Kurniawan Gunadi)



Hati-hati terhadap kata. Mulutmu harimaumu. Yaa.. Sering kali, kita berharap tak mendapatkan orang-orang dekat, sealmamater, atau bahkan sahabat sebagai jodoh kita. Tapi, katanya jodoh itu dekat. Yaa, mulailah cari dari yang dekat-dekat. Hahaa... Lucu kan. Hidup begitu banyak paradoks.

Padahal, kita ingin orang lain, yang kadang masih merupakan misteri bagi kita, agar dapat memberi warna baru dalam hidup kita. Hingga kita mencari sejauh mungkin, nyatanya dia yang kita cari selama ini ada di samping kita. Membersamai langkah kita.

Padahal, kita sengaja tak memilihnya, karena kita sudah terlalu mengenal buruk baiknya. Tapi, saat kita lelah mencari, lalu kita mulai tersadar bahwa dia yang selalu membuat kita nyaman, maka kita memilihnya. Pencarian berakhir. Mana kita tahu, jadinya akan begini? Skenario awal, skenario buatan kita tak berjalan dengan mulus. Terbukti, kan, bahwa semua akan mengikuti skenarioNya. Kita, hanya perlu menjalankan peran kita sebaik-baiknya. Masalah ending, ya sutradara--dalam hal ini Tuhanlah--yang menentukan.

Sesadar apa pun logika kita. Setinggi apa pun standar kita. Sebanyak apa pun batasan yang kita cipta. Semua akan sirna, bila kita telah jatuh, mungkin lebih tepatnya menemukan akar kecocokan pada seseorang. Bukan dia yang rupawan, cerdas, kaya, atau keturunan bangsawan. Melainkan dia, yang melengkapi rusuk kita. Memberi kenyamanan, keamanan dan membuat kita merasa tak perlu memoles make up untuk tampil cantik di hadapannya. Sebab, dalam segala keadaan, kita merasa cantik bila ada dia di dekat kita. Dia yang mampu membuat kita tersenyum seharian. Ada atau pun tak ada. Bukankah begitu?




Meta morfillah


NB: Mas Gun, begitu panggilannya... Melalui tulisannya, seringkali membuat saya berpikir ulang tentang pemahaman hidup dari sisi lelaki. Ternyata, ada banyak kesamaan yang dipikirkan oleh kepala yang berbeda. Tulisannya pun memiliki ruh, yang menurut saya sama dengan tulisan saya. Lepas, fragmen-fragmen, tanpa tokoh yang jelas, hanya ingin menyampaikan satu pesan. Selalu tentang cinta. Tak bosan. Senang rasanya mengetahui bahwa ada seseorang (mungkin banyak orang) yang memiliki pemikiran sama, cara menulis dengan diksi dan tak banyak kata, demi menyampaikan pemahaman hidup yang lebih baik. Mungkin, inilah tulisan yang selama ini saya cari. Mas gun berhasil menelurkan buku 'Hujan Matahari' dan sukses dengan akun soundcloud suaracerita yang digagas dengan dokter fina. Ah, keren sekali. Saya iri. Saya mau juga. Hihii..

No comments:

Post a Comment

Text Widget