Pages

16 October, 2014

Pernah merasa sama sepertiku?



Pernah merasa sama sepertiku?

Saat bersama mama—satu-satunya orang yang kupercayakan hatiku padanya—seringkali jiwa kekanak-kanakanku menjadi lebih gigantis. Di hadapannya, aku benar-benar menjadi diriku yang sesungguhnya, tanpa sedikit pun berusaha jaga image, semua keburukanku pastinya mama yang paling tahu. Saat mama di sampingku, aku tak takut bangun siang. Bahkan sepertinya, selama mama ada di kosanku, aku jadi bangun lebih siang. Sebab terlalu nyaman tidur bersamanya. Di dekatnya. Tak takut ketinggalan salat subuh, sebab pasti ada yang membangunkanku dari tidur lelapku. Tak perlu bicara, sarapan sudah selalu tersedia. Walau itu semua didapatkan dengan iringan “nyanyian khas” mama.

“Anak gadis bangun siang, rezekinya dipatok ayam!”

“Gimana mau jadi istri dan ibu kalau hidupmu kayak gini?”

“Pantas kamu sakit melulu. Ga ketemu matahari, sih!”

Yaa… di hadapan mamaku, aku amat sangat tidak mandiri. Tak heran, bila kusela “nyanyiannya” dengan bilang bahwa aku tak begitu saat mama tak ada, mama tak percaya. Haha… semua orang apalagi orang tua, memang melihat bukti, toh!

Tapi, itulah yang terjadi. Saat mama tak di sisiku, alarm tubuhku mendadak aktif. Bahkan aku menjelma sepertinya. Tidurku menjadi jarang. Bangunku lebih pagi. Kamarku selalu bersih dan rapi, sebab aku membunuh sepi dan kekosongan dengan bebenah. Tumpukan cucian pun tidak ada—kecuali air mati atau tidak naik ke kosanku. Aku menjadi sadar diri dan mawas diri, bahwa tak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri. Aku jadi lebih pandai mengontrol pola makan, bahkan mendisiplinkan diri untuk tak melewatkan makan—sebab biasanya aku paling malas makan. Juga, aku menjadi begitu perhatian terhadap apa yang kumakan karena tak mau sakit. Sebab, jauh dari orang tua, sendirian, di kosan, itu adalah hal yang cukup menyiksa. Akan lebih menyiksa lagi, bila ditambah sakit. Pernah aku mengalami, pingsan di kamar sendiri hingga sadar sendiri. Sungguh, tak enak rasanya. Sakit tanpa ada seorang pun yang tahu apalagi menemani. Berbeda saat ada mama. Aku sering bermanja-manja, mengeluhkan segala penyakitku. Bukan obat yang kucari, hanya perhatiannya saja. Belaian dan pelukan mama sudah menjadi obatnya.

Sungguh lucu, bukan? Semandiri apa pun, aku menjadi demikian manja dan melemah di hadapan mama. Seakan mama adalah batu kryptoniteku. Kekuatan sekaligus kelemahanku. Tak peduli usia, atau seberapa tangguhnya aku di luar sana. Saat kembali di hadapan mama, mendadak aku menjelma menjadi anak gadis kecilnya yang tak kunjung menua. Dan aku menikmatinya.

Pernah, kalian merasakan hal yang sama denganku?


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget