Pages

13 October, 2014

Cara ibu menjagaku

"Suatu hari nanti, akan ada laki-laki yang cukup sopan untuk mengetuk pintu hatimu. Meminta masuk. Perkara kamu mengizinkannya masuk atau tidak, sepenuhnya hakmu." (Dikutip dari twitter kurniawan gunadi)

Ibu berhenti sejenak, memandang pohon jambu di pekarangan rumah kami, yang tampak berjuang mengalahkan tinggi pagar.

"Kautahu, mengapa ibu pasangkan cincin emas di jari manis kirimu? Cincin sederhana, tak berukir, sehingga banyak orang salah paham mengartikan bahwa kausudah menikah atau bertunangan?"

Aku menggeleng perlahan, sembari mengamati wajahnya lamat-lamat. Wajah ibu nampak serius, seperti ada beban berat yang ingin ia tumpahkan. Mengingatkanku pada langit yang digantungi awan hujan cumulonimbus. Hanya soal waktu, menunggu sebuah cerita mengalir bagaikan hujan menderas.

"Memang ibu sengaja membuat orang lain salah paham terhadap keadaanmu."

Ibu tersenyum dan memandangku yang keheranan.

"Maksudnya?"

"Bukankah kamu sering bercerita bahwa bosmu, rekan kerja, teman-teman, dan orang yang baru saja berkenalan denganmu selalu memandang jari manis kirimu dan mengajukan pertanyaan yang sama? Bertanya, apakah kausudah menikah?"

"Iya."

"Bahkan, ketika kaujawab dengan jujur pun, kadang mereka tak percaya? Ada saja yang mengira bahwa kaumemang telah menikah, bukan?"

"Hmm... Iya."

"Justru memang itulah yang ibu harapkan."

"Loh, kok? Justru aku jadi pusing karenanya, Bu. Berkali-kali aku harus menjelaskan dan meyakinkan bahwa ini adalah cincin hadiah dari Ibu. Aku sampai lelah dan bosan. Kadang kuiyakan saja, bila mereka bertanya terus apakah aku sudah menikah."

Saat mengatakan kalimat tersebut, aku sadar wajahku pasti agak manyun. Mulutku mencibir seperti gaya bebek, sehingga menyebabkan ibu tertawa.

"Baguslah. Sebab, cincin itu adalah salah satu pengaman yang ibu pasang untukmu."

"Hah?! Ibu pasang jimat di cincin? Aduuuh... Musyrik, Bu! Bahaya! Astagfirullah..."

"Bukan begitu. Tapi, berkat cincin itu Ibu akan tahu siapa yang serius mencintaimu dan siapa yang tidak. Sebab, bila dia memang serius mencintaimu, dia pasti akan mendatangi ibu. Bertanya, apakah kamu jujur bahwa kamu memang belum menikah. Lalu, dia pasti akan memintamu dari ibu. Dan bila dia tidak serius, pasti nyalinya akan ciut melihat cincin di jari manismu. Berpikir bahwa kautelah ada yang memiliki. Bagi orang yang baru saja mengenalmu pun, mereka tidak akan berani macam-macam, karena berpikir bahwa kasudah memiliki suami yang menjagamu. Padahal sesungguhnya, kamu masihlah gadis kecil ibu."

Aku terperangah mendengar penjelasan ibu. Cincin yang kukenakan--entah sejak kapan--ini ternyata memiliki makna yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar hadiah dari ibu, melainkan penjagaku, yang mungkin juga telah terapalkan sebuah doa ibu saat memakaikannya di jari manis kiriku.

"Dan ini pula yang ibu katakan pada lelaki yang baru saja datang memintamu... Kautahu, Sayang, lelaki itu cukup sopan memintamu. Kini, keputusan ada di tanganmu. Apakah kamu akan mengizinkan dia menjadi bagian hidupmu atau tidak. Penjagaan ibu hanya mampu sebatas ini saja. Selebihnya, hidupmu adalah milikmu. Ibu hanya dapat mendoakanmu, semoga kamu mampu memilih yang terbaik menurutNya. Tapi ketahuilah satu hal yang pasti! Bila kamu tersakiti, maka akan ada seseorang yang berkali lipat sakitnya dibandingkan dirimu. Begitu pula, bila kamu bahagia, maka akan ada seseorang yang berkali lipat bahagianya dibandingkan dirimu. Dan itu adalah aku. Ibumu."



Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget