“kapan kita bertemu? Saling
mengenal??”
Kau diam.
“tak ingat ya?? Sepertinya
perkenalan kita mengalir sebagaimana air kepada lautan. Dekat tak terpisahkan.
Tak terencana pertemuan kita, mungkin begitu pula perpisahan kita nanti.”
“perpisahan?”
“….Ibarat sandal dan sepatu kita
tak mungkin bersatu. Karena tidak ada irisan antara duniaku dan duniamu. Hanya
saja, perbedaan itu semoga menjadikan kita seperti rel kereta yang tidak pernah
bertemu namun selalu bersisian,,MENSINERGISKAN perbedaan kita demi sebuah
MANFAAT yang besar.. menegakkan kalimah-Nya di bumi cinta ini...”
“retorika??”
Aku tersenyum.
“hujan.. tiap malam selalu
hujan.”
“kau tidak suka kedatanganku di
kala malam?”
“bukan,,bukan tentangmu.
Tentangku. Hujan di malam hari dari dua benda yang berbinar dan hidup di siang
harinya. Entah mengapa, setiap malam dua benda itu seakan mati tertutup dan
hujan. Hujan yang berasal dari segumpal daging yang merajai tubuh.”
“Mengapa?”
Hening. Dan hanya ada sang bulan
pucat menengarai di atas sana. Di kota kita.
No comments:
Post a Comment