“Aku sering bersama Rasulullah,”
kata Hanzhalah, “Beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku
melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku keluar dari sisi beliau, lalu
bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, aku pun banyak
melupakannya. Semua bayangan tentang Allah, surga, dan neraka seakan tak tersisa.”
“ Demi Allah! Sesungguhnya kami
juga merasakan hal seperti itu!” Abu Bakar membenarkan.
Rasulullah tersenyum dan
menanggapi, “Demi Dzat yang jiwaku di TanganNya. Seandainya kalian selalu dalam
keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam keadaan berzikir,
niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur dan di
jalan-jalan kalian. Akan tetapi, sesaat demi sesaat, wahai
Hanzhalah. Sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah. Sesaat
demi sesaat."
Beruntungnya para nabi dan rasulullah
yang diutus adalah manusia. Kalangan kita sendiri. Mereka pun memiliki
persoalan yang sama. Iman mereka naik dan turun. Karena mereka tidak sestabil
malaikat. Begitu juga para sahabatnya. Mereka cerminan kita. Sama dengan yang
saya rasakan saat ini. Saat bersama dengan teman-teman yang akhwat [istilah
untuk anak-anak rajin mengaji & alim], saya akan menjadi lebih alim dan
rajin juga. Tetapi ketika pulang dari kampus dan kembali ke rutinitas saya,
saya lupa tentang ibadah, hal yang saya dapat dari mentoring bahkan terkadang
abai dan lalai.
Seperti bermuka dua. Munafik
sekali diri saya. Lain di kampus, lain di rumah, lain belajar, lain bermain.
Hidup hanya untuk hari ini. Untuk berbuat yang terbaik. Dan untuk merasakan
kesenangan sesekali yang fana juga. Diam-diam hati ini menegur dan berontak.
Karena ia merasa “dimatikan” berkali-kali oleh saya.
Akhirnya sang setan sering
menang, dan saya merasa muak dengan diri saya yang terlihat “sok baik”. Pikiran
jadi sempit, kemarahan mudah merayapi diri. Dan dampak terbesarnya saya jadi
anti dengan orang “sok putih”.
Qur’an di lemari buku tampak
murung. Tak kusentuh ia sekitar 3 bulan. Sajadah sering terisak kala malam.
Sering kulalaikan berdua dengannya untuk solat Isya dan tahajud. Perut
berdemonstrasi dengan kesakitannya. Ia menuntut untuk puasa sunnah yang biasa
dilakukan. Dan itu semua dilalui dengan sadar. Namun diri ini seperti zombie.
Berjalan tanpa adanya kehidupan. Hubungan dengan teman terasa hambar. Dan
mereka semakin jauh, seperti tertelan kabut.
Saya tak terbiasa membuat
resolusi. Dan tak suka, mungkin tak akan pernah. Hanya saya berupaya di tahun
2011 nanti, semoga saya menjalani hidup semakin baik. Cukup tahun 2010 tahun
yang sangat berat terhitung mulai Oktober hingga Desember ini. Sifat jelek saya
sangat terekspos dan teraktualisasikan di tahun ini.
Sesaat demi sesaat mohon temani langkahku wahai
agenda hadiah keluarga BEM FIP.
Sesaat demi sesaat akan kucoba nasihatmu ya
Rasul…
No comments:
Post a Comment