Sejak
di Pikiran
Meta morfillah
“Kamu ke mana aja sih, Ta?” Eudia
merajuk sebal pada kekasihnya. Lelaki dengan postur kukuh, alis hitam lebat dan
kulit sawo matang di hadapannya hanya nyengir. Cengiran khas yang menampakkan
gigi putih terawat. Membuat Eudia menahan amarahnya.
“Iih... ditanya malah nyengir. Aku
nyariin kamu seharian tahu! Ditelepon ga aktif, diwhatsapp contreng satu. Ke mana hape kamu dua-duanya? Gak usah
punya hape kalau gak bisa dihubungi.” Eudia mengomel panjang lebar.
“Maaf, beb. Aku tadi ke Pedongkelan. Gantiin Fida yang tiba-tiba gak bisa
ngajar anak-anak itu. Hape aku dua-duanya low-bat,
dari kemarin aku lupa charge.”
“Huh… terus aja urusin anak-anak
gembel itu. Lupain aja aku!” Eudia kesal sekali. Ini bukan kali pertama Duta menelantarkan
dirinya demi anak-anak gembel—sebutan Eudia pada anak-anak marjinal di
Pedongkelan—itu. Ini memang risiko yang harus diterima Eudia ketika ia
mengiyakan permintaan Duta untuk menjadikan Eudia wanitanya. Kalau kau ingin
tahu seperti apa Duta, kau bayangkan aktivis yang sering tersorot televisi
ketika ada demo atau long march. Yaa... Duta adalah orang yang sangat vokal dan
begitu mudah terbakar bila isu sosial disajikan di depan matanya. Kadang Eudia
pun sedikit menyesal telah menerima lelaki ini di hidupnya. Tapi gadis mana
yang tidak akan luluh melihat wajah manis Duta, dengan tubuh tegap dan rahang
keras yang menunjukkan tekad kuatnya. Ditambah kelihaiannya berorasi, teatrikal
dan memainkan gitar. Musikalisasi puisi serta lagu-lagu yang dibuat khusus
untuk Eudia dan dinyanyikan dengan permainan gitarnya telah meluluhkan Eudia. Bukankah
tidak ada lelaki yang sanggup memainkan gitar dengan lihai yang tidak
mempesona?
“Beb,
jangan begitu dong. Kamu kan belum pernah melihat mereka dari dekat, secara
langsung. Masak kamu sudah men-judge
duluan. It’s not fair, beb! Don’t judge
book by it’s cover, isn’t it?”
Eudia diam dan menatap lurus ke
taman kampusnya. Ia sungguh kesal mendengar pembelaan Duta terhadap anak-anak
tersebut.
“Gini deh, minggu ini aku akan
jemput kamu. Kita jalan-jalan, sebagai penebus dosaku karena nelantarin kamu
seharian ini. Gimana, beb?”
Eudia memalingkan tatapannya ke mata
Duta. Mencari kesungguhan di sana.
“Janji?” Eudia memastikan.
“Iyaa… janji. Sudah, jangan
cemberut. Yuk… kita pulang. Aku antar kamu sampai rumah.” Duta beranjak dari
tempatnya duduk dan mengulurkan tangannya pada Eudia. Eudia menerima uluran
tangan Duta dan tersenyum tipis. Mereka bergandengan tangan menuju tempat
parkir motor.
Kamu
menyebalkan, tapi kamu selalu membuatku nyaman. Dasar! Gumam Eudia sembari
melirik Duta yang berjalan di sebelahnya.
***
“TIIKAAAA”
“Yaa… Non, sebentaaarrrr.”
Tika, pembantu berusia dua puluh
tahun itu bergegas menuju kamar Eudia. Telat sedikit saja, ia akan mendapatkan
kerepotan lain dari sang Nona Besar. Maklum, Eudia adalah anak tunggal yang
terlanjur kaya dari lahir. Segala keinginannya biasa terpenuhi dalam waktu
cepat dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Seperti proklamasi.
“Yaa... Non. Ada apa memanggil
saya?” Tika memasuki kamar bersuasana serba biru muda dan putih itu. Yaa..
Eudia adalah blue lovers. Di sudut
yang seharusnya terlihat sebuah tempat tidur berukuran King, tampak berserakan baju-baju Eudia. Hanya sudut itu yang tampak
sehabis disambangi badai El Nino, di antara
keteraturan kamar gadis itu. Tanpa sadar Tika menghela nafas panjang. Terbayang
bahwa dia akan membereskan kekacauan tersebut.
“Gw bingung, Tik. Mau pakai baju apa
buat jalan sama Duta nanti. Pilihin dong satu. Bagusan midi peach, balero pink
sama dress putih ini atau casual jeans aja?” Eudia menunjukkan tiga buah
pasangan baju yang ia maksud.
Ya
Tuhan, kayak gini aja sampai ngeluarin isi lemari! Keluh Tika dalam hati.
“Mau perginya ke mana, Non?”
“Gak tahu. Duta ngerahasiain.
Katanya surprise. Makanya aku bingung
mau pakai baju apa.” Eudia merajuk.
“Hmm… pakai balero pink dan dress
putih aja, Non. Kalau jeans terlalu biasa. Kalau midi, nanti Non susah naik
motornya. Pahanya keliatan-keliatan, loh!”
“Hmm… iya juga ya. Nanti aku
diomelin sama Mama. Oke deh. Thanks, Tika. You’re
my hero!” ujar Eudia sembari melemparkan senyum tulusnya pada Tika. Membuat
Tika menggeleng-gelengkan kepalanya. Nona besar yang satu itu memang manja,
tapi pada dasarnya baik hati.
***
“Itu Kak Duta dataaanggg!!!” Tunjuk
seorang anak lelaki berambut gimbal dengan ingus yang menggantung di hidungnya.
Seakan menunggu waktu untuk meluncur dari hidung sang anak tersebut. Usia anak
tersebut sekitar tujuh atau delapan tahun menurut Eudia. Di sekelilingnya
banyak sekali anak-anak dengan usia yang sepantaran anak tersebut bahkan jauh
lebih tua sepertinya. Eudia bergidik geli. Bagaimana bisa Duta mengajaknya
kencan ke tempat bau dan kotor seperti ini!
“Duta… ini di mana? Apa-apaan sih
kamu ajak aku ke tempat kayak gini?” Eudia bertanya tanpa mau turun dari motor
Scorpio Duta. Ia malah memeluk erat pinggang Duta dan merasa takut sekali
menginjakkan kaki di tempat tersebut.
“Ini pedongkelan, beb. Turun dulu yuk!” Duta melepaskan
pelukan erat Eudia dengan halus namun tegas. Dengan wajah merengut dan terpaksa
Eudia melepaskannya. Lalu ia ikut memijakkan kakinya di atas tumpukan beribu
botol bekas. Bahkan yang kupijak bukan
tanah, tapi botol bekas! Keluh Eudia.
“Kenapa kamu ajak aku ke sini!?” Eudia
tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya pada Duta. Rasanya ia ingin segera
berlari, menghentikan taksi dan pulang ke rumahnya yang nyaman. Sayangnya, ia
tak tahu jalan. Tempat ia berada saat ini adalah sebuah gang sempit dan berliku
di bantaran kali pedongkelan yang berwarna hijau dan sangat bau. Jadi, ia tetap
bertahan mengharapkan Duta untuk mengantarnya pulang.
“Aku sengaja ajak kamu ke sini,
karena aku gak suka kamu bilang mereka anak-anak gembel. Aku mau kamu tahu dulu
seperti apa kehidupan mereka. Baru kamu boleh nge-judge setelahnya.” Duta menjawab sembari melepas helmnya.
“Tapi kan…!”
Ucapan Eudia terputus karena
anak-anak tersebut bergerombol mengelilingi dan berebut memeluk Duta. Salah
seorang anak berkulit hitam dan bergigi tonggos tanpa malu-malu bertanya pada
Duta, “Kak Duta, itu siapa? Cantik banget! Mau jadi pacarku gak ya?” Gerr… Duta dan anak-anak itu tertawa
mendengarnya. Tidak dengan Eudia. Pipinya bersemu merah. Bukan karena malu,
melainkan marah. Berani-beraninya!
***
Setengah jam pertama Eudia hanya
diam di sudut ruangan (yang disebut) kelas. Memperhatikan Duta mengajar bahasa
inggris dengan bernyanyi sembari memetikkan gitar kecil—yang belakangan Eudia
ketahui bahwa itu disebut ukulele, dan dipakai oleh salah seorang anak di
Pedongkelan untuk mengamen—bersama anak-anak itu. Duta terlihat larut dan
senang. Tanpa sadar Eudia menikmati cara Duta mengajar dan ikut tersenyum
menanggapi beberapa kesalahan yang dibuat oleh lidah-lidah cadel yang belum
fasih berbahasa inggris tersebut.
Setengah jam kemudian, Eudia
mendengarkan penjelasan tentang kehidupan anak-anak tersebut dari Fida. Hari
itu Fida bertugas sebagai observer kelas, sehingga ia tidak mengajar dan dapat
menemani Eudia. Beruntunglah, karena Eudia hampir bosan juga kelamaan diabaikan
oleh Duta.
Dari Fida, Eudia mendapatkan latar
belakang hidup bocah-bocah di Pedongkelan. Kebanyakan dari mereka memiliki
orang tua yang bekerja sebagai pemulung. Namun hebatnya adalah, orang tua
mereka masih sadar akan pendidikan. Anak-anak di sana masih bersekolah. Mereka
mengamen atau berdagang asongan—tidak ada yang diijinkan mengemis—seusai pulang
sekolah. Bahkan di antara mereka, ada seorang anak bernama Tri yang baru saja
lolos olimpiade matematika untuk kelas 6 SD. Eudia tak menyangka. Selama ini di
pikirannya, anak-anak tersebut hanyalah anak-anak pemalas yang menjadikan
kemiskinan sebagai alasan. Semacam penyakit masyarakat, anak-anak yang hanya
tahu meminta tanpa mau bekerja keras dan belajar. Begitu pun orang tuanya.
Eudia pikir, sama saja seperti orang tua para pengamen di kolong jembatan, yang
enak saja menunggui ‘jatah’ dari hasil anaknya mengamen. Kerjanya hanya
merumpi, tidur bahkan tak jarang merokok. Orang tua durhaka. Menjadikan anaknya
sebagai aset dan ia yang menikmati. Sementara bocah-bocah kecil itu semakin tak
terpelajar.
“Yaa… memang banyak orang tua dan
anak-anak di jalanan dengan mental dan kondisi seperti yang kamu bilang, Eudia.
Tapi di Pedongkelan ini, kami memantau aktivitas mereka. Bahkan orang tuanya
pun tak kalah semangat belajarnya. Setiap selasa-kamis, kami mengadakan
pengajian untuk ibu-ibu dan bapaknya. Ini adalah program community development kami di kampus.”
Eudia mengangguk-anggukkan kepalanya
takjub. Tak menyangka sebegitu pedulinya Duta dan teman-teman aktivis
kampusnya.
“Dan bila kamu ingin menyalahkan
mereka, salahkan dirimu terlebih dahulu. Karena mereka adalah tanggung jawab
negara dan kita. Dalam pasal 34 UUD 1945 berbunyi ‘Fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara.’ Namun karena negara kita belum mampu,
maka seyogyanya kitalah yang membantu mereka, terutama orang-orang kaya… ng...
maaf ya Eudia, seperti kamu. Kami berharap besar kamu menjadi bagian dari
gerakan ini.” Ujar Fida tersenyum malu-malu.
Eudia merasa malu atas prasangkanya
selama ini. Yaa... ia men-judge tanpa
mau mengenal terlebih dahulu. Ia pun malu pada Duta. Eudia mengakui kebenaran
pendapat Duta dan Fida.
Ya
Tuhan… hidupku jauh lebih indah dibandingkan mereka. Maafkan aku, ya tuhan. Aku
berjanji akan membantu mereka semampuku. Aku tak mau lagi menjadi Eudia yang
manja. Maafkan Eudia, Ma, Pa, Tika, Duta. Eudia membulatkan tekadnya dalam
hati dan berjanji akan menjadi Eudia yang tidak lagi manja ataupun seenaknya
men-judge orang sejak dalam pikiran.
***
Meta morfillah
23 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment