Pages

02 December, 2013

[Cerpen] Sejak di Pikiran



Sejak di Pikiran
Meta morfillah

            “Kamu ke mana aja sih, Ta?” Eudia merajuk sebal pada kekasihnya. Lelaki dengan postur kukuh, alis hitam lebat dan kulit sawo matang di hadapannya hanya nyengir. Cengiran khas yang menampakkan gigi putih terawat. Membuat Eudia menahan amarahnya.
            “Iih... ditanya malah nyengir. Aku nyariin kamu seharian tahu! Ditelepon ga aktif, diwhatsapp contreng satu. Ke mana hape kamu dua-duanya? Gak usah punya hape kalau gak bisa dihubungi.” Eudia mengomel panjang lebar.
            “Maaf, beb. Aku tadi ke Pedongkelan. Gantiin Fida yang tiba-tiba gak bisa ngajar anak-anak itu. Hape aku dua-duanya low-bat, dari kemarin aku lupa charge.”
            “Huh… terus aja urusin anak-anak gembel itu. Lupain aja aku!” Eudia kesal sekali. Ini bukan kali pertama Duta menelantarkan dirinya demi anak-anak gembel—sebutan Eudia pada anak-anak marjinal di Pedongkelan—itu. Ini memang risiko yang harus diterima Eudia ketika ia mengiyakan permintaan Duta untuk menjadikan Eudia wanitanya. Kalau kau ingin tahu seperti apa Duta, kau bayangkan aktivis yang sering tersorot televisi ketika ada demo atau long march. Yaa... Duta adalah orang yang sangat vokal dan begitu mudah terbakar bila isu sosial disajikan di depan matanya. Kadang Eudia pun sedikit menyesal telah menerima lelaki ini di hidupnya. Tapi gadis mana yang tidak akan luluh melihat wajah manis Duta, dengan tubuh tegap dan rahang keras yang menunjukkan tekad kuatnya. Ditambah kelihaiannya berorasi, teatrikal dan memainkan gitar. Musikalisasi puisi serta lagu-lagu yang dibuat khusus untuk Eudia dan dinyanyikan dengan permainan gitarnya telah meluluhkan Eudia. Bukankah tidak ada lelaki yang sanggup memainkan gitar dengan lihai yang tidak mempesona?
            Beb, jangan begitu dong. Kamu kan belum pernah melihat mereka dari dekat, secara langsung. Masak kamu sudah men-judge duluan. It’s not fair, beb! Don’t judge book by it’s cover, isn’t it?”
            Eudia diam dan menatap lurus ke taman kampusnya. Ia sungguh kesal mendengar pembelaan Duta terhadap anak-anak tersebut.
            “Gini deh, minggu ini aku akan jemput kamu. Kita jalan-jalan, sebagai penebus dosaku karena nelantarin kamu seharian ini. Gimana, beb?”
            Eudia memalingkan tatapannya ke mata Duta. Mencari kesungguhan di sana.
            “Janji?” Eudia memastikan.
            “Iyaa… janji. Sudah, jangan cemberut. Yuk… kita pulang. Aku antar kamu sampai rumah.” Duta beranjak dari tempatnya duduk dan mengulurkan tangannya pada Eudia. Eudia menerima uluran tangan Duta dan tersenyum tipis. Mereka bergandengan tangan menuju tempat parkir motor.
            Kamu menyebalkan, tapi kamu selalu membuatku nyaman. Dasar! Gumam Eudia sembari melirik Duta yang berjalan di sebelahnya.
***
            “TIIKAAAA”
            “Yaa… Non, sebentaaarrrr.”
            Tika, pembantu berusia dua puluh tahun itu bergegas menuju kamar Eudia. Telat sedikit saja, ia akan mendapatkan kerepotan lain dari sang Nona Besar. Maklum, Eudia adalah anak tunggal yang terlanjur kaya dari lahir. Segala keinginannya biasa terpenuhi dalam waktu cepat dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Seperti proklamasi.
            “Yaa... Non. Ada apa memanggil saya?” Tika memasuki kamar bersuasana serba biru muda dan putih itu. Yaa.. Eudia adalah blue lovers. Di sudut yang seharusnya terlihat sebuah tempat tidur berukuran King, tampak berserakan baju-baju Eudia. Hanya sudut itu yang tampak sehabis disambangi badai El Nino, di  antara keteraturan kamar gadis itu. Tanpa sadar Tika menghela nafas panjang. Terbayang bahwa dia akan membereskan kekacauan tersebut.
            “Gw bingung, Tik. Mau pakai baju apa buat jalan sama Duta nanti. Pilihin dong satu. Bagusan midi peach, balero pink sama dress putih ini atau casual jeans aja?” Eudia menunjukkan tiga buah pasangan baju yang ia maksud.
            Ya Tuhan, kayak gini aja sampai ngeluarin isi lemari! Keluh Tika dalam hati.
            “Mau perginya ke mana, Non?”
            “Gak tahu. Duta ngerahasiain. Katanya surprise. Makanya aku bingung mau pakai baju apa.” Eudia merajuk.
            “Hmm… pakai balero pink dan dress putih aja, Non. Kalau jeans terlalu biasa. Kalau midi, nanti Non susah naik motornya. Pahanya keliatan-keliatan, loh!”
            “Hmm… iya juga ya. Nanti aku diomelin sama Mama. Oke deh. Thanks, Tika. You’re my hero!” ujar Eudia sembari melemparkan senyum tulusnya pada Tika. Membuat Tika menggeleng-gelengkan kepalanya. Nona besar yang satu itu memang manja, tapi pada dasarnya baik hati.
***
            “Itu Kak Duta dataaanggg!!!” Tunjuk seorang anak lelaki berambut gimbal dengan ingus yang menggantung di hidungnya. Seakan menunggu waktu untuk meluncur dari hidung sang anak tersebut. Usia anak tersebut sekitar tujuh atau delapan tahun menurut Eudia. Di sekelilingnya banyak sekali anak-anak dengan usia yang sepantaran anak tersebut bahkan jauh lebih tua sepertinya. Eudia bergidik geli. Bagaimana bisa Duta mengajaknya kencan ke tempat bau dan kotor seperti ini!
            “Duta… ini di mana? Apa-apaan sih kamu ajak aku ke tempat kayak gini?” Eudia bertanya tanpa mau turun dari motor Scorpio Duta. Ia malah memeluk erat pinggang Duta dan merasa takut sekali menginjakkan kaki di tempat tersebut.
            “Ini pedongkelan, beb. Turun dulu yuk!” Duta melepaskan pelukan erat Eudia dengan halus namun tegas. Dengan wajah merengut dan terpaksa Eudia melepaskannya. Lalu ia ikut memijakkan kakinya di atas tumpukan beribu botol bekas. Bahkan yang kupijak bukan tanah, tapi botol bekas! Keluh Eudia.
            “Kenapa kamu ajak aku ke sini!?” Eudia tak dapat lagi menyembunyikan kekesalannya pada Duta. Rasanya ia ingin segera berlari, menghentikan taksi dan pulang ke rumahnya yang nyaman. Sayangnya, ia tak tahu jalan. Tempat ia berada saat ini adalah sebuah gang sempit dan berliku di bantaran kali pedongkelan yang berwarna hijau dan sangat bau. Jadi, ia tetap bertahan mengharapkan Duta untuk mengantarnya pulang.
            “Aku sengaja ajak kamu ke sini, karena aku gak suka kamu bilang mereka anak-anak gembel. Aku mau kamu tahu dulu seperti apa kehidupan mereka. Baru kamu boleh nge-judge setelahnya.” Duta menjawab sembari melepas helmnya.
            “Tapi kan…!”
            Ucapan Eudia terputus karena anak-anak tersebut bergerombol mengelilingi dan berebut memeluk Duta. Salah seorang anak berkulit hitam dan bergigi tonggos tanpa malu-malu bertanya pada Duta, “Kak Duta, itu siapa? Cantik banget! Mau jadi pacarku gak ya?” Gerr… Duta dan anak-anak itu tertawa mendengarnya. Tidak dengan Eudia. Pipinya bersemu merah. Bukan karena malu, melainkan marah. Berani-beraninya!
***
            Setengah jam pertama Eudia hanya diam di sudut ruangan (yang disebut) kelas. Memperhatikan Duta mengajar bahasa inggris dengan bernyanyi sembari memetikkan gitar kecil—yang belakangan Eudia ketahui bahwa itu disebut ukulele, dan dipakai oleh salah seorang anak di Pedongkelan untuk mengamen—bersama anak-anak itu. Duta terlihat larut dan senang. Tanpa sadar Eudia menikmati cara Duta mengajar dan ikut tersenyum menanggapi beberapa kesalahan yang dibuat oleh lidah-lidah cadel yang belum fasih berbahasa inggris tersebut.
            Setengah jam kemudian, Eudia mendengarkan penjelasan tentang kehidupan anak-anak tersebut dari Fida. Hari itu Fida bertugas sebagai observer kelas, sehingga ia tidak mengajar dan dapat menemani Eudia. Beruntunglah, karena Eudia hampir bosan juga kelamaan diabaikan oleh Duta.
            Dari Fida, Eudia mendapatkan latar belakang hidup bocah-bocah di Pedongkelan. Kebanyakan dari mereka memiliki orang tua yang bekerja sebagai pemulung. Namun hebatnya adalah, orang tua mereka masih sadar akan pendidikan. Anak-anak di sana masih bersekolah. Mereka mengamen atau berdagang asongan—tidak ada yang diijinkan mengemis—seusai pulang sekolah. Bahkan di antara mereka, ada seorang anak bernama Tri yang baru saja lolos olimpiade matematika untuk kelas 6 SD. Eudia tak menyangka. Selama ini di pikirannya, anak-anak tersebut hanyalah anak-anak pemalas yang menjadikan kemiskinan sebagai alasan. Semacam penyakit masyarakat, anak-anak yang hanya tahu meminta tanpa mau bekerja keras dan belajar. Begitu pun orang tuanya. Eudia pikir, sama saja seperti orang tua para pengamen di kolong jembatan, yang enak saja menunggui ‘jatah’ dari hasil anaknya mengamen. Kerjanya hanya merumpi, tidur bahkan tak jarang merokok. Orang tua durhaka. Menjadikan anaknya sebagai aset dan ia yang menikmati. Sementara bocah-bocah kecil itu semakin tak terpelajar.
            “Yaa… memang banyak orang tua dan anak-anak di jalanan dengan mental dan kondisi seperti yang kamu bilang, Eudia. Tapi di Pedongkelan ini, kami memantau aktivitas mereka. Bahkan orang tuanya pun tak kalah semangat belajarnya. Setiap selasa-kamis, kami mengadakan pengajian untuk ibu-ibu dan bapaknya. Ini adalah program community development kami di kampus.”
            Eudia mengangguk-anggukkan kepalanya takjub. Tak menyangka sebegitu pedulinya Duta dan teman-teman aktivis kampusnya.
            “Dan bila kamu ingin menyalahkan mereka, salahkan dirimu terlebih dahulu. Karena mereka adalah tanggung jawab negara dan kita. Dalam pasal 34 UUD 1945 berbunyi ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.’ Namun karena negara kita belum mampu, maka seyogyanya kitalah yang membantu mereka, terutama orang-orang kaya… ng... maaf ya Eudia, seperti kamu. Kami berharap besar kamu menjadi bagian dari gerakan ini.” Ujar Fida tersenyum malu-malu.
            Eudia merasa malu atas prasangkanya selama ini. Yaa... ia men-judge tanpa mau mengenal terlebih dahulu. Ia pun malu pada Duta. Eudia mengakui kebenaran pendapat Duta dan Fida.
            Ya Tuhan… hidupku jauh lebih indah dibandingkan mereka. Maafkan aku, ya tuhan. Aku berjanji akan membantu mereka semampuku. Aku tak mau lagi menjadi Eudia yang manja. Maafkan Eudia, Ma, Pa, Tika, Duta. Eudia membulatkan tekadnya dalam hati dan berjanji akan menjadi Eudia yang tidak lagi manja ataupun seenaknya men-judge orang sejak dalam pikiran.
***
Meta morfillah
23 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment

Text Widget