Pages

20 February, 2016

Home visit dan aksi rapikan sandal sendiri

HOME VISIT DAN AKSI RAPIKAN SANDAL SENDIRI

Saat home visit ke rumah salah seorang murid, ada bagian perkenalan anggota keluarga. Saat mama murid tersebut memperlihatkan foto keluarganya, kakak wanita sang murid yang sudah SMA tidak memakai hijab. Reaksi anak-anak pun gaduh--terutama ikhwan.

"Iiih... akhwat gak pake kerudung, Bu!" Salah seorang murid ikhwan berkata pada saya sembari menunjuk foto tersebut.

"Itu aurat, Bu!" Seorang murid ikhwan lainnya menutup mata. Sementara sisanya gaduh. Ada seorang murid ikhwan berkata, "Saudaraku juga ada kok yang akhwat, islam, enggak pakai kerudung. Tapi dia baik!"

Saya langsung menimpali perkataan anak tersebut--sebab saya melihat ekspresi agak terkejut di muka mama dan wali kelas. Khawatir akan melukai perasaan sang pemilik rumah.

"Iya, memang masih ada beberapa akhwat yang belum memakai kerudung. Kita harus tetap menghormatinya. Kalau melihat akhwat belum memakai kerudung, kalian doakan saja agar mereka segera memakainya, yaa..."

"Aaamiiinn..." kompak anak-anak menjawab kalimat saya. Lalu sang mama melanjutkan, "Iya. Doakan agar kakaknya mendapat hidayah ya."

Anak-anak pun kembali tenang menyimak penjelasan. Entah mereka paham atau tidak apa itu hidayah haha...

Pembelajaran:
Berhati-hatilah mengajarkan konsep pada anak-anak. Jangan anggap sepele pertanyaan mereka. Sebab yang mereka tahu hanya ada hitam dan putih. Tidak ada itu abu-abu. Mereka belum paham kondisi pengecualian. Contoh kecilnya, saat mengajarkan angka tiga dengan jari tangan kita. Bagi mereka, tiga itu diwakili dengan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Bila kita mencoba membuat angka tiga dengan jari kelingking, jari manis, dan jari tengah, meski jumlahnya sama saja tiga, bagi mereka itu bukan tiga. Sebab konsep mereka tiga ya harus seperti yang awal saya bilang. Maka, bila mengajarkan konsep yang nyatanya masih banyak belum diterapkan dalam masyarakat, cobalah bangun rasa toleransi, empati, dan jelaskan alasannya mengapa konsep itu tidak dijalankan di masyarakat. Tentunya, itu adalah hal yang tidak mudah juga tidak sulit. Kita harus memahami bahasa anak.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sepulang home visit, kami kembali ke sekolah untuk muraja'ah dan salat zuhur. Ternyata selagi kami di dalam kelas, ada sidak untuk aksi rapikan sandal/sepatu sendiri--yang baru saja diluncurkan minggu lalu--oleh manajer pendidikan. Laporan disampaikan melalui grup whatsapp. Alhamdulillah, kelas kami termasuk yang berhasil rapi dan sukses menjalankan aksi tersebut.

Saya amat bahagia dan bangga akan hal tersebut. Sebab menyuruh anak-anak merapikan sandal/sepatu mereka sendiri itu jauh lebih susah dibanding mengajarkan mereka matematika. Pengetahuan bisa saya ulangi sampai tiga kali dan setidaknya ada sedikit yang mereka ingat. Tetapi, karakter untuk rapi, saya harus bawel setiap saat, terutama saat baru masuk kelas, istirahat, dan salat zuhur. Bahkan terkadang saya sampai memberikan konsekuensi tidak akan memulai pelajaran jika sandalnya di luar masih belum rapi.  Mungkin anak-anak pun bingung, mengapa gurunya begitu bawel tentang kerapian sandal. Tapi di balik itu semua, rapi adalah ciri muslim sejati. Sekolah islam sudah seharusnya menampakkan jati diri keislamannya. Harus menjadi pribadi unggul dalam segala hal, terutama karakter. Persis seperti Rasulullah SAW. Kembali lagi, untuk mendapat hasil seperti itu, gurulah orang pertama yang harus mencontohkan. Maka, kembali sayalah yang belajar pada anak-anak tersebut.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Segala tulisan saya bukanlah untuk pamer kegiatan saya. Melainkan saya ingin agar pembaca mengambil ibrah(pembelajaran) dari apa yang saya ceritakan. Mungkin ada hal-hal yang bisa diadaptasi untuk diterapkan bersama adik, anak, keponakan, murid, atau binaan di rumah belajar komunitas. Mungkin juga sekadar refresh pengalaman dan perasaan untuk mengingatkan apa yang telah terlupa. Dan bila harapan saya terlalu muluk, setidaknya tulisan ini bisa mengingatkan diri saya sendiri di hari mendatang, ketika saya lupa bagaimana harus bersikap pada anak-anak.

Ikatlah ilmu dengan pena. Lalu tetaplah semangat menulis, menuliskan semangat!

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget