Pages

18 April, 2015

[Review buku] Kamu: cerita yang tidak perlu dipercaya

Judul: Kamu - cerita yang tidak perlu dipercaya
Penulis: Sabda Armandio
Penerbit: Moka media
Dimensi: viii + 348 hlm, 11 x 17 cm, cetakan pertama 2015
ISBN: 979 795 961 9

Benar-benar cerita yang tidak perlu dipercaya. Bahkan sampai menamatkan buku ini, saya masih ga percaya... cerita apa sih ini sebenarnya? Tapi asyik. Pernah merasa terkesima mendengar seseorang bercerita tentang pengalamannya, meski aneh dan kadang tak masuk logika, tapi kamu menerima dan menikmatinya. Persis seperti itu rasanya membaca buku ini.

Uniknya, tokoh utama di sini tak bernama. Hanya aku dan kamu dan tokoh pendukung lain yang beberapa tak juga bernama. Dengan alur maju mundur, sebaiknya kamu mempunyai pegangan agar tak bingung membedakan realitas dan urutan cerita. Secara isi, saya menikmati cerita yang sepertinya hanya menikmati bagaimana bercerita ini. Gaya bahasanya pun meski seenaknya, yang terasa banget penulisnya anak muda, tapi tetap berbobot, bahkan kadang agak puitis. Namun masih banyak typo dan kurang spasi di beberapa bagian yang cukup mengganggu. Secara tampilan saya suka covernya. Simpel tapi terasa kekinian banget ala anak muda. Biru dan kuning, kayak seragam olahraga smk telkom saya hahaha. Saya beri nilai 4 dari 5 bintang.

Meski tak ada tema khusus, sebab ini cerita tentang kenormalan hidup dan apa saja yang dipikirkan sang tokoh, tapi ada beberapa kalimat yang saya suka dan cukup dalam untuk diresapi. Seperti ini contohnya,

"Keramaian adalah dengung yang semakin didengarkan justru membuatmu kesepian. Orang-orang terus bicara; berbagai jenis suara berlintasan hingga telingamu penuh tetapi kepalamu kosong. Tidak mengerti apa-apa, bukan bagian dari apa-apa." (Hlm. 17)

"Menurutku jatuh cinta itu nggak indah-indah amat. Kau buka hatimu supaya seseorang masuk ke dalam, kau jaga dia agar betah dan sehat, dan seterusnya, dan seterusnya. Seperti memelihara orang lain di dalam tubuh sendiri. Sialnya, kau nggak punya perangkat untuk sepenuhnya memahami orang lain." (Hlm. 279)

"Kita ini sangat ingin dibilang orang kota, sampai-sampai kita lupa, kampungan memiliki makna yang romantis. Dan si orang kota ini terus-menerus mengeluh soal betapa buruknya tata kota, kemacetan, dan membanding-bandingkan keadaan dulu dan sekarang. Lalu mereka dengan tak tahu diri memuja-muja harum tanah basah, mencari udara segar ke hutan, memotret langit senja di gunung atau matahari terbenam di laut, tapi nggak ada yang mau hidup di kampung atau merubuhkan kita mereka dan menjadikannya kampung lagi. Mereka takut kehilangan kemapanan yang merela bangun untuk menunjang hidup enak dan praktis. Yang bisa mereka lakukan hanyalah mengkhayal tentang kehidupan desa sambil minum kopi," (Hlm. 291)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget