Pages

05 April, 2015

[Review buku] Surga yang tak dirindukan

Judul: Surga yang tak dirindukan
Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Dimensi: xii + 308 hlm, 20.5 cm, cetakan keempat Juni 2014
ISBN: 978 602 9055 21 4

"Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?"

Apa artinya rumah yang selama ini kerap dianggap sebagai surga, jika tak lagi menjadi pelabuhan yang ramah dan tak lagi dirindukan oleh pemiliknya? Begitulah suasana yang ditampilkan dalam novel ini. Isu poligami yang diangkat dari sisi agama dan kultural di Indonesia. Memotret tiap rasa dari semua sisi: sisi suami, sisi "korban"--dalam hal ini istri pertama-dan sisi perempuan pemilik istana kedua.

Melalui tokoh Arini, seorang istri yang soleha, cerdas, berkarir sebagai penulis, membaktikan diri pada suami. Sosok yang mendekati sempurna, dikaruniai tiga anak yang sehat, dan pernikahan yang harmonis selama sepuluh tahun. Tak pernah menyangka bahwa suaminya, Pras, akan menikah lagi. Alasan apa yang membuat Pras rela membangun istana kedua bersama Mei Rose, wanita peranakan Cina, mualaf dan memiliki satu anak, sementara kehidupan mereka berdua begitu sempurna bagai di negeri dongeng. Seharusnya segalanya berjalan indah, happily ever after.

Membacanya, mengingatkan saya pada kalimat "It's too good to be true, it means not true." Juga kalimat bijak lainnya "Sesuatu yang terlalu... seperti terlalu baik, menandakan bahwa itu tidak baik." Yaa... hidup yang terlalu sempurna seharusnya hanya ada di surga.

Menarik sekali, ketika saya membaca pengantar dari penulis dan ragam komentar dari pembaca buku di fanpage asma nadia mengenai tanggapan "Apa yang akan kamu lakukan jika ayah/suami/abang/anak lelakimu menikah lagi?"

Pro dan kontra nampak jelas di sana. Saya sendiri, tak dapat membayangkan apa keputusan yang akan saya ambil dalam posisi tokoh Arini. Ending yang dibuat oleh mbak Asma pun begitu menggantung. Membebaskan pembacanya menginterpretasikan sendiri, apakah tokoh utama pro atau kontra terhadap poligami.

Ah... isu ini begitu rumit. Sebab, kita berbicara dengan perasaan. Meski memaksa logika turut mewarnainya, akan tetap ada hati yang limbung, terluka, teriris perih bahkan kehilangan identitas.

Baiklah, saya beri 4 dari 5 bintang untuk novel dengan bahasa yang ringan dicerna ini.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget