Pages

13 February, 2015

Perubahan dan Keluar dari zona nyaman



Meninggalkan zona nyaman itu berat. Berat sekali.

Setelah mengajukan resign di kantor lama, hanya seminggu saya dapat menikmati jadi pengangguran. Senin malam, senior saya menghubungi dan menawarkan pekerjaan sebagai Instructional Designer di kantornya. Bidang pekerjaannya, walau masih terkait apa yang saya pelajari dan kerjakan selama ini, namun agak berbeda media. Selama ini saya agak lemah di bidang media, dari kuliah saya menyadari itu, sehingga tak memilihnya. Saya sudah menjelaskan hal itu pada kakak kelas saya, dan dia tetap menyuruh saya datang ke kantornya. Malam itu, ramai wasap saya. Tiga senior dan seorang teman menyuruh saya mencoba datang dan melamar ke kantor itu. Seperti biasa, saya tak pernah menolak kesempatan. Toh, saya pikir aka nada banyak waktu dalam mempertimbangkan saya diterima atau tidak. Saya pun tak memiliki ekspektasi akan diterima.

Selasa siang, saya diinterview oleh kakak kelas dan HR perusahaan itu. Setelah wawancara pun, saya main ke kantor lama. Setidaknya seminggu sekali saya menyempatkan diri ke sana, karena meski saya sudah tak bekerja di sana, mereka tetaplah keluarga yang saya sayangi. Cinta tapi tak jodoh, haha… kayak lagu T2. Rabu pagi, saya membuat NPWP—hal yang tak sempat saya lakukan saat bekerja dahulu—lalu pulang ke Bogor bersama mama dan uda saya. Sorenya, saya mendapat telepon bahwa saya diterima dan disuruh mulai bekerja besok, hari kamis. Saat itu, saya agak sedih. Mengapa? Karena niat saya sebulan menganggur dan membantu chef alladzu—usaha brownies bersama teman-teman komunitas Pencinta Anak Yatim—harus terhenti. Tapi tak lama, saya mengucap hamdalah dan innalillah… pekerjaan baru adalah amanah baru. Berat rasanya, terutama saya memang tak terlalu menguasai bidang pekerjaan baru saya. Tapi, saya ingat lagi dua pekerjaan saya sebelumnya… keduanya dimulai dengan cara yang sama. Saya tak pernah melamar atau pun berniat melamar di sana. Sama sekali tak ada ekspektasi apa-apa terhadap perusahaan sebelumnya. Tapi mereka yang memilih saya, dan saya bertahan dua tahun di kedua tempat. Keduanya meninggalkan kenangan manis. Murid-murid saya yang kebanyakan berkebutuhan khusus, serta sahabat-sahabat yang setia menemani dan tak putus hubungan hingga kini. Keduanya pun member pembelajaran yang berbeda namun membuat saya utuh seperti pribadi saya saat ini.

Di perusahaan yang baru ini, ternyata saya akan menjadi satu-satunya instructional designer. Menggantikan kakak kelas saya yang akan resign bulan ini karena sakit. Transfer knowledge seadanya. Bahkan dalam seminggu hari kerja, saya hanya datang ke kantor satu kali. Sebab, saya sendiri kurang paham bagaimana ritme kerja dan apa tanggung jawab saya. Selama ini, saya menunggu perintah dari senior saya. Tak boleh jauh dari handphone, sebab sewaktu-waktu ada koordinasi dan saya harus siap mobile.

Kautahu, pekerjaannya lebih seperti marketing dan project manager. Selain saya berpikir sebagai instructional designer, saya juga harus memastikan project berjalan sesuai timeline, memastikan kualitas hasil pekerjaan, dan juga mempresentasikan dari awal project hingga akhir ke klien. Ibaratnya saya garda depan. Setelah mendapat gambaran itu, hati saya berkali-kali tak tenang. Saya agak keberatan untuk menjadi front office. Tapi, kembali dalam pergulatan batin saya, saya berpikir “Apa lagi scenario yang Allah ingin berikan pada saya?”

Jujur saja, saya merasa bahwa hidup saya dan pekerjaan saya selama ini, bagaikan tingkatan pembelajaran yang harus saya selesaikan. Dan semuanya saya selesaikan dalam kurun yang sama. Dua tahun. Lalu lanjut ke tahap selanjutnya, dengan kemudahan yang saya dapat, untuk membuktikan apakah pembelajaran selanjutnya saya akan lulus atau tidak. Saat mengajar di homeschooling, saya belajar kesabaran menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak normal yang memiliki segudang masalah hingga putus sekolah. Saat bekerja di perusahaan sebelumnya, saya belajar menekan ego, bekerja secara tim dan kepemimpinan. Saat ini, saya merasa goal saya adalah menuntaskan pelajaran komunikasi, bagaimana menghadapi beragam karakter klien yang harus saya pilah-pilih, tidak sekadar menjadi “yes-man”.

Satu hal yang paling berasa, adalah perubahan itu sendiri. Betapa pergulatan pikiran dan konflik batin saya kerap muncul. Tak jarang membandingkan dengan kantor lama, betapa “surgawi” kantor lama saya. Semua kenyamanan ada di sana, sangat-sangat nyaman hingga menumpulkan. Lantas saya teringat tulisan pak rhenald kasali,

“Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur. Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran. Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan crowded. Jadi, apakah Anda termasuk orang yang mengalami gejala kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman?”

Yaa… perubahan itu menyakitkan. Belajar lagi dari nol. Keluar dari zona nyaman. Persis seperti batu berlian yang dibentuk, dan akan semakin mahal bila ia memiliki banyak sudut cahaya, banyak pembentukan.
Semua perubahan ini, insyaa allah telah dan akan saya lewati kembali dengan baik, selama ada dukungan dari keluarga. Terutama mama. Doanya yang memeluk dari jauh begitu kuat dan menenteramkan, meski raga tak bersua. Setiap kali orang bilang saya beruntung, atau saya merasa sangat beruntung, saya percaya bahwa itu adalah doa mama saya yang dikabulkan.

*Saya menuliskan semua yang saya rasakan, bukan sekadar curhat… tapi agar saya ingat bahwa “saya pernah merasa begitu bodoh, buntu, tak berguna dan merasa masalah yang saya hadapi rumit dan tak selesai-selesai” saat ini. Untuk kemudian saya tertawakan di beberapa waktu ke depan, saat saya sudah berhasil menyelesaikannya, atau menyadari bahwa masalah saya tidak ada apa-apanya.*


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget