Pages

21 February, 2015

Go to Malaysia [Part 3]



Hari terakhir, 3 Mei 2014

Sebelum check out, Chatel sempat membeli beberapa baju desain Steve untuk oleh-oleh. Steve pun memberikan diskon untuknya. Kami cukup senang dengan jamuan Steve. Dia ramah, mandiri dan cukup informatif. Mungkin, kalau kami ke Malaka lagi, kami akan mampir ke hostel Steve, meski tempatnya kecil.

Perjalanan hari terakhir kami, dihabiskan ke Batu Caves. Mengunjungi kuil alam, di mana ada patung dewa raksasa yang tiiiiinggiiii sekali. Kami memang tidak berminat untuk ke Petronas, sebab kami mencari scene yang masih alami, tak terlalu kota… haha. Petronas sudah terlalu mainstream. Dari Batu Caves, kami menyempatkan belanja oleh-oleh. Namun makanan di Batu Caves yang kurang memuaskan, membuat kami ingin kembali ke Petailing—lokasi hostel pertama yang kami tempati kemarin—untuk membeli makanan yang mirip dengan masakan rumah di Indonesia. Kami lahap sekali makan di sana. Betapa merindukannya, rasa makanan Indonesia, terutama SAMBAL! Waah… enaaaak bangeeeet. Kayak baru kali pertama makan yang sebenarnya!

Welcome to Batu Caves!

Bus di Malaysia





Tak lama, hujan turun lebat disertai angin kencang. Tanpa kabar, atau mendung, tiba-tiba saja cuaca berubah ekstrem. Kami yang tadinya mau naik LCCT ke lokasi bus bandara, mengurungkan niat dan memilih naik taksi sampai ke lokasi bus yang mengantarkan ke bandara. Sayangnya, hujan yang begitu deras dan menyebabkan banjir, membuat kami kesulitan mendapatkan taksi. Agak menakutkan, sebab sudah pukul 16.30 waktu setempat. Kami takut terlambat ke bandara. Untunglah, ada satu taksi yang mau mengangkut kami. Walau lebih mahal, tapi bagi kami yang mengejar waktu, hal itu tak jadi soal. Sesampainya di lokasi bus yang mengantarkan kami ke bandara, ternyata cuaca cerah. Agak aneh orang-orang melihat kami yang basah kuyup, sementara mereka kering kerontang.

Kami tiba di bandara pukul 17.30, dan langsung mengantre ke imigrasi. Dan salah satu kelemahan di Malaysia, adalah antrean imigrasinya. Saat berangkat dan pulang pun, antreannya panjang mengular. Saya jadi agak membandingkan dengan Singapura. Agak menyebalkan sekali, karena pesawat kami berangkat pukul 20.00, dan sampai pukul 19.40 kami masih di imigrasi. Muka kami sudah mulai khawatir. 

Oh ya, kami bertiga mengantre di baris yang berbeda. Saya keluar lebih dahulu dan bergegas menuju ruang pesawat. Tapi, namanya pergi bertiga, ya pulang harus bertiga dooong. Tetaplah, saya menunggu dua teman saya, meski saya sudah di ruang tunggu pesawat. Firasat saya tidak enak, sebab ruang tunggu sudah kosong. Dan benar saja, tak lama setelah dua teman saya datang dan menjulurkan paspor ke petugas, mereka menolak! Kami kaget, dan terbata-bata menjelaskan bahwa ini bahkan belum pukul 20.00, sembari menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul 19.55. Mereka malah marah dan bilang bahwa seharusnya kami sudah masuk dari pukul 19.45. dan sempat menyalahkan kami, bahwa kami main-main dan suka terlambat—setelah melihat paspor kami dari Indonesia. 

Huwaaa…. Mata kami bertiga sudah berkaca-kaca. Membayangkan harus membeli tiket pesawat baru, dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Padahal besoknya kami harus bekerja, belum lagi uang kami yang pas-pasan… haha. Kami bertiga pun memohon-mohon pada petugas, berdalih bahwa masih ada 5 menit, toh pesawat belum berangkat. Akhirnya kami pun diizinkan masuk, tapi tidak diantar. Kami disuruh berlari menuju pesawat dengan jarak yang lumayan. Alhamdulillaahh… kami langsung berlari kencang, ketakutan pesawat akan meninggalkan kami, sampai lupa mengucapkan terima kasih. Hingga akhirnya, di tengah berlari, kami berteriak terima kasih pada petugas. Meski dicemberutin, kami sampai ke pesawat, dan duduk di tempat masing-masing. Saya terpisah sendirian, dari kedua teman saya. Saya duduk di belakang dan bersiap untuk terbang. Tapi, 15 menit menunggu…. Ternyata pesawat belum berangkat. Mereka masih menunggu penumpang yang belum naik. Aah… agak menyebalkan, mengapa giliran kami tadi tidak boleh masuk, tapi giliran penumpang yang telat ini ditungguin. Entahlah, mungkin mereka membeli kursi prioritas. Di benak saya, hal itu sudah tak penting. Yang penting, saya bisa pulang lagi ke Indonesia. Seriously, saya takut dijadiin TKW di Malaysia… haha. Belum pernah saya secinta itu sama Indonesia. Betapa saya kangen sama tanah air saya!

***
Yaah… bepergian sejauh apa pun, pada akhirnya akan membelajarkan kita arti “pulang”. Sebab perjalanan seharusnya memberikan kita warna dan perspektif baru mengenai tempat tinggal kita selama ini. Dan semestinyalah, kita semakin cinta pada tanah yang kita jejak, air yang kita minum, dan udara yang kita hirup. Damn, I Love You Indonesia!

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget