Pages

12 December, 2016

[Review buku] Pulang

Judul: Pulang
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Dimensi: iv + 400 hlm, 13.5 x 20.5 cm, cetakan XXII, september 2016
ISBN: 978 602 0822 1 29

Bujang, Si Babi Hutan, adalah julukannya setelah meninggalkan Talang, tanah kelahirannya di rimba Sumatra. Tidak ada yang tahu nama aslinya. Juga tidak pernah ada rasa takut dalam dirinya. Hingga tiga lapis benteng ketakutannya runtuh disebabkan tiga hal. Kematian Mamak, Bapak, dan Tauke Besar. Berbahayakah rasa takut? Bisakah ia melewati masa depan sebagai penguasa sendirian? Saat dirinya kalut, seseorang dari masa lalu datang memanggilnya dengan nama sebenarnya dan membuatnya berpikir ulang tentang jalan hidupnya. Benarlah bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan seringkali berkelindan menyatu.

Novel Tere Liye kali ini amat sesuai dengan background penulis yang merupakan sarjana ekonomi. Memberikan pengetahuan luas tentang shadow economy ditambah bumbu mafia/dunia hitam yang merangkak dari sekadar penguasa daerah menjadi ibukota, dan akhirnya meraksasa dunia.

Namun tetap dengan mempertahankan sebuah prinsip baik. Prinsip taat pada pesan orangtua dan kesetiaan. Bahwa doa orangtua pada akhirnya membawa diri Bujang kembali pulang. Bukan sekadar pulang dalam artian fisik, melainkan pulang dalam arti lebih dalam. Pulang pada Tuhannya. Berdamai dengan segala masa lalunya.

Filosofi berat yang dikemas mengalir ringan oleh penulis. Membuat pembaca mudah memahaminya. Meski menurut saya covernya kurang tepat mewakili cerita. Sebab yang tergambar adalah sunset, sedangkan momen penting dan lekat di cerita ini adalah sunrise dan pelabuhan. Juga sudut pandang 'aku' yang terkesan tahu segalanya.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Semua orang punya masa lalu, dan itu bukan urusan siapa pun. Urus saja masa lalu masing-masing." (H.101)

"Bahwa kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain." (H.181)

"Sejatinya dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja." (H.219)

"Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan." (H.262)

"...mulai membaca--cara yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dengan ditemani buku, tanpa terasa hari telah beranjak petang, tidak sempat lagi mengingat kenangan menyakitkan." (H.268)

"Lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamakku dibanding di matanya." (H.315)

"Hidup ini adalah perjalanan panjang. Kumpulan dari hari-hari. Di salah satu hari itu, di hari yang sangat spesial, kita dilahirkan. Di salah satu hari berikutnya kita belajar tengkurap, masuk sekolah pertama kali, semua serba pertama kali. Dan kini kita penuh dengan kenangan masa kecil yang indah, seperti matahari terbit.
Lantas hari-hari melesat cepat. Siang beranjak datang dan kita tumbuh dewasa, besar. Mulai menemui pahit kehidupan. Maka, di salah satu hari itu, kita tiba-tiba tergugu sedih karena kegagalan atau kehilangan. Di salah satu hari berikutnya, kita tertikam sesak, tersungkur luka, berharap hari segera berlalu. Hari-hari buruk mulai datang. Dan kita tidak pernah tahu kapan dia mengetuk pintu. Kemarin kita masih berbahagia dengan banyak hal, untuk besok lusa terjatuh, dipukul telak oleh kehidupan. Hari-hari menyakitkan." (H.337)

"Jangan dilawan semua hari menyakitkan itu, Nak. Karena kau pasti kalah. Mau sejijik apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah. Peluklah erat semuanya. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?
Saat mamakmu meninggal misalnya, itu adalah hari paling indah bagi mamakmu. Memang bukan bagi yang ditinggalkan. Tapi bagi mamakmu, itu adalah hari penting, saat dia usai menunaikan tugasnya sebagai istri yang mencintai suaminya dan sebagai ibu yang membesarkan anaknya. Genap pengabdiannya, tunai baktinya." (H.339)

"Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ii hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran." (H.340)

"Tidak mengapa jika rasa takut itu hadir, sepanjang itu baik, dan menyadari masih ada yang memegang takdir. Dia menambatkan rasa takut itu kepada Sang Maha Memiliki." (H.343)

"Akan selalu ada hari-hari menyakitkan dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya, memulai bab yang baru bersama matahari terbit." (H.345)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget