Pages

10 October, 2016

[Review buku] Teman imaji

Judul: Teman imaji
Penulis: Mutia prawitasari
Penerbit: CV IDS
Dimensi: xii + 288 hlm, cetakan kedua maret 2015
ISBN: 978 602 72395 0 0

Bagaimana rasanya jika ada seseorang yang mampu memahami apa yang tidak kamu katakan dan mampu mengatakan apa yang tidak kamu pahami? Teman yang amat mengerti dirimu yang aneh. Awalnya kaukira dia adalah khayalan. Teman imaji. Namun ternyata... dia ada. Nyata.

Kica pikir selamanya dia akan dianggap aneh karena suka hujan, menulis puisi dan nyanyian di notes, lalu tak punya teman selain Adit dan Faza. Ternyata pertemuannya dengan Banyu mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia menemukan rumah untuk tulisannya. Ia mampu berteman hingga memiliki seseorang yang dianggap kakak. Ia bahkan mampu jatuh dan patah hati. Ia juga mampu menjalankan perintah agamanya. Banyu nyata. Dia bukan sekadar imaji.

Membaca novel ini pada awalnya mengingatkan saya pada karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dee Lestari. Namun semakin mengalir, karakter Kica semakin menarik. Juga Banyu. Adit. Faza. Rinyai. Rasya. Bubu. Dan lainnya. Keanehan dan kegilaan yang Kica rasakan sering juga saya alami. Sayangnya, saya tak seberuntung Kica yang memiliki teman imaji begitu nyata. Karakter Kica membuat saya merasa dekat pada diri saya.

Gaya bercerita penulis sangat asyik dengan fragmen pendek yang berkelanjutan. Hingga membacanya tak membuat lelah dan bosan. Padahal awalnya saya pikir akan tertidur ketika melihat ukuran font yang dipakai dan kerapatan tulisannya. Pilihan katanya sungguh puitis dan banyak yang tak umum hingga saya mencari tahu di kamus.

Alurnya maju lalu mundur di epilog. Kekuatan penulis ada pada dialog. Nada tulisannya mirip kurniawan gunadi, tere liye, yang begitu positif memandang kehidupan. Banyak sekali kalimat indah yang saya kumpulkan untuk dikutip. Saya sangat ingin memiliki buku ini, namun memilikinya harus melalui pre order, tak bisa beli langsung di toko buku. Hiks...

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Kita adalah ksatria untuk mimpi-mimpi kita. Mimpi kita harus kita sendiri yang bela." (H. 34)

"Mama adalah orang pertama yang saya dengarkan sebelum orang lain. Hidup kita kan tidak pernah mencari apa-apa, kecuali ridho Allah. Ridho Allah ada pada orangtua, apalagi Mama." (H.46)

"Setiap karya akan menemukan penikmatnya. Saya menulis untuk memenangkan diri saya sendiri. Untuk menjadi seseorang yang jujur." (H. 61)

"Kadang seseorang meminta bantuan bukan karena butuh atau tak bisa melakukan sesuatu sendiri, melainkan menghargai kehadiran orang lain--yang ingin membantu." (H. 79)

"Perempuan enggak ada yang suka nunggu." (H. 107)

"Setiap hati manusia adalah hujan. Tak pernah tahu jatuh kapan. Apalagi di mana." (H. 111)

"Januari paling awet, paling tak kenal henti. Februari paling warna-warni. Maret paling banyak petirnya. April paling keras, paling besar bulir-bulirnya. Mei paling aneh, hujan tapi panas, tapi hujan. Juni paling tabah. Oh, itu kata Sapardi Djoko Damono, penyair. Paling jarang hujan. Juli paling berisik bunyinya. Agustus paling sederhana, kalau hujan, ya, hujan, kalau tidak, ya, tidak. September paling romantis, datangnya sore-sore senja. Oktober paling semangat. November paling teduh, paling wangi baunya. Desember paling lembut, paling kecil bulir-bulirnya. Plus paling banyak pelangi." (H. 112)

"Setiap pekerjaan yang dilakukan terus menerus akan mengantar pelakunya kepada penemuan diri sendiri. 

Menulis bukan soal berapa banyak yang baca, tetapi berapa dalam si penulis menemukan makna.
Kebahagiaan terbesar penulis adalah ketika tulisannya dibaca semakin banyak orang--lalu bisa menggerakkan." (H. 173)

"Bohong berkata bahwa kita mencintai sesuatu tapi tak punya waktu melakukannya. Kalau kita cinta, kita pasti membuat waktu. We don't always have time. But we can always make time." (H. 184)

"Kadang kita lupa betapa berartinya orang lain dalam hidup kita. Tapo lebih sering, kita lupa betapa berartinya kita dalam hidup orang lain. Makanya kita harus bahagia. Semua orang yang sayang kita pasti ingin kita bahagia. Kita harus berjuang untuk orangtua kita. Untuk anak-anak kita esok. Supaya bisa bercerita, seperti bintang, cerita keberhasilan." (H. 194)

"Bagi perempuan, ada perasaan yang lebih hebat daripada menemukan. Ditemukan. Setiap perempuan ingin ditemukan." (H. 199)

"Menemukan jodoh itu rumit. Seagama belum tentu seiman. Seiman belum tentu setujuan. Setujuan belum tentu sejalan. Sejalan belum tentu sekufu. Sekufu belum tentu sejodoh." (H. 315)

"Kita tidak memilih. Kita tidak dipilih. Tapi kita dipilihkan. Oleh Allah, Maha pembolak-balik dan penjaga hati yang sesungguhnya.
Hidup manusia hanya sementara. Hidup keluarga itu selamanya." (H. 364)

Meta morfillah

1 comment:

  1. Melihat kovernya, saya menyangka kalau ini buku anak-anak. Tapi begitu disinggung mengenai 'mampu jatuh dan patah hati', saya kira ini masuk teenlit. Nah lho jadi buku ini masuk genre apaan? hehe :)

    Recent Post: Buku The Summer I Turned Pretty by Jenny Han

    ReplyDelete

Text Widget