Pages

15 December, 2015

Lukisan alam

Gunung begitu tegak jumawa setiap pagi. Awan menyelimuti puncaknya. Lazuardi senantiasa cerah. Mentari pun tak mau kalah semangat, namun tak menyengat. Pepohonan rimbun menyemarakkan kehijauan. Barisan pohon jati muda seperti pasukan berbaris tertib. Ruang kelas yang berbentuk rumah panggung dua tingkat berjejer rapi mewakili per tingkatan. Seperti inilah pemandangan yang kulihat dan alami setiap hari kerja.

Pagi tak pernah ingkar dengan janji hari baru yang cerah. Pun siang selalu menepati janji untuk mencurahkan air dari langit. Hampir sebulan siklus itu berulang mengiringi hariku. Tetap. Tepat.

Aku paling suka saat hujan datang. Gerakan ritmisnya menyenandungkan bait rindu. Selain genangan, kerap kali hujan membawa kenangan. Ditambah suasana yang kudeskripsikan di atas, tak bosan rasanya ingin kuabadikan dalam foto dan tulisan. Sayangnya, selalu dan selalu ada kekuatan magis yang membuatku terpaku. Meski sudah siap mengalirkan kata di ponsel, dan siap menjepret, aku lebih memilih menikmati suasana itu dalam hening. Tanpa melakukan apa-apa. Melebur dalam orkestra alam. Persis seperti cinta yang sadar akan hakikat, bahwa tidak harus dimiliki, kadang kita hanya perlu turut berbahagia tanpa memilikinya.

Lalu perlahan, timbullah rasa syukur pada sang pelukis alam raya. Syukur akan keindahan alam, kedamaian negeri ini, kesehatan, waktu, kesempurnaan fisik, dan beragam pelajaran yang disampaikan melalui lukisan alamnya. Allah... allah... allah...

Maka nikmat Allah yang mana lagi hendak kudustakan?

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget