Pages

09 January, 2015

Sebuah nama sebuah cerita: CHATELIA FEBRINA

Ndut. Baik. Tabah.

Itu tiga kata yang terlintas saat menyebut namanya. Saya baru dekat dengannya saat skripsi, itu pun mungkin tidak terlalu dekat sekali. Hanya sebatas sering bareng saat mengerjakan skripsi dan gila-gilaan dengan berfoto ria di perpustakaan jurusan. Saya mengenal dia lebih dekat setelah kami satu kantor. Di kantor, dia adalah salah satu teman dekat saya. Mungkin karena kami berasal dari jurusan yang sama di kampus. Teman senasib sepenanggungan sependeritaan.

Semakin saya mengenalnya, semakin saya temukan banyak nilai kebaikan pada dirinya. Meski dia suka ngeledek, becanda dengan ceplas ceplos, dan kadang agak emosional,  tapi saya merasakan itu semua tulus. Apa yang dia pikirkan, ya dia utarakan. Tapi, setelahnya dia tak menyimpan dendam. Dan seringkali yang dia katakan benar, meski pengemasannya agak ketus, hahaha. Tanpa sadar, dia selalu menyediakan waktunya bila saya membutuhkan. Mau mengantar ke mana-mana dengan si kumbangnya. Meski kurang enak badan, banyak kerjaan, tetap saja dia tipe yang royal dan loyal pada sahabatnya.

Hebatnya, dia mampu mewujudkan salah satu mimpi saya. Jalan-jalan keluar negeri. Dari mulai bikin passport, sampai akhirnya saya menjejak di negeri tetangga (Singapura dan Malaysia), semua berkat dia. Saya yang pengecut, kecerdasan spasial rendah (suka nyasar, lupa jalan, nama, muka, alamat, dll), serta agak perhitungan untuk fun, akhirnya berani. Semua itu berkat dukungan dia, baik dari moriil, waktu, tenaga, hingga finansial. Chatelia dan Reza. Berkali-kali, saat kami bersama, mereka berdua seringkali mengeluarkan uang untuk mentraktir. Hingga kadang saya tak enak sendiri. Saya tak suka dibayari terus, tapi mau bayarin mereka, setiap ga pas waktunya. Selalu saja pas saya sedang bokek… menyebalkan!
Lalu, setelah bulan Mei, sekembalinya dari Malaysia, dia sakit. Sakit yang lumayan parah, dan ternyata banyak sekali penyakit yang ia derita. Saya bilang ia seperti menabung penyakit. Namun, dia tetap saja bersikap biasa. Saya tahu, bahwa sebenarnya ia rapuh, namun ia tak mau menunjukkannya. Benar-benar tipikal wanita kuat.

Hampir setengah tahun ia rehat dari kantor, karena penyakitnya membuat ia kembali belajar seperti bayi. Saya mulai merasakan kehilangan dia. Teman makan, teman ngobrol, dan teman jalan saya. Terutama setiap saya pulang malam. Dahulu, ada dia yang minimal bersedia mengantarkan saya sampai terminal Blok M. Sejak dia sakit, saya sering berjalan sendirian. Kalau terpaksa pulang agak malam, saya sering bingung mau mengajak makan siapa, minta tolong antar sama siapa. Ya, kadang setelah kehilangan kita baru menyadari betapa banyak perhatian seseorang dan berharga kehadirannya. Saya kangeeeeeen sekali dengan dia. Sempat saya menangis sedih, saat ia berada dalam kondisi terburuknya. Saat itu ia mulai tak mengenali orang yang menjenguknya, sering menceracau tanpa disadari. Saya menangis begitu sedih. Saya sendiri heran. Belum pernah saya meneteskan air mata sebegitu sedihnya untuk seorang teman. Saat itulah saya menyadari, bahwa dia sudah menjadi teman spesial. Meski kami semakin jarang bertemu, ngobrol dan bahkan saya lebih banyak diam pasif saat bertemu dengannya, saya semakin sayang dia. Sakitnya dia, terasa sakit juga ke diri saya.

Allah begitu sayang padanya. Saat dia sudah mulai membaik, Allah menguji lagi dirinya dengan mengambil orang yang disayanginya. Ayahnya meninggal. Saya tahu bagaimana rasanya sakit ditinggalkan yang tidak akan pernah bisa kembali bertemu lagi. Saya mengalaminya. Tapi, begitulah saya… tak pernah bisa menghibur dengan baik. Saya hanya bisa menitipkan doa diam-diam dan hadir saat ia butuh. Hanya itu. saya tak pandai mengucapkan sesuatu yang mampu membesarkan semangatnya. Saya hanya bisa meminta Allah untuk menguatkan dan membesarkan hatinya.
Aahh… begitu banyak emosi yang tercurah saat saya menuliskan tentang ini semua. Sekarang, dia sedang menantikan waktu dioperasi. Saya membayangkan bagaimana bila saya jadi dirinya. Apa yang sedang ia pikirkan, bayangkan, atau rasakan? Saya yakin, ada rasa takut. Tapi saya lebih yakin, ia tidak akan membaginya kepada siapa pun. Ia terlalu tangguh. Ia tak pernah mau menyusahkan orang lain dengan masalahnya. Aaah… chatel… semoga Allah memberikanmu kesembuhan dan tiada lagi penyakit setelahnya. Saya dan sahabat-sahabatmu yang lain menantikan kembalinya dirimu.

Terima kasih banyak, sudah menasehati dengan perbuatanmu, tanpa perlu kauucapkan.

Maafkan, bila saya belum bisa menjadi sahabat yang baik.

Love you,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget