Pages

22 January, 2015

Mengapa resign?

Banyak yang bertanya, mengapa saya resign?
Banyak pula yang menilai bahwa keputusan saya (resign) adalah keputusan emosional, tak masuk akal, sebab saya memang belum memiliki pekerjaan pengganti.
Semua berpikir bahwa saya hanya ikut resign karena supervisor saya juga resign.
Saya tak peduli dengan semua anggapan itu. Terserah lah orang lain mau bilang apa. Tapi saya tahu keputusan terbaik untuk hati dan kehidupan saya. Mereka tak perlu tahu seberapa dalam luka yang saya dapat.

Saya menuliskan tulisan ini, semata karena saya ingin melepaskan segala beban di kepala saya yang membelukar tentang pekerjaan saat ini. Serta beragam pembelajaran yang saya dapatkan setelah beberapa waktu saya renungkan. Pelajaran berharga dari semua hal yang saya lalui adalah,

MEMILIH PEKERJAAN SAMA DENGAN MEMILIH JODOH. JIKA SALAH, KAMU TAK AKAN BAHAGIA BERLARUT-LARUT. JIKA BENAR, BUATLAH KOMITMEN DAN PERTAHANKAN MESKI KAMU HARUS BERDARAH-DARAH.

Ya, saya sudah lelah dengan mencari-cari pekerjaan, meninggalkan rekan kerja, apalagi ditinggalkan. Divisi saya adalah divisi yang paling tinggi turn overnya. Dalam dua tahun, saya mengalami lima kali kehilangan rekan satu divisi. Apakah mudah? Tentu tidak. Semua berpengaruh baik secara profesional mau pun personal. Untuk load pekerjaan, saya masih bisa handle. Tapi dampak psikis, emosional saya, tidak. Saya belum setangguh itu. Setiap kehilangan membuat saya semakin takut untuk membuka diri dan kata-kata saya semakin tajam. Dan menyedihkannya, di saat saya mencoba mempertahankan dan menguatkan diri saya, leader saya yang sudah saya anggap bapak saya di kantor menyangsikan. Beliau menggeneralisir bahwa untuk generasi Y (gen Y), seperti saya memang tidak akan bertahan lama. Beliau justru meramal bahwa saya juga tak lama lagi akan resign. Dia memperkirakan bahwa usia saya di kantor itu tak akan lebih dari tiga tahun seperti rekan-rekan saya sebelumnya. Mendengar penilaian dan kejujuran hatinya seperti ini, ternyata jauh lebih sakit dibandingkan luka yang saya terima karena tidak jadi menikah. Pelajaran berharga lainnya yang saya dapatkan adalah,

HATI-HATI MENILAI ORANG, JANGAN TERLALU MENGGENERALISIR. PENGAKUAN BAHWA KAMU DIRAGUKAN ATAU TAK MEYAKINKAN DAPAT MELEMAHKANMU SELEMAH-LEMAHNYA.

Analoginya, pekerjaan itu benar-benar seperti jodoh. Saya jatuh hati dengan kantor saya saat ini, meski awalnya tidak. Tapi setelah beberapa waktu, saya mencoba mencintai pekerjaannya (meski menurut leader saya, ini bukan passion saya. Tapi ketahuilah, passion saya pribadi adalah berbagi. Bukan ambisi mengejar jenjang karir atau pun gaji) dan orang-orang di dalamnya. Lalu, saya bertanya kemungkinan saya untuk ‘menikah’ dengan kantor saya. Saya ingin menghabiskan waktu saya hingga menua atau hingga tak lagi diizinkan oleh wali saya untuk bekerja, di kantor ini. Namun, kantor saya meragukan saya. Dia tak yakin pada saya. Saat saya meminta komitmen, dia malah berkata bahwa saya tak akan lama lagi juga akan meninggalkannya. Sebagai orang dengan logika normal, saya tak menggunakan perasaan saya saat mendengar pengakuannya. Saya hanya berpikir bahwa saya harus pergi meninggalkan dia secepatnya. Toh, bagi dia sama saja, kapan pun saya pergi, hasilnya ya tetap saya akan pergi. Untuk apa saya bertahan dan menunda-nunda? Meski hati saya sakit, kecewa, sedih, dan berat untuk meninggalkannya karena saya masih sayang, tetaplah tercetus sebuah surat pengunduran diri.

Bagi yang tak paham, memang terkesan emosional sekali. Saya seperti tak memikirkan cash flow hidup saya, cicilan motor, listrik, air, pulsa, dan lain sebagainya. Otomatis saya jadi pengangguran. Sebab, saya memang belum mencari pekerjaan pengganti. Tapi bagi saya tidak. Saya sudah mengadukan kekecewaan hati saya pada Tuhan yang menciptakan saya. Saya mengadu tentang kemiskinan saya dalam segi materi duniawi pada Tuhan saya yang maha kaya. Saya hanya berpikir satu hal. Bahwa saya harus terus bergerak demi memberi makan tiga mulut esok hari. Dan dalam kebodohan saya di mata manusia lainnya, saya hanya percaya bahwa saya akan memberikan seluruh hal yang bisa saya berikan untuk kontribusi bagi kebaikan, lalu saya akan menerima hasilnya dengan baik pula. Mungkin secara finansial, saya jatuh. Tapi saya masih sehat, punya waktu, tenaga, gagasan, dan kemauan. Saya hanya percaya jika ingin mendapat banyak, saya harus memberi banyak. Hukum give and take. Semua dimulai dari memberi dahulu, baru mendapat. Bukan seperti selama ini, take and give. Saya sedang belajar mengeja keikhlasan, keyakinan, kreativitas dan kedermawanan tanpa pamrih. Mengingat kembali masa-masa saya pernah susah, setelah cukup merasakan agak enak. Yaa… hidup bagaikan roda, berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Hidup tak pernah menjanjikan kemudahan, tapi dia selalu menjanjikan kekayaan hati dari berbagai pembelajaran yang dapat dipetik, bila kita mau berpikir. Dan saya bersyukur untuk itu. Atas kekayaan hati dan rasa yang diberikan oleh kehidupan.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget