Pages

07 August, 2014

Prioritasmu belum tentu prioritas orang lain

"Ya ampuun, Meet... Udah dua tahun gak ketemu. Masih kurus, cakep dan jomblo aja!"

Begitulah, ketemu teman seperjuangan. Kata-kata nyindirnya khas, tapi saya sih senyum-senyum saja.

"Gila lo ya, udah ganti tahun, ganti status dari mahasiswa jadi karyawati, ganti pekerjaan juga, ini HP masih aja. Setia amat lo!"

"Tahu tuh, gaji lumayan, tapi nggak ada yang berubah dari nih anak. Masih aja sama kayak dulu. Barang-barangnya masih dijagain."

"Meta mah, jangan ditanya. Kalau enggak sampai rusak hancur, enggak berfungsi atau hilang, dia enggak bakalan ganti gadget."

Kembali saya tersenyum saja menanggapi ragam komentar teman-teman seperjuangan. Mereka cukup tahu, bahwa komentar itu tidak akan sekejap membuat saya mengganti semua gadget jadul yang saya miliki ini.

***

Kalau bukan karena keparnoan mama atas bintik putih di wajah saya yang semakin menyata, tidak akan pernah saya mau ke dokter kulit. Malas! Tapi, demi meredam rasa parno mama--yang takut banget saya kena kanker kulit--saya mengalah, dan bela-belain pulang malam demi ke dokter kulit.

Setelah antre satu jam, tibalah waktu saya konsul dengan sang dokter. Disentuh pun tidak. Cuma dilihat wajah saya sekilas, beberapa pertanyaan pendek dan nasihat "Jangan panas-panasan. Rajin pakai payung ya. Kamu kena -- sesuatu yang terdengar pengucapannya seperti petrisis alba (karena panas)--"

Tidak sampai lima menit saya konsul, lalu antre membayar biaya konsul sebesar Rp 155.000 dan beranjak ke ruang sebelah untuk menebus obat. Niat awalnya, ingin tanya dulu berapa total harga obat yang harus saya tebus. Namun, padatnya orang membuat apotekernya menyuruh saya duduk saja dulu, menunggu antrean. Saya kebagian nomor urut 85, sedangkan yang dipanggil baru nomor 60. Aah.. Kembali menunggu membuat saya mengantuk.

"Nomor 85."

Itu nomor saya! Saya bergegas ke kasir untuk membayar.

"Totalnya Rp 627.000"

Hah!? Mahal banget! Saya intip layar komputer mbak kasir yang terlihat karena letaknya tegak lurus dengan tempat saya berdiri. Ada satu obat, namanya AOT kalau tak salah seharga Rp 497.000. Itu dia penyebab mahalnya!

"Ng.. Mbak, saya tebus sabun sama sunblocknya saja."

"Obatnya enggak, Mbak?"

"Enggak usah."

"Oke, jadi Rp 44.000"

Saya bayar tunai. Lalu kembali menunggu lima menit untuk menerima obat yang sudah dibeli. Jarum pendek jam ada di antara angka tujuh dan delapan, sementara jarum panjangnya di angka tujuh. Lumayan membuang waktu, pikir saya. Dari pukul enam, hanya seperti ini hasilnya. Saya semakin heran, rumah praktik dokter itu tak pernah sepi. Padahal, kalau saya perhatikan, yang datang ke sana tampan dan cantik. Apa yaa yang mereka obati?

Tak habis pikir saya. Kembali teringat pada harga obat yang seharusnya saya tebus tadi. Uang segitu, bisa untuk biayain sekolah ponakan, anak yatim, atau makan seminggu, atau travelling ke pulau seribu/kota lain, dan masih banyak lagi, ketimbang cuma untuk menghilangkan flek putih akibat kepanasan. Toh, flek itu bukan penyakit yang membuat produktivitas kinerja saya menurun. Bukan penyakit serius. Bisa diakali dengan memakai bedak atau sunblock. Bisa juga saya perbaiki melalui pola makan, memperbanyak vitamin dan nutrisi alami bagi kulit. Cara alami yang lebih mudah, murah dan menjanjikan. Tidak instan memang. Lebih baik uang itu untuk kepentingan yang lebih besar, dibandingkan kepentingan secuil diri saya, yang bukan kebutuhan primer saya.

***

Yaa.. Sering kali, suatu hal yang menurut orang lain penting, belum tentu penting bagi kita. Seperti gadget, bagi saya, selama masih berfungsi sebagaimana fungsinya, saya masih bisa menghasilkan tulisan melaluinya, walau sudah jadul, agak error, tapi tetap oke. Tidak perlu diganti. Namun, bagi sebagian orang, ada yang merasa penting baginya mengikuti perkembangan zaman. Prioritas, untuk mengganti gadgetnya agar dia lebih paham update terbaru, bisa memerinci specification tiap gadgetnya. Manusiawi, lumrah.

Pun halnya dengan uang 600 ribu. Bagi saya untuk obat kulit yang tidak mengganggu fungsional tubuh saya, hal itu bukanlah prioritas. Tak penting. Tapi, bagi seorang model, artis, atau orang yang bekerja dan harus berpenampilan menarik, hal itu sangatlah penting.

Tidak boleh bagi kita memaksakan ukuran-ukuran/nilai-nilai hidup kita pada orang lain, dan menjudgenya negatif bila tak sesuai dengan nilai kita. Itu sama saja seperti memaksakan orang berukuran L memakai baju kita yang berukuran S, pun sebaliknya.

Prioritas, biasanya berangkat dari nilai-nilai hidup yang dianut. So, tentu berbeda prioritas orang yang berjiwa sosialis dengan orang yang berjiwa individualis. Berbeda prioritas orang yang bergaya hidup hedonis dengan bergaya hidup prihatin.

So, pahami dasarnya, mengapa semua itu bisa berbeda. Ada kalanya, prioritas bagimu, belum tentu prioritas bagi lainnya. Pun sebaliknya.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget