Pages

20 August, 2014

Si Gila: Lebih waras dariku

Setiap orang memiliki sisi gelapnya, yang disembunyikan rapat-rapat. Namun, di saat-saat tertentu sisi gelap itu terkadang menyeruak, memaksa tampil keluar. Boleh kita sebut sisi gelap itu dengan... Si Gila.

***

Aku memutar kunci pintu kamar dengan takzim. Berharap di balik pintu itu, ada yang menyambutku. Walau aku tahu, itu hanya khayalanku saja. Sudah pasti yang menyambutku dalam sepetak kamar itu hanyalah kegelapan yang sunyi. Tapi berharap tidak pernah salah, toh? Sebab harapan-harapan itulah yang membuat kita tetap hidup, meski tak pernah mewujud nyata.. Itulah sebabnya ia dinamakan impian, benar-benar mimpi. Tak nyata.

Pintu terbuka. Keheningan dan gelap menyeruak, menyergapku. Aaahh... Padahal baru saja beberapa menit lalu aku merasa menjadi orang paling bahagia. Menghabiskan makan malam bersama sahabat, menertawakan kehidupan, dan menutup hari dengan senyum. Tapi, di kamar petak ini, aku kembali merasa sendiri. Di saat-saat inilah, si Gila sering kali mengajakku berbicara. Ia selalu meminta perhatianku, walau berulang kali kuabaikan.

"Kamu sakit."

Itu suara si Gila.
Aku hiraukan ucapannya. Berfokus meletakkan sepatu ke dalam lemari gantung.

"Akuilah, kamu tak sanggup. Katakan, bahwa kamu penat. Menyerahlah..."

Apa katanya? Menyerah? Itu tidak ada dalam kamus hidupku. Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Membuat si Gila tersenyum, tahu bahwa ucapannya kudengarkan.

"Hidupmu terlalu putih. Semua serba teratur, dan patuh hukum. Sudah kubilang, sesekali pikirkan dirimu sendiri. Dobrak hidupmu! Agar mereka tahu, bahwa kamu juga berhak tak menuruti peraturan. Itu semua hanya membuatmu sesak, kan!"

Dia benar-benar gila.

"Oh, ayolah... Bermanjalah sedikit. Kamu berhak untuk itu. Jangan selalu menjadi wanita tegar dan sok kuat dalam menyelesaikan semua masalahmu sendiri. Lelaki tak menyukai itu. Mintalah pertolongan."

"Aku bisa melakukan semua itu sendiri. Sebaiknya kaudiam!"

"Hahaa... Aku percaya kamu bisa. Tapi melihat keadaanmu sekarang... Apa bedanya kamu dengan kuda? Kerja keras, didera, lalu mana hasilnya? Siapa yang menikmati? Kamu memang masih sendiri, tapi pikiranmu sudah seperti berseribu."

Sungguh si Gila amat menyebalkan...
Tapi tak kupungkiri, kata-katanya ada benarnya. Itulah sebabnya, semenyebalkan apa pun dia, aku tetap mendengarkannya, walau dengan gaya abai.

***

Tubuhku terasa seperti terbakar. Pipi, kening, dan kedua ujung tanganku, panas dan nyeri, persis seperti sehabis mengulek cabe. Panas seperti itu. Kucuci dan kurendam berulang kali ke seember air, tak juga hilang rasa panasnya. Lalu kepalaku seperti mendingin dari ujung ubun-ubun. Seketika aku merasa gelap. Ini lucu. Aku tahu, aku pingsan. Tapi aku tak bisa memaksa diriku untuk sadar. Kelopak mataku terasa berat untuk dibuka.

Aku tak lagi mengingat waktu. Tahu-tahu, hari sudah siang. Bahkan aku sempat lupa ini hari apa. Bunyi ting tong bbm, WA, email, sms dan notif dari media sosiallah yang menyadarkanku. Sepertinya aku tidak bisa beraktivitas. Walau telat, aku tetap mengabari rekan kerjaku bahwa aku tak masuk kantor.

Di antara batas kesadaran dan kewarasanku, keinginan sederhana terasa begitu mahal: segelas air putih, kompresan hangat dan hadirmu. Nyatalah semuanya hanya mimpi. Bahkan suaramu terdengar begitu dekat, aku sempat berilusi bahwa kamu memegang keningku... Menenteramkan.

Lalu Si Gila muncul.

"Periksakan dirimu ke dokter. Sepertinya kamu butuh general check up. Kamu selalu mengabaikan sakit, menganggap remeh. Lihatlah sekalinya drop..."

"Percuma... Aku tahu apa yang akan dikatakan dokter. Mereka hanya akan bilang kecapekan, banyak pikiran, lalu sedikit menasihati pola makan dan memberiku beragam racun bernama obat itu. Aku jauh lebih tahu tentang diriku. Kuyakin setiap orang adalah dokter untuk dirinya sendiri."

Beberapa detik yang hening berlalu. Hei... Si Gila diam. Tumben! Biasanya dia akan mendebatku.

"Mengapa kaudiam?"

"Aku kasihan padamu. Sebaiknya kamu menulis. Mungkin dengan menuliskan apa yang kamu rasakan, kamu akan cepat sembuh. Sudah lama kamu tak menulis, kan? Aku lupa, bahwa menulis bagimu adalah obat. Bukan untuk berkarya. Yaa.. Menulis bagimu adalah terapi, menjaga kewarasanmu."

Lalu si Gila pergi.

Apa-apaan ini!? Mengapa si Gila jadi bijak begitu? Aaah.. Sepertinya aku memang sakit. Tidak mungkin si Gila lebih waras dari aku yang nyata.

Tidak mungkin.

***


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget