Pages

06 August, 2014

Satu tulisan yang dipaksakan

Terbangun pukul lima pagi, dengan firasat tak enak. Tapi kuacuhkan saja. Bergegas salat subuh, melawan kantuk yang memaksa untuk tetap bergelut di balik selimut. Dua rakaat kutunaikan sekadarnya. Bahkan sempat kuselingi dengan menguap. Entahlah, benarkah ibadah yang kulakukan dalam setengah kesadaran itu. Secepatnya kuakhiri agar dapat bercumbu lagi dengan guling.

Terbangun untuk kali kedua pukul enam. Omelan mama adalah nyanyian pagiku. Omelan yang sama isinya di tiap pagi. Masih tentang kelakuanku sebagai anak perawan, dan kekhawatirannya akan masa depan rumah tanggaku, menilik sifatku yang semakin sering bangun siang. Lagi-lagi, kubalas dengan cengiran dan menggodanya dengan ciuman. Yaa... Menurutku, bila orang sedang marah-marah, cemberut atau emosi negatif lainnya hanya perlu disikapi dengan senyuman, pelukan dan ciuman. Perlahan omelannya mereda, mama terdiam pasrah dengan godaan dan ciumanku yang bertubi-tubi di pipinya. Menyerah. Mama kemudian beranjak mengambil kerudungnya, bertanya mau dibelikan nasi uduk Bu Yati atau nasi uduk RT 06. Kujawab, nasi uduk RT 06. Lumayan jauh dari rumahku. Tapi, begitulah mama. Benar-benar surga seperti surga. Sementara aku bebenah dan mandi, mama menyediakan sarapanku. Selesai berpakaian, kutemukan nasi uduk kesukaanku sudah tersedia, lengkap dengan segelas teh manis hangat. Seperti biasanya, aku hanya mampu memaksakan diri untuk menghabiskan setengah porsi. Sisanya? Yaa mama yang habiskan. Mama hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Tapi dihabiskannya juga nasi uduk itu.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan saat aku pamit. Matahari sudah sepenggalah, sinarnya begitu terang, menandakan ia begitu bersemangat menyambut pagi ini. Lumayan membuat peluhku mengalir, walau aku berlindung di balik bayang-bayang tiang listrik saat menanti bus. Lima menit. Bus yang kunanti datang. Supirnya masih muda, mengemudi dengan kecepatan supersonik. Mungkin ia merasa dirinya kucing, memiliki sembilan nyawa. Atau karena merasa masih muda, ia tidak takut mati. Walau agak ngeri, berlafazkan istigfar, aku cukup menikmati. Dengan gaya seperti ini, ditambah jalanan ibu kota yang belum begitu padat, kemungkinan sampai kantor akan lebih pagi. Benar saja, setengah jam kemudian aku sudah tiba di perempatan radio dalam--tempatku biasa turun.

Sepuluh menit kuhabiskan berjalan kaki, melewati jalanan komplek radio yang cukup lengang. Lazuardi begitu indah. Pohon-pohon seperti bercahaya keemasan, tertimpa sinar matahari dari sebelah kiri. Bahkan aku melihat seekor tupai berlari meniti kabel listrik. Cukup membuat aku tercengang, di Jakarta melihat tupai, bukankah itu lumayan langka!? Seperti biasa, lantai satu masih sepi. Aku mengaktifkan laptop, lalu perlahan tenggelam dalam kesibukan membuat silabus, pre & post test, serta rutinitas lainnya, ditemani suara penyiar radio Jak FM yang kustreaming. Sekitar pukul sebelas, perutku sakit dan migrainku kambuh. Firasatku bahwa periode datang bulanku jatuh pada hari ini terbukti. Dari rumah sudah kukenakan pembalut dan kubatalkan niat puasa qadha. Oh Tuhan, rasanya ingin kucopot sebentar kepala ini, atau berharap bisa mengeluarkan rasa sakit karena migrain seperti Dumbledore mengeluarkan ingatannya ke dalam pensive. Sayangnya, itu hanya imajinasiku semata. Kutahan-tahan, sambil sesekali wajahku mengernyit bila ada beberapa titik yang terasa ditusuk-tusuk di dalam kepalaku sebelah kiri. Perlahan mataku terasa pedih, badanku terasa meriang, pegal-pegal di sekujur tubuh. Hari pertama selalu menyiksa. Ingin sekali rasanya mematikan laptop, gadget, dan segala benda yang bercahaya. Yaa.. Saat migrain, aku menjadi photofobia--menghindari cahaya. Yang kubutuhkan adalah kegelapan pekat, dan berbaring. Sayangnya, di kantor tidak bisa kulakukan itu. Kucari panadol merah di kotak obat. Kutemukan sisa satu. Kutenggak cepat dengan seteguk air mineral. Berharap obat itu langsung bekerja, menghentikan rasa sakit yang semakin menjalar dalam kepalaku.

Jam istirahat tiba. Awalnya malas beranjak ke mana-mana. Rasanya aku hanya ingin meringkuk di kursiku, menekan erat-erat perutku yang semakin sakit dan merebahkan kepalaku seperti bersujud. Tapi, aku lapar. Berpikir lebih menguras energiku, dibandingkan berenang. Energi yang dihasilkan dari nasi uduk tadi pagi sudah habis seiring lahirnya sebuah silabus dan revisi dua silabus lainnya. Kuikuti ketiga rekan kerjaku yang mengajak makan soto padang. Kebetulan, sudah lama aku mengidamkan soto padang, namun belum berhasil mewujudkannya. Sebab, saat aku datang ke warung padang tersebut di waktu istirahat hari jumat, mereka tutup. Pegawai mereka ternyata lelaki semua dan salat jumat semua. Hatiku lumayan senang membayangkan akan merasakan soto padang yang terkenal enak dan direkomendasikan beberapa temanku itu. Tapi kesenangan itu hanya bertahan sementara. Warung padang tersebut tutup, karena tempatnya sedang diperbaiki. Ah, sentimen sekali warung itu padaku. Dua kali tak berhasil kurasakan soto padang. 

Kami pun berbelok tujuan, ke Lokananta. Sebuah cafe yang cukup cozy, harga lumayan, cukup worth it untuk ukuran dan rasa makanannya. Hanya saja, agak menyebalkan. Total waktu yang kami habiskan di sana adalah dua jam. Satu jam lebih kami habiskan untuk menunggu orderan. Untunglah, suasana kerja masih belum terlalu efektif. Jadi ketelatanku kembali ke kantor masih dimaklumi, toh pekerjaanku sudah selesai semua. Sempat stuck mau mengerjakan apa lagi setelahnya, sehingga kusibukkan diri dengan beragam ad hoc. Keasikan mengerjakan ad hoc, membuatku tak menyadari bahwa jam telah menunjukkan pukul lima. Waktunya pulaaaang. Sengaja aku pulang tepat waktu dan bergegas cepat, karena ingin ke dokter kulit untuk memeriksakan bintik putih yang ada di wajahku. Tapi, kekecewaan lagi-lagi menyapaku. Dokternya hanya praktik di hari senin, rabu dan jumat. Kuhela nafas panjang, berbalik arah dan kuputuskan pulang. 

Di atas bus yang melaju mengantarkanku pulang, banyak kelebatan pikiran di kepalaku. Salah satunya, menyayangkan betapa akhir-akhir ini aku mudah merasa lelah dan mengabaikan komitmen menulis satu tulisan dalam satu hari. Belum lagi hutang-hutang proyek cerpen. Aah.. Kupaksakan diri mengetikkan kata demi kata di kepalaku. Tapi jariku membeku. Akhirnya, kuputuskan untuk mencoba menceritakan kejadian yang kualami hari ini mulai dari bangun hingga detik kutuliskan cerita ini. Inilah hasilnya... Satu tulisan yang dipaksakan.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget