Pages

01 July, 2014

Siapa mengerti siapa?

Ketika kita sudah mencoba mengerti, namun orang lain tak mau mengerti. Padahal kata Stephen Covey di bukunya 7 habits, hukum kelima adalah: Memahami dahulu, baru dipahami. Tak semudah itu aplikasinya di dunia nyata, terlebih bila menyangkut interaksi manusia. Ada manusia yang peka dan paham, ada yang kurang peka dan perlu diberitahu, ada pula yang ndableg, sudah disindir, ditegur kasar, malah makin menjadi. Ada pula yang paham, tapi maunya dia yang dipahami terus. Seperti bocah. Lalu kapan giliran dia yang memahami kita? Siapa mengerti siapa? Melelahkan, yaa...

Ketika kita berbaik sangka, namun orang lain berburuk sangka pada kita. Ada beberapa hal yang tak bisa dipisahkan dari manusia. Salah satunya kecenderungan mencari yang mirip (baik secara fisik atau pun mental, sikap, dll), serta prasangka. Bukan hal yang aneh, bila manusia terlihat memiliki kelompok-kelompok tersendiri. Dalam lingkungan rumah, kampus, kantor, komunitas, dan lainnya. Pasti ada forum di dalam forum. Kelompok kecil di dalam kelompok. Semacam genk. Itu alamiah, manusiawi. Sebab, manusia akan menyaring lagi orang-orang terdekatnya yang paling banyak memiliki kemiripan dengannya. Sayangnya, ada beberapa manusia yang kurang paham atas sifat tersebut. Mereka berburuk sangka, ketika tidak masuk dalam lingkaran hidup manusia lainnya. Padahal manusia yang diprasangkakan itu, tak ada niat untuk mengeksklusifkan diri. Contoh kecil, bila kamu menjunjung salat awal/tepat waktu, lalu suatu ketika kamu melihat semua temanmu sedang sibuk bekerja. Kamu tak enak mengganggu, maka kamu salatlah sendirian tanpa mengajak. Kalau yang paham, pastinya akan segera menyusul salat. Kalau yang ndak paham, hanya mikir salat aja dia mah pilih-pilih sama siapanya. Haha... Bisa gila ga tuh? Kalau dikit-dikit sensitif, mikirin omongan orang. Enggak semua hal harus disharing atau dipaksakan. Enggak semua orang berdakwah dengan lidah. Ada yang pemalu, dia hanya berani mengajak kepada yang sudah dekat sekali, selebihnya dia hanya akan berdakwah melalui lakunya. Berdoa dan berharap semoga yang lain tergerak untuk menirunya, dan bersama-sama menuju Allah dengannya. Nah, capek kan?

Selalu saja ada kecewa yang semakin besar bila kita berfokus pada satu kejadian negatif, mengabaikan ratusan kejadian positif yang kita telah alami bersamanya. Itulah insaan, manusia, tempatnya lupa, khilaf. Maka, salah satu cara mengurangi kekecewaan adalah dengan memaafkan. Bukan berarti memaafkan perilakunya yang menyakitkan kita itu berarti mengizinkan dia menyakiti diri kita lagi. Melainkan, dengan memaafkan, kita telah menolong diri kita sendiri dari rasa negatif. Toh, masih banyak hal lain yang harus kita pikirkan dibandingkan memikirkan dia dan lakunya yang telah menyakiti kita. Dia saja belum tentu memikirkan kita. Di sinilah letak perbedaan sikap dewasa dan yang bocah.

Mendekatlah pada Allah, dengan mengingatNya hati menjadi tenang. Semakin kita disakiti, semoga tak menjadikan kita demikian apatis terhadap cinta dan orang-orang yang mencintai kita. Justru, semakin kita disakiti, kita semakin tahu ragam perilaku yang tidak kita inginkan menimpa diri kita. Sehingga, kita semakin memperbaiki diri kita, agar tak menyakiti seperti orang lain menyakiti kita.


Semoga...


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget