Pages

15 July, 2014

Pada bilangan tahun keberapa, kita akan berakhir?

Gambar diambil dari sini

Kemarin saya pergi takziyah ke rumah tante di Bekasi, sebab om saya meninggal dunia. Di sana, saya mendengarkan kronologis bagaimana om meninggal dan detik-detik terakhir hidupnya melalui cerita yang dikisahkan oleh tante. Satu hal yang menarik, saat om sudah tak bernyawa, tante masih agak kesulitan menerima kenyataan bahwa om telah pergi. Butuh beberapa menit dan beberapa orang untuk menyadarkan beliau, bahwa om sudah tiada.

“Tiga puluh enam tahun bersama. Saya masih tidak dapat percaya, bahwa ia ninggalin saya. Bahkan saya tidak mendapat firasat apa pun bahwa ia akan pergi jauh. Memang sebelumnya dia sempat berujar bahwa ia berharap ia yang lebih dahulu dipanggil Tuhan daripada saya. Sebab, dia berkata tak akan sanggup bila ditinggalkan oleh saya.”

Di sana, mama saya menguatkan tante dengan menyimak ceritanya tanpa menyela. Mama pernah ada di posisi tante, saat bapak meninggal. Bapak dan mama tercatat dua puluh dua tahun bersama. Bilangan tahun mereka, meramu banyak kisah, hingga maut yang memisahkan.

Ya… angka-angka itu hanya menjelma sebaris angka bagi saya. Tapi tidak bagi mereka—ibu dan tante saya. Saya membayangkan berapa banyak air mata, pertengkaran, pengendalian diri, penahanan ego, senyum palsu, hingga senyum bahagia yang harus mereka lewati demi mencapai bilangan tersebut. Penyatuan kultur yang berbeda, sifat dan karakter yang bagai hitam dan putih—tak sewarna—serta perbedaan-perbedaan lainnya yang bagai langit dan bumi. Menyimak beragam hubungan teman saya yang pacaran bahkan menikah satu tahun saja sudah putus atau cerai, bukankah itu sebuah prestasi?

Mama pernah berkata pada saya, “Menjadi seorang perempuan, haruslah memiliki sabar dengan tingkat kesabaran di atas sabar. Ego dengan tingkat terendah di bawah ego. Latihlah sekarang, agar kelak kamu menjadi istri dan ibu yang tangguh.”

Kembali ke bilangan-bilangan itu—yang begitu menyita perhatian saya. Saya bertanya pada mama, pernahkah terpikir akan sampai bilangan keberapakah hubungan ini?

Jawabannya, tidak. Bahkan kalau pun terpikir, selalu terpikir bahwa akan selamanya—selama nafas masih berhembus.

Lalu saya asyik bermain dalam benak saya, tak jenuhkah? Melihat dia lagi, dia lagi, yang berada di sampingmu saat kamu akan menutup mata (tidur) dan membuka mata kembali (bangun tidur). Namun, tak saya tanyakan. Nanti saja, saya simpan dahulu pertanyaan itu.

Juga mengenai pembicaraan “Siapa yang akan dipanggil Tuhan lebih dahulu?”

Mengapa dari kisah-kisah yang saya baca dan saya amati, kebanyakan suami yang meminta dipanggil Tuhan terlebih dahulu dibandingkan istrinya? Tak kasihankah pada sang istri? Hal ini ingin sekali saya tanyakan pada para lelaki, terutama lelaki yang kelak bersama saya. Apa pertimbangan mereka?

Ah.. berangkat dari bilangan tahun yang terlewati bersama seseorang dalam hidup, membuat saya banyak bertanya-tanya, dan sampai pada ujung pertanyaan, “Kira-kira, pada bilangan tahun berapa kita ditakdirkan bersama oleh Tuhan?”

Dan saya memejamkan mata.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget