Pages

09 April, 2013

[Cerpen Duet] When you say Nothing at All


-Rinai-

Cinta itu sekuat kematian ....
kau tak akan pernah tahu sampai saatnya tiba.”

Aku memandang lekat pada nisan dingin di hadapanku. Aku tahu sebentar lagi butiran kristal akan jatuh dari pelupuk mataku. Selalu begini, tiap aku ke tempat ini. Tiap aku memandang lekat pada nisan kaku ini. Tiap aku berbincang lewat kata atau doa pada sebaris nama yang terukir di situ.

Arwan Bagaskara

Perlahan, air mataku turun saat nama itu kueja terus dalam hati. Sosok yang sampai sekarang masih begitu lekat dalam ingatanku. Lelaki yang enam bulan lalu masih bisa kulihat senyumnya. Lelaki yang berani melamarku dan menjadikanku tunangannya. Lelaki yang jasadnya sudah bersatu dengan tanah itu … dia Bagas-ku. Aku rindu dia.
Cukup lama aku bercerita lewat isak tentang hari-hariku seminggu belakangan ini, pada sosok Bagas yang masih bisa kurekam lewat kenangan, sampai tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku dari samping. Aku tidak kaget lagi, sebab kutahu tangan milik siapa itu.
“Rinai, sudah sejam kita di sini. Sudah cukup hari ini kau menangis dan mengadu pada Bagas. Sekarang, peluk dia lewat doamu.”
Aku menoleh pada lelaki yang sedang berjongkok di sampingku sambil mengangguk kecil. Dia selalu tahu kapan waktunya aku harus berhenti terisak di depan makam. Aku lalu menutup mata, berdoa untuk Bagas. Aku tahu dia di sampingku juga melakukan hal yang sama.
“Kita pulang sekarang?” Dia bertanya yang kubalas dengan anggukan.
Kami berjalan meninggalkan kompleks pemakaman umum.
**
-Ibnu-

Doa adalah cara terbaik untuk memeluk dirimu dan orang lain. Jadi, mari saling berpelukan lewat doa-doa, Sayang.”
Lagi-lagi dia menangis. Bola mata indahnya tertutup kabut lagi di makam tadi. Selalu begitu. Sejak kematian Bagas, tunangannya, enam bulan lalu. Aku tahu tidak mudah bagi Rinai menghadapi kenyataan bahwa calon suaminya begitu cepat pergi meninggalkannya, dengan cara yang tak diduga-duga.
Aku masih ingat senyum ceria Rinai saat memberitahuku soal Bagas yang akan segera melamarnya, satu setengah tahun yang lalu. Aku masih ingat bagaimana sahabatku dari SD ini dengan antusias menceritakan rencana-rencana masa depannya dengan lelaki yang sudah tiga tahun dipacarinya itu.
Lalu, tiba-tiba keceriaan itu berubah jadi mendung yang menggantung di pelupuk matanya, enam bulan lalu. Seperti senyum ceria Rinai, aku pun masih sangat ingat bagaimana hancurnya dia saat menemukan tubuh Bagas sudah tak bernyawa di kamar rumah sakit. Sebuah kecelakaan mobil di jalan raya, satu dari dua korban tewas adalah Bagas.
Saat itu, untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya saat SD, aku lihat Rinai begitu terpuruk dan rapuh. Aku merasakan kehancuran yang sama. Rinai, sahabat karibku seperti kehilangan setengah hidupnya. Aku lebih hancur lagi saat mendapati diriku tak bisa apa-apa selain selalu ada di sampingnya dan mengawasinya.
Aku tak bisa mengembalikan senyum cerianya. Aku tak bisa membuatnya tertawa riang. Aku tak bisa mengembalikan Rinai yang selalu tersenyum pada semua orang. Aku menyadari bahwa sebagai sahabat, aku tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku hanya bisa selalu berdiri di sampingnya dalam diam. Itu saja.
“Ibnu?”
Panggilan kecil dari Rinai memaksaku kembali dari ‘jalan-jalan’ku ke beberapa waktu yang lalu. Kami sudah sampai di parkiran kompleks pemakaman umum. Aku menatap Rinai yang matanya masih sembab.
“Kita pulang sekarang?” tanyaku.
Rinai menatapku sebentar dengan mata sendunya. Sungguh aku tak sanggup melihat kesedihan di mata beningnya. “Jangan pulang sekarang deh, Nu. Kalau Ibu lihat mataku bengkak lagi, nanti dia ikutan sedih. Kita ke mana aja dulu, deh.”
 “Kamu masuk dulu, deh. Nanti di jalan aku pikirkan ke mana kita selanjutnya.” Aku tersenyum lembut pada perempuan 22 tahun di hadapanku.
Rinai mengangguk sambil membuka pintu mobil. Kami berjalan menyusuri jalanan sore Makassar yang cukup padat. Di mobil, Rinai hanya diam. Larut pada pikirannya. Entah tentang apa. Mungkin—atau pasti—tentang Bagas.
Maka kuputuskan membawa Rinai ke tempat itu.
**
-Rinai-

Pukul lima sore. Pantai Losari Makassar. Lagi-lagi Ibnu selalu tahu apa yang aku butuhkan tanpa sepatah katapun yang aku ucapkan.
Sahabatku dari kecil ini memang paling mengerti aku. Meski umur kami hanya terpaut setahun, aku yakin Ibnu selalu bisa diandalkan. Sejak aku SD sampai sekarang kuliah, dia tak pernah meninggalkanku. Saat aku terpuruk karena Bagas meninggal, dia selalu ada. Ibnu memang sahabat terbaikku.
Aku melihat Ibnu mulai mengeluarkan kamera andalannya dari dalam tas, benda yang setia dia bawa ke manapun dia pergi. Di depan kami, kanvas Tuhan membentang dengan sangat megah. Langit jingga sore hari. Sebentar lagi bola emas raksasa di sana akan tenggelam. Senja.
Pantai, tempat favorit Ibnu, sejak kecil. Aku tahu, sebab dari dulu aku selalu ikut setiap dia pergi ke pantai-pantai indah di Makassar. Ibnu membawaku ke sini, ke tempat yang tak ada kenangan aku dengan Bagas. Bagas punya ketakutan terhadap laut, jadi tak mungkin dia membawaku ke laut atau pantai. Ibnu membawaku ke sini, ke tempat favoritnya yang juga aku suka.
“Sebenarnya aku ingin memotret gadis hujan ini dengan latar senja Makassar. Tapi ..., aku tak pernah memakai gadis bermata bengkak sebagai model fotoku,” kata Ibnu tanpa menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk menjepret objek indah di depannya.
Aku terkekeh mendengar candaannya. “Walaupun mataku bengkak, tapi aku masih kelihatan cantik tauuuu! Ayo, sini foto aku!” Aku sedikit menarik ujung kaosnya. Dia akhirnya terbahak melihat ekspresi pura-pura kesalku.
**
-Ibnu-

Aku diam-diam memotretnya. Gadis yang matanya sembab ini selalu saja menarik untuk menjadi objek. Saat matanya menatap kagum pada pemandangan luar biasa di depannya. Saat mata beningnya menatap kosong sesekali—mungkin mengingat Bagas. Aku selalu suka apa yang dia lakukan.
Bersama Rinai selalu nyaman yang kurasa. Kenyamanan ketiga yang kudapatkan selain rahim dan dekapan Ibu. Aku selalu ingin menjadi penjaganya. Sejak pertama kali kumengenalnya. Gadis penyuka hujan dengan spontanitasnya yang lugu. Gadis yang menyembunyikan kerapuhannya dalam ketegaran akibat ujian kehidupan. Gadis ini selalu menarik tanpa tahu dia telah menarikku.
Ada satu momen yang kuingat. Saat ayahnya meninggal karena sakit jantung. Saat itu ia berusia 11 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Rinai tidak sedikit pun mengeluarkan air matanya saat prosesi pemakaman. Bahkan gadis sekecil itu, tampak lebih tegar dari ibu dan kakaknya. Rinai menenangkan ibunya dari isak tangis yang meraja akibat kepergian suami tercinta. Rinai.. memahami arti kehilangan dan ketegaran mengarungi hidup sejak usianya 11 tahun. Dan aku memergoki ia menangis saat hujan turun. Ia menangis bersama hujan! Ia bercerita melalui tangisnya. Rinai sahabat kecilku, cinta pertamaku hingga kini.
Ya, aku mencintainya.
**
-Rinai-

“Ada yang pergi dan ada yang tetap tinggal.”
Ibnu.. orang yang paling memahamiku setelah Ibu. Lelaki yang karakternya sangat kokoh, entah mengapa hingga kini ia belum memiliki kekasih. Postur tubuhnya serupa model, wajahnya yang kearab-araban mendukungnya untuk jadi artis. Tapi Ibnu adalah lelaki sejati. Ia tidak tertarik untuk menjadi artis ataupun model. Ia lebih memilih menjadi fotografer … dan sahabatku.
Ibnu tidak pernah bercerita tentang perempuan yang ia sukai. Aku sering mengoloknya, lelaki dengan penampilan mendekati sempurna di mataku itu sampai sekarang belum memiliki kekasih. Apakah gadis-gadis di Makassar tak satupun bisa menarik perhatiannya?
Aku ingat, dia pernah mengatakan kalau ada seorang gadis yang sangat ia sayang. Sayangnya, aku hanya tahu sebatas itu. Ibnu terlalu misterius dalam hal perasaan, menurutku. Atau mungkin aku yang kurang peka pada sahabat terbaikku ini? Entahlah, mungkin dulu aku terlalu larut dengan Bagas. Saat itu aku terlalu fokus pada Bagas.
Ahhh… Bagas … mengapa Tuhan begitu cepat mengambil lelaki yang kusayangi. Dulu, Ayah pergi karena jantung. Beberapa bulan lalu, Bagas, tunanganku pergi juga untuk selamanya. Aku tak mau Ibnu bernasib sama. Aku tak mau Tuhan memanggil Ibnu dari sisiku. Aku butuh Ibnu. Aku butuh sahabatku.
**
- Ibnu -

“Izinkan aku selalu menjaganya, Tuhan.
Aku mencintainya. Maka, kutitipkan ia padaMu. Sebentar saja.”
Aku mengamati Rinai dari sudut ekor mataku. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya berubah ekspresi dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lucu sekali gadis ini.
“Rinai,” panggilku.
“Hmmm?”
“Lusa aku akan ke Jakarta. Aku memenangkan kontes Fotografi Landscape Indonesia dari Koran Indonesia. Hadiahnya adalah undangan menghadiri acara Seminar Fotografi oleh Darwin, fotografer favoritku. Maaf aku tidak memberitahukan hal tersebut padamu dari awal, karena aku pun masih bimbang akan menerima tawaran ini atau tidak.”
Rinai tampak terkejut. Mungkin dia kaget akan berpisah sementara denganku. Maklum, selama enam bulan terakhir aku tak pernah alpa dari sisinya. Bahkan beberapa acara kampus yang mengharuskanku keluar kota aku batalkan demi dia. Tapi untuk yang satu ini aku ingin sekali ikut. Kesempatan ini buatku belum tentu akan datang dua kali. Makanya aku berani mengutarakan maksudku ini pada Rinai.
“Tapi kalau kau membutuhkanku tiga hari ini, aku bisa membatalkan undangannya…,” lanjutku. Aku tak tega melihat wajah sedih gadis ini.
Rinai menggeleng tegas. “Kamu pergi saja, Cuma dua hari, kan? Aku tahu kau sangat mengidolakan Darwin. Tenang saja, Insya Allah aku akan baik-baik kok.” Kulihat Rinai tersenyum menenangkan.
**
-Rinai-

“Mungkin suatu yang terlarang, tak layak untuk kita paksa terang.
Semuanya kini terpampang nyata. Segala rahasia. Tanpa sengaja.”

Aku berjalan pelan memasuki kamar Ibnu. Kemarin aku ceroboh meninggalkan flashdisk-ku saat ke sini. Ibnu sedang ke Jakarta menghadiri undangan seminar, jadi tadi aku meminta izin pada ibunya untuk mengambil barang yang kelupaan itu. Sebenarnya satu-satunya privasi yang tidak mau kuusik dari Ibnu adalah isi kamarnya. Tapi aku terpaksa meminta izin pada Ibnu, sebab aku sangat membutuhkan flashdisk tersebut.
Kamar Ibnu tampak rapi. Ciri khas Ibnu yang teratur. Hitam dan putih. Warna kesukaanku dan Ibnu. Karena hidup bagi kami adalah pasangan, Yin dan Yang, senang dan sedih. Semua tercermin dalam warna hitam dan putih. Aku langsung menemukan flashdisk-ku di atas meja.
Saat meraih FD, tanpa sengaja aku menyenggol album foto hasil jepretan Ibnu. Aku tergoda untuk melihatnya. Semua adalah potret tempat-tempat yang Ibnu datangi. Namun, ada selembar foto yang membuatku tertegun. Foto yang terselip di halaman terakhir album itu.
Fotoku.
Dalam foto itu aku sedang menatap kosong ke depan dengan mata yang masih sembab sehabis menangis. Aku ingat sekali, foto ini pasti diambil beberapa waktu yang lalu saat aku dan Ibnu ke Losari sehabis menjenguk makam Bagas. Aku menatap kosong bola emas raksasa yang siap tenggelam.
“Sebenarnya aku ingin memotret gadis hujan ini dengan latar senja Makassar. Tapi ..., aku tak pernah memakai gadis bermata bengkak sebagai model fotoku,”
Aku ingat waktu Ibnu bilang itu. Ahh, Ibnu ada-ada saja deh. Aku berniat meletakkan foto itu kembali, tapi lagi-lagi aku tertegun. Bukan karena keindahan foto-foto Ibnu yang memang sudah aku akui sejak dulu … melainkan pesan di balik fotonya!
Gadis hujanku yang tengah bersedih, bisakah kuhapuskan kesedihanmu dengan rasa sayangku? Sebab air matamu begitu menyakitkanku. Sebab kesedihanmu adalah luka untukku. Sahabatku, aku mencintaimu. Ibnu-
Benarkah ini, Ibnu? Sahabat baikku? Mencintaiku? Tidak mungkin!
**
-Ibnu-                        

Ada yang aneh dengan Rinai. Seharian ini gadis itu tak mengangkat telepon dariku. Padahal kemarin ia terdengar baik-baik saja saat meminta izin mengambil flashdisk-nya yang tertinggal. Apakah mungkin Rinai teringat kembali pada Bagas? Sepertinya aku harus cepat-cepat kembali ke Makassar.
**
-Rinai-

Aku terpaksa mematikan ponselku. Dari semalam Ibnu tak berhenti menghubungiku. Aku tahu sejam yang lalu dia sudah tiba di Makassar. Dia mengirimkan sebaris pesan singkat ke nomorku. Sejak sepuluh menit lalu ponselku berhenti berdering karena kumatikan. Aku belum bisa berbicara padanya. Tepatnya, aku tak bisa bersikap biasa lagi pada Ibnu.
Sejak kemarin aku tak memandang Ibnu sebagai sahabat karibku saja. Tapi, kini dia berubah jadi sosok lelaki dewasa yang memiliki perasaan padaku dan aku tahu itu. Entah aku begitu bodoh atau kurang peka memahami sahabatku itu. Bagaimana mungkin Ibnu mencintaiku? Aku tak pernah menyadari itu. Apalagi setelah aku bertemu dengan Bagas, aku tambah tak pernah peka pada hati sahabatku itu. Tuhan ….
Tiba-tiba ketukan keras di pintu kamar mengagetkanku. Aku beranjak untuk membukanya. Ternyata Ibu yang muncul. Tapi mengapa wajahnya cemas seperti itu. “Ada apa, Bu?”
“Ibnu … Ibnu kecelakaan, Nak!”
**
-Rinai-

Tuhan, bolehkah aku jatuh cinta pada sahabatku ini?”
Sudah seminggu Ibnu koma di rumah sakit. Sudah seminggu pula aku di sini, tak pernah meninggalkannya. Dalam seminggu, sudah dua kali dokter melakukan operasi. Aku tak mengerti pembahasan para dokter, yang kutahu ada yang salah di kepala Ibnu akibat kecelakaan itu. Perkembangannya mengalami kemajuan, meskipun sampai sekarang dia masih koma.
Aku baru benar-benar merasa sendiri dan kesepian setelah Ibnu sakit. Aku benar-benar kehilangan pegangan dan sandaranku selama ini. Waktu Ayah meninggal, Ibnu yang selalu ada di sampingku, menguatkanku. Waktu aku bertemu dan berpacaran dengan Bagas, Ibnu masih setia di dekatku saat kubutuhkan. Sampai saat Bagas meninggal pun Ibnu masih setia jadi penjagaku, jadi pelindung, jadi tempatku bersandar. Lalu, jika kini Ibnu terbaring lemah seperti ini, selain berdoa dan menemaninya, aku tak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untuk Ibnu-ku ini…
Tuhan, sudah cukup kau panggil Ayah dan Bagas. Tolong jangan ambil Ibnu dari sisiku. Selama ini aku kuat ditinggalkan mereka karena ada Ibnu di sampingku. Lalu, jika Kau ambil Ibnu, aku tak yakin bisa kuat….
Aku memandang wajah pucat Ibnu. Selang dan peralatan rumah sakit mengelilingi tubuh kokohnya. Sudah kesekian kalinya aku menangis di hadapan tubuh lemahnya. Kalau Ibnu sadar, dia pasti akan sangat marah padaku. Tapi, demi apapun, aku tak sanggup melihat Ibnu terbaring di sini.
Ibnu yang selalu ada di saat apapun dalam hidupku. Selalu. Sejak awal kami menjadi akrab sampai sekarang. Ibnu yang bahkan dengan menggenggam tanganku saja bisa menularkan kekuatannya saat aku rapuh. Ibnu yang dengan senyumnya saja bisa membuatku nyaman saat aku takut. Ibnu yang tidak banyak bicara tapi sungguh sangat berarti tiap apa yang ia lakukan untukku.
Ya Tuhan, mungkinkah aku sudah jatuh cinta pada sahabatku jauh sebelum aku menyadarinya? Sebab, apapun yang kulakukan selama ini, aku tak pernah bisa jauh dari Ibnu….
**
-Ibnu-

Sebab, kadang kau tak mengerti bagaimana proses ilmiah jatuh cinta itu terjadi. Maka, mengapa tak kau ikuti saja alurnya?”
Dua bulan kemudian ….
Aku memandang gadis berambut panjang di depanku. Wajah yang sama yang kutemukan saat pertama kali aku sadar dari koma selama hampir dua minggu di rumah sakit. Bedanya, matanya kini tidak dipenuhi hujan dan tidak diliputi mendung. Wajah gadis hujanku kini dipenuhi senyum senja. Hangat dan bahagia.
Kondisiku sudah berangsur membaik. Hanya perlu melakukan cek setiap dua minggu. Harus aku akui kemajuanku juga berkat Rinai. Dia tak pernah meninggalkanku dari sejak aku masuk rumah sakit sampai sekarang.
The smile on your face
Lets me know that you need me
There’s a truth in your eyes
saying you’ll never leave me
The touch of your hand says you’ll catch me whenever I fall
You say it best,
When you say nothing at all
Rinai menyanyikan penggalan lagu milik Ronan Keating tersebut sambil menatapku hangat. Aku suka matanya. Aku suka senyumnya. Aku suka Rinai yang ceria. Aku suka Rinai yang bahagia. Seperti ini cukup.
Aku ingat saat aku sadar Rinai langsung memelukku dan berkata dengan suara serak di telingaku, “Jangan pernah pergi lagi, Ibnu. Aku membutuhkanmu. Aku sayang kamu, Ibnu. Jangan pernah pergi lagi ….” Saat itu aku hanya bisa mengangguk kecil mengiyakan permintaannya.
Permintaan yang sama yang selalu ingin kukatakan padanya. Sebenarnya, aku yang membutuhkan dia. Aku yang tak bisa jauh darinya. Aku yang sudah merasakan ketergantungan padanya. Saat aku menggenggam tangannya, sebenarnya aku yang butuh kekuatan darinya. Saat aku tersenyum padanya, aku yang butuh rasa aman darinya. Aku butuh kekuatan agar tetap bertahan di sampingnya. Aku butuh rasa aman, tak ada yang menggantikan tempatku di sisinya. Akulah yang membutuhkan Rinai ….
“Ibnu—” panggil Rinai.
“Hmm….”
“Apakah di Makassar ini sudah tak ada gadis lain selain aku yang bisa membuatmu jatuh cinta?”
Aku terbahak mendengar pertanyaannya. Dasar Rinai! Dia selalu ingin menggodaku dengan pertanyaan konyol.
“Hmm—,” Aku menggantung kalimat. “Sebenarnya seperti halnya senja, di manapun aku pergi pasti aku akan menemukannya. Tapi bagiku, kau seperti Losari, Rinai. Senja terbaik aku temukan di sana. Senyum termanis hanya bisa kutemukan di wajahmu!”
Aku melihat wajahnya merona. Kena, kan?! Niatnya mau menggodaku, malah kugoda balik. Aku tertawa kecil. Rinai masih terlihat malu-malu.
“Lalu, Ibnu, kapan kau akan melamarku?” Rinai menatapku serius.
“Hah?!!”
—Selesai—
Penulis: metamorfillah dan dhilayaumil
*Cerpen diangkat dari lagu “When You Say Nothing At All” milik Ronan Keating.



No comments:

Post a Comment

Text Widget