Pages

02 January, 2010

belajar mendeskripsikan

10.57 pm
01012010

Tanganku gatal, ingin menumpahkan sebuah cerita. Kisah seorang tokoh, nyata, bernama AKU.

Masa Kecil


Kisahku mungkin tak menarik, tapi aku ingin bercerita. Sekedar recalling saja, mengingat masa-masa yang telah kulewati di moment yang kata orang sih - Tahun Baru- kerennya bikin resolusi. Yeah, aku anak bungsu yang terpaut usia cukup jauh dari kakak-kakakku. Bisa dibilang aku adalah anak yang tak diharapkan oleh orangtuaku –bukan dalam arti akibat suatu hubungan yang nggak-nggak loh!-. Mengapa tak diharapkan? Ya karena, saat ibuku mengandungku, usia beliau sudah terbilang cukup tua untuk melahirkan, 35 tahun. Dokter memprediksi akan ada banyak kesulitan dalam melahirkan sang bayi, dan memang benar, karena aku terlahir vakum dan tervonis akan ‘SANGAT JENIUS’ ataukah sebaliknya ‘SANGAT IDIOT’ tergantung dari kadar protein tinggi yang diasup tubuhku nantinya. Di samping itu, bapakku juga sudah sangat berusia lanjut. Usia beliau hampir dua kali lipat usia ibuku. Tepatnya tak jelas, karena saat ku dewasa dan mencari tahu berapa tepatnya usia ayahku, dokumen yang memuat keterangan tanggal lahirnya selalu berubah-ubah. Ada yang bulan desember tahun sekian, bulan November tahun sekian, dan lainnya lah,,yaahh namanya juga orang dulu. Yang jelas aku menemukan fakta bahwa bapakku adalah teman bincang-bincang kakekku, terbukti dari selembar foto lusuh yang agak menguning yang kutemukan di album foto bapak dan teman-temannya.

Terlepas dari title ‘anak yang tak diharapkan’, tetap saja pada akhirnya orangtuaku justru sangat mengharapkan kelahiranku. Ditelusuri dari arti namaku, yang berisi doa tulus dari bapakku agar aku menjadi anak yang berhasil di masa depan, sampai-sampai perlakuan istimewa yang diberikan orangtuaku terhadap makananku. Terutama ibuku, beliau sangat memanjakanku dengan makanan-makanan bergizi tinggi demi menjaga agar aku tidak menjadi ‘SANGAT IDIOT’ seperti yang dikatakan dokter waktu lalu. Aku tahu itu, dari cerita kakak sulungku, yang mengungkapkan betapa irinya ia padaku. Pengakuannya itu cukup mengejutkanku, karena sudah sejak lama aku sering iri padanya, mulai dari rambutnya yang tebal dan hitam , uang jajannya, dan segala tetek bengek lainnya.
Masa kecilku sangat Amazing menurutku. Setiap harinya aku selalu berdebar menantikan apa yang akan kukerjakan dan apa yang akan terjadi hari ini. Kejutan-kejutan kehidupan yang sangat kunantikan. Mulai dari kegiatan jalan-jalan berdua sama bapak dengan baju kebanggaaanku yang berwarna putih dan rok hijau lumut. Tak ketinggalan topi bunga lebar seperti noni-noni belanda untuk menutupi kepalaku yang berambut jarang. Sore hari yang sering kami lewatkan dengan duduk-duduk ngeteh poci dan makan kue moci di tanah abang (sekarang warungnya udah nggak ada,kena gusur). Sampai foto-foto beraneka macam gaya bak selebriti anak di museum tekstil yang berjarak tak jauh dari rumahku. Banyak sekali foto-fotoku yang dicetak bapak, mulai dari bangun tidur sampai aku terlelap tidur dalam pose memeluk boneka barbieku sembari membentuk sebuah ‘pulau’. Sayang foto-foto itu hanyut terbawa banjir yang menyambangi rumah kami di tahun 2002.

Dalam memoriku, masa kecilku tak bernoda sedikitpun. Segalanya indah pada waktu itu. Hari esok selalu memberikan sebuah harapan dan mimpi baru. Sayang hal itu terhenti sampai aku kelas 6 SD saja..

Hari sabtu, tanggal 17 februari 2001, di subuh yang dingin tiba-tiba ibuku berteriak-teriak seperti ada maling. Membangunkan aku dan kakakku yang terlelap di kamar. Aku dan kakak sontak bergegas turun (kamar kami di lantai 2) ke ruang tamu, menemui ibu untuk tahu ada kejadian apa. Di ruang tamu, kulihat ibuku menangis keras dan menguncang-guncang tubuh bapakku yang terbaring di kursi panjang ruang tamu,-Sudah beberapa hari memang, bapakku sakit, dan beliau tiduran di kursi ruang tamu, tidak mau di tempat tidur-. Beliau berucap di sela tangisnya “Bapak kalian,,bapak kalian,,,”. Kakakku yang melihat hal itu, langsung menangis dan memeluk tubuh bapakku. Aku tak mengerti. Mengapa semuanya menangis? Kusentuh tubuh bapak,,,dingin,,sedingin air es yang biasa kuminum dari kulkas. Tidak berapa lama, ibu dan kakakku bergegas menelpon orang-orang dan membangunkan tetangga sekitar. Aku tetap tak mengerti, apa yang sedang terjadi. Aku diam saja menatap ayahku yang terbaring diam, tak bangun-bangun.

Hari sudah semakin siang, jam menunjukkan setengah tujuh pagi. Rumahku semakin ramai, didatangi tetangga-tetangga yang sibuk entah mau apa, ada yang bawa kertas kuning dan bambu, beras di baskom,,terserahlah, aku tak perduli, tak mengerti. Aku teringat ada ulangan Bahasa Indonesia , jadi aku bergegas mandi agar tak terlambat. Lima belas menit kemudan aku sudah siap mau berangkat sekolah, namun ibu dan kakak yang melihatku akan berangkat malah melarangku sekolah. Aku tak mau. Aku bilang ada ulangan, tapi mereka tetap melarangku sekolah, malah kakak memarahiku sembari menangis dan berkata,” bapak kamu meninggal, jangan sekolah dulu. Nanti ibu gurunya dikasih tahu. Kamu nggak akan kena hukuman.” Aku pun menurut, tapi tetap tidak mengerti.

Hari semakin siang, rumahku semakin ramai. Perutku keroncongan. Ibuku tak memasak. Beliau hanya sibuk menangis di ruang depan dimana bapakku dibaringkan dan wajahnya ditutupi kain putih. Kakakku juga, sedari pagi ia hanya menangis dan pingsan. Aku tak mengerti dengan semua itu. Untung ada tetanggaku yang baik, memberiku makan. Selepas dzuhur, aku dipanggil ke ruang depan. Aku disuruh mencium tubuh bapakku untuk terakhir kalinya. Diiringi tatapan semua orang yang ada di rumahku, sku mencium pipi bapakku. Tubuhnya wangi sekali, dan dingiin. Aku heran, mengapa tubuh bapak masih tetap dingin, padahal kain putih yang dililitkan ke tubuhnya cukup tebal. Dan lebih heran lagi, mengapa setelah mencium pipi bapak, air mataku menetes tiada henti. Hatiku terasa sakit sekali, seperti ada yang hilang. Melihatku menangis, ibu memelukku sambil berbisik lirih,”Bapak sudah meninggal nak, dia sudah nggak ada.” Aku menangis. Hatiku sakit, nafasku sesak.

Aku baru sadar, ternyata bapakku meninggal. Dia benar-benar meninggalkan aku untuk selamanya. Tak akan ada lagi bapak yang menemaniku ngeteh poci, atau bapak yang memotretku dengan berjuta gaya di museum tekstil. Tak ada lagi momen belajar mengerjakan PR bersama bapakku yang jenius. Semua tak akan pernah ada. Dan aku hanya bisa diam, merutuki diri, mengapa pemahamanku akan arti ‘meninggal’ begitu lama. Baru kusadar dunia tak selamanya menyenangkan, dan esok menjadi kelabu. Tak pernah ada lagi hari esok yang kunantikan. Karena esok telah hilang bersama kepergian bapakku.


12.02 am

No comments:

Post a Comment

Text Widget