Pages

10 August, 2016

[Review buku] Sepatu Dahlan

Judul: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura books
Dimensi: 392 hlm, 14 x 21 cm, cetakan kedua Mei 2012
ISBN: 978 602 9498 24 0

Mengenali sosok Dahlan Iskan melalui fiksinya. Bagaimana ia melewati masa kecil dalam kemiskinan. Saya tak pernah mengira bahwa ia pernah sesulit itu, hingga amat bermimpi memiliki sepatu untuk sekolah. Bahkan mimpi itu begitu lama terwujud. Ia baru mendapatkannya setelah duduk di kelas 3 SMA. Selain sepatu, impian lainnya adalah sepeda. Memang terwujud, namun cara mendapatkannya tak sesuai dengan yang diinginkan oleh Dahlan remaja.

Berlatar di Magetan tahun 1960-an, potret kemiskinan Indonesia amat terlihat. Terutama di Kebon Dalem, di mana anak-anaknya terbiasa nguli nyeset dan nguli nandur. Bersekolah tanpa sepatu dan sepeda amat lumrah, bahkan tanpa seragam. Bisa dipastikan mereka yang memakai sepatu, berseragam, dan bersepeda adalah orang berada. Jarak sekolah yang jauh membuat Dahlan memimpikan sepatu dan sepeda. Namun hal tersebut tidaklah mudah diwujudkan. Meskipun Dahlan rajin nguli nyeset, nguli nandur, mengangon kambing, sampai melatih tim voli anak-anak juragan tebu, impian itu baru terwujud di kelas 3 SMA. Sebab untuk makan sehari-hari saja sangat sulit bagi Dahlan. Hingga ia pernah terpaksa menyuri sebatang tebu demi menghilangkan lapar dia dan adiknya, lalu ia dihukum oleh mandor tebu yang terkena galak.

Meskipun kehidupan amat keras menempanya, beruntunglah Dahlan remaja menemukan sahabat terbaik. Ada Kadir, Komariyah, Arif, Imran, dan Maryati yang memberikan persahabatan tulus. Juga keluarga yang berprinsip baik, terutama tegasnya Bapak, lembutnya ibu, mandirinya Mbak Atun dan Mbak Sofwati, dan penurutnya Zain. Juga hobi bermain voli yang mendatangkan rezeki.

Buku ini menggambarkan kisah persahabatan, cinta, dan keluarga yang hangat serta kebiasaan orang cerdas: suka menulis (Dahlan gemar curhat di diary). Segi tampilan sudah sesuai dengan isi dan judulnya. Gaya berceritanya pun khas Daeng Khrisna yang puitis. Namun di beberapa part agak terlalu lambat dan membuat saya bosan serta terlalu kenyang deskripsi.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Ya, aku biasanya lebih tenang setelah menuliskan apa saja yang kurasakan. Bagiku, menulis tak ada bedanya dengan obat, menyembuhkan luka akibat sayatan kepedihan." (Hlm. 80)

"Bekal untuk menjadi pemimpin itu hakikatnya cuma satu. TAHU DIRI. Kalian harus bisa menakar diri, mengukur kemampuan, dan pandai menjalin kerja sama. Jika merasa tidak mampu, cari santri lain yang lebih mampu. Jika merasa kurang kuat, lakukan bersama-sama agar kalian makin kuat." (Hlm. 166)

"Barangkali harapan ini hanya semacam doa yang memeluk kehampaan sebagai kamu. Tapi, biarlah. Sesekali waktu perlu mengajariku cara tercepat meninggalkan masa silam meski aku tak yakin kamu akan "hilang" begitu saja di masa depanku. Kadang, setiap merindumu, aku menegarkan hati dengan merapal mantra "semoga", dan berharap mantra itu mustajab untuk mengembalikan "yang pergi" dan memulangkan "yang lupa". Walaupun setiap mataku membuka, kamu tetap pergi dan tetap lupa kembali." (Hlm. 357)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget