Pages

21 July, 2014

[Review Buku] Pelangi Melbourne

Judul: Pelangi Melbourne - Dua Dunia Satu Cinta
Penulis: Zuhairi Misrawi
Penerbit: Kompas
Dimensi: viii + 552 hlm; 11 cm x 18 cm
ISBN: 978-979-709-543-7

Zaki Mubarak, anak pesantren yang baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi Islam, mengikuti kursus bahasa inggris selama enam bulan di kota Melbourne. Tidak pernah terbayang olehnya, bahwa ia akan berkenalan dengan Diana Lee, gadis Nasrani asal Korea Selatan yang mencuri hatinya. Novel ini menceritakan lika-liku kisah asmara Zaki dan Diana sampai akhirnya mereka menikah. Juga ada kisah Ahmad dan Raudha yang sama-sama beragama Islam dan keturunan Arab namun berbeda klan.

Poin penting yang ditekankan dalam novel ini adalah indahnya toleransi berlatar kehidupan multirasial dan multikultural di Melbourne. Juga banyak sekali pesan moral dengan latar belakang sejarah dan argumen yang cukup sarat. Tak lupa, berisi kiat-kiat belajar bahasa inggris ala Melbourne. Deskripsi tentang kota Melbourne sendiri tercetak jelas.

Namun sebagai novel, saya merasa jenuh membacanya. Konten sebenarnya bagus, hanya saja bagi saya too much information, lebih banyak tell, not show. Ada sedikit kemiripan sama novel Negeri Van Oranje, yang berlatar pendidikan/menimba ilmu di negeri maju, tapi kurang asyik bagi saya. Bahasanya masih terasa kaku, dan lebih banyak deskripsi, sehingga 'rasa' akan perasaan atau konflik sang tokoh kurang tajam. Tapi endingnya cukup berani menurut saya. Ini yang membuat saya berpikir, mungkin inilah sebabnya novel ini lolos terbit di kompas. Mengapa? Karena jalan pemikiran penulisnya yang berani. Sebab, cukup sensitif isu yang dibahas, tentang pernikahan beda klan di Arab, pernikahan antar bangsa, antar agama, dibolehkannya pacaran dalam Islam.

Untuk keseluruhan saya memberi 2 dari 5 bintang. Sebab, saya sendiri membaca novel ini dengan banyak melongkapi deskripsi, hanya fokus pada dialognya saja. Dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun mood membaca novel ini cukup lama.. Setahun (",)7

Hehehe... *setahun minjem pula sama teman kuliah, (ʃ⌣ƪ) *


Sekian review saya,

Meta morfillah

15 July, 2014

Pada bilangan tahun keberapa, kita akan berakhir?

Gambar diambil dari sini

Kemarin saya pergi takziyah ke rumah tante di Bekasi, sebab om saya meninggal dunia. Di sana, saya mendengarkan kronologis bagaimana om meninggal dan detik-detik terakhir hidupnya melalui cerita yang dikisahkan oleh tante. Satu hal yang menarik, saat om sudah tak bernyawa, tante masih agak kesulitan menerima kenyataan bahwa om telah pergi. Butuh beberapa menit dan beberapa orang untuk menyadarkan beliau, bahwa om sudah tiada.

“Tiga puluh enam tahun bersama. Saya masih tidak dapat percaya, bahwa ia ninggalin saya. Bahkan saya tidak mendapat firasat apa pun bahwa ia akan pergi jauh. Memang sebelumnya dia sempat berujar bahwa ia berharap ia yang lebih dahulu dipanggil Tuhan daripada saya. Sebab, dia berkata tak akan sanggup bila ditinggalkan oleh saya.”

Di sana, mama saya menguatkan tante dengan menyimak ceritanya tanpa menyela. Mama pernah ada di posisi tante, saat bapak meninggal. Bapak dan mama tercatat dua puluh dua tahun bersama. Bilangan tahun mereka, meramu banyak kisah, hingga maut yang memisahkan.

Ya… angka-angka itu hanya menjelma sebaris angka bagi saya. Tapi tidak bagi mereka—ibu dan tante saya. Saya membayangkan berapa banyak air mata, pertengkaran, pengendalian diri, penahanan ego, senyum palsu, hingga senyum bahagia yang harus mereka lewati demi mencapai bilangan tersebut. Penyatuan kultur yang berbeda, sifat dan karakter yang bagai hitam dan putih—tak sewarna—serta perbedaan-perbedaan lainnya yang bagai langit dan bumi. Menyimak beragam hubungan teman saya yang pacaran bahkan menikah satu tahun saja sudah putus atau cerai, bukankah itu sebuah prestasi?

Mama pernah berkata pada saya, “Menjadi seorang perempuan, haruslah memiliki sabar dengan tingkat kesabaran di atas sabar. Ego dengan tingkat terendah di bawah ego. Latihlah sekarang, agar kelak kamu menjadi istri dan ibu yang tangguh.”

Kembali ke bilangan-bilangan itu—yang begitu menyita perhatian saya. Saya bertanya pada mama, pernahkah terpikir akan sampai bilangan keberapakah hubungan ini?

Jawabannya, tidak. Bahkan kalau pun terpikir, selalu terpikir bahwa akan selamanya—selama nafas masih berhembus.

Lalu saya asyik bermain dalam benak saya, tak jenuhkah? Melihat dia lagi, dia lagi, yang berada di sampingmu saat kamu akan menutup mata (tidur) dan membuka mata kembali (bangun tidur). Namun, tak saya tanyakan. Nanti saja, saya simpan dahulu pertanyaan itu.

Juga mengenai pembicaraan “Siapa yang akan dipanggil Tuhan lebih dahulu?”

Mengapa dari kisah-kisah yang saya baca dan saya amati, kebanyakan suami yang meminta dipanggil Tuhan terlebih dahulu dibandingkan istrinya? Tak kasihankah pada sang istri? Hal ini ingin sekali saya tanyakan pada para lelaki, terutama lelaki yang kelak bersama saya. Apa pertimbangan mereka?

Ah.. berangkat dari bilangan tahun yang terlewati bersama seseorang dalam hidup, membuat saya banyak bertanya-tanya, dan sampai pada ujung pertanyaan, “Kira-kira, pada bilangan tahun berapa kita ditakdirkan bersama oleh Tuhan?”

Dan saya memejamkan mata.

Meta morfillah

14 July, 2014

Insight berpuasa

"Lapaar... Hauuuss... Gak tahan. Aku mau buka, Teta."

Untuk anak-anak, seperti keponakan saya di atas, kalimat itu masih lumrah. Mereka berpuasa memang sebatas menahan lapar dahaga saja. Bahkan terkadang berpuasa demi sesuatu yang diiming-imingkan oleh orang tuanya, misal mau dibelikan mainan kesukaannya. Wajar saja, sebab sebuah kebiasaan itu awalnya dimulai dari dipaksa-terpaksa-biasa-budaya. Alangkah baiknya lagi, bila perlahan-lahan kita terangkan pada mereka esensi puasa. Sehingga mereka tak selamanya mendewasa dengan pengetahuan bahwa puasa hanya sekadar menahan lapar dahaga dari subuh hingga maghrib. Kalau dalam training, ada istilah insight. Nah, bagaimana agar mereka paham insight dari berpuasa?

Mengapa selama bulan Ramadhan, kita dilarang dari hal-hal yang halal kita lakukan biasanya, seperti makan, minum, berhubungan antara suami istri? Kalau yang halal saja dilarang, apalagi yang haram, seperti mencuri, asyik masyuk dengan yg belum dihalalkan (pacaran), gibah, dll. Jangan ditanya! Kalian pasti lebih pintar dari saya untuk menjawabnya.. Hehee

Ingatlah, bahwa Ramadhan adalah bulan pelatihan, sebelum akhirnya kita diwisuda dan disucikan kembali di Idul Fitri. Persis seperti bayi. Allah hendak mengajarkan pada kita, seperti apa rasanya lapar, dahaga, menahan hawa nafsu walau jelas itu adalah hak dan halal bagi kita. Di bulan biasa, kita bebas saja makan minum kapan pun. Di bulan Ramadhan, tidak. Demikian Allah ingin menumbuhkan rasa empati kita terhadap mereka (fakir, miskin, dhuafa) yang sering kali butuh makan, namun harus menahannya. Jelas-jelas itu adalah kebutuhan hidupnya, tapi mereka tak bisa memenuhinya. Tak semua dari mereka itu berani meminta-minta bagai pengemis. Kadang, dari sorot matanya mereka berbicara. Mereka pun manusia, punya harga diri. Maka, kepekaan kitalah yang harusnya menyadari. Lewat berpuasa, Allah sedang menumbuhkan kepekaan dan empati kita. Menahan lapar dan haus bagi kita mudah. Karena kita memiliki jaminan untuk berbuka nanti, tinggal pilih mau makan apa. Bagaimana dengan yang fakir, miskin dan dhuafa? Berempatilah.

Lewat berpuasa pula, Allah mengajarkan nikmatnya berbuka. Setelah kita menahan diri bagai kepompong, menanti saatnya menjelma menjadi kupu-kupu cantik. Hal ini tidak hanya berlaku untuk lapar dahaga, melainkan juga untuk memelihara kemaluan, dan menjaga kesucian diri. Sungguh, surga jaminannya bagi mereka yang menahan diri dari godaan berzina, atau pun mendekati zina (pacaran). Mereka berpuasa, tanpa tahu kapan waktu untuk berbuka (menikah). Mereka menyibukkan dirinya dengan macam-macam kebaikan dan tetap menjaga prasangkanya kepada Allah. Selalu berprasangka baik. Tak takut, tak sensitif bila ditanya, "Kapan nikah?" Malah menjawab dengan senyum dan berkata, "Segera, dengan izin Allah." Sebab menikah bukanlah perlombaan, yang harus dulu-duluan. Tidak ada pemenang atau pun pecundang dalam hal ini. Saya salut pada mereka yang berpuasa seperti ini. Semoga kelak, mereka mendapatkan santapan terlezat (jodoh terbaik) di waktu berbuka (menikah).

Semoga Allah menerima ibadah kita, dan kita mampu memetik hikmah (pembelajaran) dari tiap ibadah yang kita lakukan. Bukan sekadar ritual tanpa makna. Sebab, beragama adalah menghargai logika, nalar, dan hati. Hanya mereka yang cerdas (logika, emosi, dan spiritual), yang pantas menjadi hambaNya.


Meta morfillah

10 July, 2014

Aku, Kamu, Kita

Aku yang menyetel musik dengan selera yang tak biasa. Kamu yang mendengarkan tanpa banyak bicara.
Aku yang berusaha memasak walau kurang enak. Kamu yang ngedumel namun kamu tetap menghabiskannya juga.
Aku yang diam menemanimu menonton bola. Kamu yang antusias seperti bocah dengan mainannya.
Aku yang mudah ngambek dan sulit mengatakan keinginanku. Kamu yang bersabar menghadapi jeleknya sifatku dan membaca kebutuhanku.
Aku yang jarang marah dan memilih diam bila tersakiti. Kamu yang meledak dan menunjukkan perlindungan.
Aku yang mudah mengeluarkan air mata karena isu sosial. Kamu yang menyeka air mataku dan berkata "Segalanya baik-baik saja. Mari kita pikirkan upaya dan jalan terbaik yang bisa kita lakukan."
Aku yang menyediakan pintu bagimu jika kauingin pergi, tapi jangan harapkan kaudapat kembali sesuka hati. Kamu yang memilih menetap di satu hati yang kurang sempurna, dan berusaha membuat sinergi untuk saling menyempurnakan.
Aku yang memilihmu dan menerimamu untuk kucintai. Kamu yang memilihku dan menyatakan cintamu pada dunia hingga memenangkanku.

Adakah kesamaan? Bukankah kita berangkat dari perbedaan? Lantas menjadikannya indah, bersama, karena kita memiliki KITA. Kuncinya ada pada kata SALING. Lantas, bila kita lupa akan hal ini, lalu kita bertengkar dan merasa segalanya tak akan kembali sama atau baik lagi...
Bacalah ini.

Ini tentang aku dan kamu, yang bersinergi menjadi kita.


Meta morfillah

Kepada bayi-bayi yang baru lahir

Melihatmu, sungguh keajaiban. Sebuah ketiadaan yang menjelma ada.
Menyentuh kulitmu nan halus demikian rapuh. Memaksa setiap hati tergerak untuk melindungimu.
Kedatanganmu, dengan tangis pecah ke dunia ini seakan meminta pertolongan. Pertolongan untuk membebaskanmu dari nilai-nilai duniawi yang kelak akan membelenggumu sepanjang hidup. Kaukepal erat tanganmu, menunjukkan pada siapa saja, untuk membiarkanmu menggenggam mimpimu, menuntaskan misimu--alasan mengapa kaudilahirkan ke dunia ini.

Sayangnya, bayi-bayi yang baru lahir...
Kalian kelak tetap akan berjuang sendiri. Walau ada sepasang malaikat tak bersayap--orang tua kalian--menjaminkan hidupnya untukmu. Semua keputusan-keputusan dan pilihan adalah konsekuensi yang harus kaupenuhi dalam menuju takdirmu. Dan aku, hanya bisa menitip doa agar kelak kaumenjadi ummatNYA yang terpilih, bukan sekadar buih. Banyak, namun tak berarti. Berdoa untukmu, agar kaudapat pemahaman hidup yang lebih baik meskipun kaumendapatkan hidup yang buruk nantinya.

Bayi-bayi yang baru lahir...
Amanahmu sungguh besar di bumi ini. Banyak orang memupukkan harapannya pada pundakmu yang rapuh sedari kaulahir. Mengharapkan segala yang terbaik dari diri mereka melekat padamu. Segala kekurangan dari diri mereka tak kuasa menyentuh dirimu. Mereka yang bahkan dalam kegagalan hidupnya, berharap kauakan perbaiki kelak. Mungkin dengan matamu yang melihat lebih tajam dan peka akan penderitaan mereka. Mungkin dengan telingamu yang mendengar jeritan hati mereka. Mungkin dengan tanganmu yang memeluk dan melindungi mereka di hari tua. Dengan segala yang kaubisa.

Lalu aku terpekur sendiri menatapmu. Betapa panjang proses yang akan kaulalui, wahai bayi-bayi yang baru lahir. Menjadi catatan untukku, bahwa aku haruslah menyiapkan diri menjadi madrasah yang layak untukmu kelak. Menjadi catatan untukku, bahwa kalian berhak mendapatkan penjagaan dan arahan yang tepat melalui figur ayah yang benar. Dari kehadiranmu, selalu kudapatkan pelajaran itu.

Kepada bayi-bayi yang baru lahir...
Semoga kalian berhasil. Semoga bila kelak kehidupan kita bersinggungan, aku mampu memberi manfaat dan berkontribusi positif dalam hidupmu. Dan semoga porsi menyenangkanmu lebih banyak dari pada porsi menyebalkanmu.


Meta morfillah

Menyayangi seperti Severus Snape

Pernah nonton film Harry Potter? Pasti kalian kenal sama tokoh bernama Snape. Tokoh yang dikenal sangat antagonis dan selalu menyusahkan Harry. Terlihat membenci Harry sedari Harry lahir, hingga Harry bingung dosa apa yang ia perbuat hingga Snape begitu membencinya. Di buku ketujuh, atau terakhir barulah terkuak misteri dan jawaban atas pertanyaan Harry tersebut. Betapa menyedihkan menjadi Snape! Dia menyayangi Harry sedemikian hebatnya, hatinya seperti keset, walau diinjak-injak (oleh Ayah Harry, James Potter dan ditolak cintanya oleh ibu Harry) tetap saja WELCOME. Dia menciptakan brand image bahwa dirinya jahat dan membenci Harry Potter agar dapat menyusup ke dalam lingkaran jahat Lord Voldemort, dan melindungi Harry lewat beragam bantuan tak langsungnya.

Mungkin saya menyayangimu seperti itu, wahai perempuan. Saya terlihat membencimu, amat sangat eneg melihat tingkahmu. Tapi di balik itu, saya sebenarnya menyayangimu. Menyayangkan sikapmu, perilakumu yang begitu bodoh dipermainkan oleh lelaki yang jelas-jelas tak mencintaimu. Melihatmu diabaikan, seperti representatif wanita. Mengapa kamu begitu bodoh? Kamu cantik, mengapa tak kamu cari yang lebih baik. Ya, pada akhirnya saya membenci sikap manjamu dan kebodohanmu itu. Berharap seandainya saja kamu tidak begitu ndableg akan nasihat-nasihat sekitarmu, mencoba lebih peka akan situasi. Mengapa kamu demikian bodoh?

Tapi kembali pada diri saya, siapalah saya. Saya kurang berhak menegurmu dan dia. Jadi, saya memperingatkanmu lewat sikap saya yang ekspresif. Menunjukkan kemuakan, tak sudi melihatmu sedikit jua. Berdoa tiap harinya agar kamu tersadar, berubah lebih baik dan mendapatkan yang terbaik.


Snape... Tak mudah menyayangi orang dengan caramu. Butuh dada yang begitu lapang dan kerendahan hati yang besar untuk tak menunjukkannya. Seperti psikologi terbalik. Ternyata, ada banyak cara menyayangi yang masih perlu saya eja.


Meta morfillah

07 July, 2014

Laskar langit

"Jangan panggil mereka anak yatim, bisa membuat mereka minder. Biasakan dari sekarang, kakak-kakak relawan memanggil mereka 'Laskar Langit'. Mengapa? Karena mereka adalah ciptaan Allah yang berjuang demi kehidupannya sendiri di bumi Allah, dan disayang Allah."

Laskar langit. Baru saya paham mengapa sebutan itu muncul saat rapat akbar #BukaBersamaAkbarPAY2014 tadi siang. Apa yang dikatakan Bang Zar, salah satu founder komunitas Pencinta Anak Yatim (PAY) itu memang benar. Saya sendiri mengalaminya saat SD kelas enam hingga SMP kelas tiga. Ya, saya yatim semenjak 17 Februari 2001, usia 11 tahun. Semenjak itu, saya sering kali mendapat sebutan anak yatim serta pandangan iba dari yang melihat saya.

Kamu tahu, risih sekali rasanya dipandang seperti itu, ketika saya merasa bahwa hidup saya tetaplah baik-baik saja karena saya masih memiliki mama. Lebih risih lagi, ketika banyak undangan beserta santunan atas nama saya. Tertera "santunan anak yatim". Saya sering menolak. Bukannya sombong, tapi saya merasa cukup beruntung dan tidak pantas menerima itu semua. Begitu kata mama saya. Tapi pengurus masjid serta panitia selalu memaksa saya hadir. Undangan itu kian membanjir di bulan Ramadhan. Saya semakin sering mendatangi pintu-pintu rumah mewah, dari orang kaya biasa sampai orang kaya artis yang memanggil anak yatim. Makanannya enak-enak, uang santunannya besar. Tapi, saya tidak suka. Jujur saja, saya merasa itu semua hanya tempelan. Saya malah benci, kenapa mereka hanya memanggil anak-anak yatim ketika event, misal Ramadhan. Mengharap doa-doa kami panjang lebar, dengan sebungkus makanan dan seamplop uang. Saya pribadi sering merasa, mereka tidak berbuat hal itu dari hati. Dan penyebutan "anak yatim" itu semakin membuat saya sedih. Mengingatkan saya tiap kali mendengarnya bahwa saya tidak lagi memiliki bapak.

Sampai saat ini, saya sering bertanya dan miris melihat fenomena itu. Ke mana saja mereka selama bulan-bulan lain selain Ramadhan? Apakah mereka pikir anak yatim hanya makan di bulan Ramadhan? Apakah anak yatim hanya berjaya dan boleh berlebaran saat Muharam, yang selalu dikenal dengan lebarannya anak yatim? Lalu, bulan-bulan lain, memangnya anak yatim itu beruang, yang bisa hibernasi?

Sekarang, saya menemukan sebuah komunitas yang mencintai anak yatim dan duafa non panti. Saya ingin berkontribusi, dan menjadi bagian darinya--berbekal pengalaman hidup saya sebagai anak yatim. Semoga niat baik mereka tetap terjaga, berumur panjang, dan segala programnya diridhai Allah. Aamiiin.



Meta morfillah

Perempuan itu...

Aku mengenal seorang perempuan paradoks. Ia begitu ceria, terlihat selalu tertawa, seakan hidupnya sangat bahagia. Padahal, boleh jadi kisah hidupnya begitu menyedihkan dan lebih berat darimu. Dan walau pun dia begitu riang, dia bukanlah penghibur yang baik, kecuali untuk dirinya sendiri. Dia berubah menjadi perempuan cengeng bila orang terdekatnya mengalami kesusahan, kesakitan. Tapi, bila dia yang mengalami kesusahan, kesakitan itu sendiri, dia akan menipumu. Seakan tak pernah ada kemalangan dalam hidupnya. Yaa... Ia adalah penipu nomor satu, terutama untuk dirinya sendiri. Ia mampu memikul sendiri beban yang dibebankan pada pundaknya. Tapi begitu rentan, bila orang yang disayanginya yang diuji. Begitu naif. Bodoh. Kadang terkesan agak lebay.

Aku mengenal perempuan itu dengan baik. Perempuan yang tiap pagi kulihat wajahnya di cermin, sebelum berangkat ke kantor. Perempuan rumit yang menyederhanakan hidupnya. Perempuan cengeng yang menertawakan hidupnya. Perempuan itu adalah....


Meta morfillah

04 July, 2014

Ucapan yang tak (akan) sempat diucapkan untuk pria juli

"Kamu persis seperti Bunda Aisyah r.a."

"Maksudmu?"

"Kamu cantik, cerdas, periang, lincah, energik, suka tertawa, begitu taat. Namun saat sedang ngambek atau marah, tak peduli pada keadaan sekitar. Untunglah kamu belum sampai pada tahap melemparkan piring di depan tamu seperti kisah Rasul."

"Hahaaa... Dengan satu kekuranganku itu, mampukah kamu memberi perlakuan padaku, seperti Muhammad memperlakukan Aisyah?"

Hai pria Juli! Ini bulanmu.. Bulan menyebalkan bagiku. Bulan Juli, menyimpan banyak kisahku dengan beberapa pria juli, salah satunya ya kamu. Entah, setelah kutelaah mengapa pria yang dekat, pernah dan hampir menjadi bagian hidupku kebanyakan lahir di bulan juli, ya? Semoga ini bukan pertanda. Sebab, aku tak ingin mencari patokan bahwa priaku harus lahir di bulan juli! Haahaaa... Lucu!

Lama kita tak berkirim kabar. Kadang aku kangen dengan celotehanmu yang memberikan semangat di pagi hari. Petuahmu dan peringatanmu kala kamu lihat aku mulai tak objektif. Nasihatmu untuk kembali lurus pada jalanku, jika aku agak sedikit melenceng dari prinsipku. Candaanmu nan cerdas dan cergas seperti percakapan kita di atas. Kamu benar-benar anomali. Sayang, kisah kita hanya sampai di sini.

Tenang saja, aku melepasmu seperti sungai melepas airnya bermuara ke laut. Biarlah... Lepas. Aku hanya sedang kangen. Penat dan duniaku sedang stuck, lalu teringat candaan-candaan kita yang kadang aneh bagi orang di luar kita. Aku hanya sedang kangen, bila aku tak boleh berandai untuk menjadi sahabatmu lagi.

Kautahu, sesibuk apa pun diriku, selalu ingat tanggal lahirmu. Tapi, kali keberapa sekarang? Saat aku tak lagi leluasa mengucapkan sekadar "selamat" untukmu. Aku ingin mengirimkan pesan "Selamat milad untukmu, barakallah atas sisa usiamu. Semoga menjadi imam, suami, dan ayah terbaik."

Tapi aku tak berani. Tak boleh. Takut kamu akan menderita sebab ucapanku. Maka untuk kamu yang melajukan biduk lebih dulu dariku, kutuliskan ucapan selamat yang tak (akan) sempat diucapkan ini. Percuma, karena tak akan dibaca olehmu? Aku rasa tidak. Sebab, ada satu hal yang kadang-kadang cukup kita dan Tuhan saja yang tahu kebenarannya. Sedangkan orang lain hanya menerka-nerka tulisan ini. Apakah realita atau hanya imaji sang penulis saja? Dan aku menikmatinya. Sebab ada satu ruang yang hanya aku pemegang kuncinya. Kututup rapat-rapat, dan tiada yang boleh tahu, termasuk bibirku. Hingga ia tak bisa menceritakannya kepada orang lain.


Meta morfillah

01 July, 2014

Siapa mengerti siapa?

Ketika kita sudah mencoba mengerti, namun orang lain tak mau mengerti. Padahal kata Stephen Covey di bukunya 7 habits, hukum kelima adalah: Memahami dahulu, baru dipahami. Tak semudah itu aplikasinya di dunia nyata, terlebih bila menyangkut interaksi manusia. Ada manusia yang peka dan paham, ada yang kurang peka dan perlu diberitahu, ada pula yang ndableg, sudah disindir, ditegur kasar, malah makin menjadi. Ada pula yang paham, tapi maunya dia yang dipahami terus. Seperti bocah. Lalu kapan giliran dia yang memahami kita? Siapa mengerti siapa? Melelahkan, yaa...

Ketika kita berbaik sangka, namun orang lain berburuk sangka pada kita. Ada beberapa hal yang tak bisa dipisahkan dari manusia. Salah satunya kecenderungan mencari yang mirip (baik secara fisik atau pun mental, sikap, dll), serta prasangka. Bukan hal yang aneh, bila manusia terlihat memiliki kelompok-kelompok tersendiri. Dalam lingkungan rumah, kampus, kantor, komunitas, dan lainnya. Pasti ada forum di dalam forum. Kelompok kecil di dalam kelompok. Semacam genk. Itu alamiah, manusiawi. Sebab, manusia akan menyaring lagi orang-orang terdekatnya yang paling banyak memiliki kemiripan dengannya. Sayangnya, ada beberapa manusia yang kurang paham atas sifat tersebut. Mereka berburuk sangka, ketika tidak masuk dalam lingkaran hidup manusia lainnya. Padahal manusia yang diprasangkakan itu, tak ada niat untuk mengeksklusifkan diri. Contoh kecil, bila kamu menjunjung salat awal/tepat waktu, lalu suatu ketika kamu melihat semua temanmu sedang sibuk bekerja. Kamu tak enak mengganggu, maka kamu salatlah sendirian tanpa mengajak. Kalau yang paham, pastinya akan segera menyusul salat. Kalau yang ndak paham, hanya mikir salat aja dia mah pilih-pilih sama siapanya. Haha... Bisa gila ga tuh? Kalau dikit-dikit sensitif, mikirin omongan orang. Enggak semua hal harus disharing atau dipaksakan. Enggak semua orang berdakwah dengan lidah. Ada yang pemalu, dia hanya berani mengajak kepada yang sudah dekat sekali, selebihnya dia hanya akan berdakwah melalui lakunya. Berdoa dan berharap semoga yang lain tergerak untuk menirunya, dan bersama-sama menuju Allah dengannya. Nah, capek kan?

Selalu saja ada kecewa yang semakin besar bila kita berfokus pada satu kejadian negatif, mengabaikan ratusan kejadian positif yang kita telah alami bersamanya. Itulah insaan, manusia, tempatnya lupa, khilaf. Maka, salah satu cara mengurangi kekecewaan adalah dengan memaafkan. Bukan berarti memaafkan perilakunya yang menyakitkan kita itu berarti mengizinkan dia menyakiti diri kita lagi. Melainkan, dengan memaafkan, kita telah menolong diri kita sendiri dari rasa negatif. Toh, masih banyak hal lain yang harus kita pikirkan dibandingkan memikirkan dia dan lakunya yang telah menyakiti kita. Dia saja belum tentu memikirkan kita. Di sinilah letak perbedaan sikap dewasa dan yang bocah.

Mendekatlah pada Allah, dengan mengingatNya hati menjadi tenang. Semakin kita disakiti, semoga tak menjadikan kita demikian apatis terhadap cinta dan orang-orang yang mencintai kita. Justru, semakin kita disakiti, kita semakin tahu ragam perilaku yang tidak kita inginkan menimpa diri kita. Sehingga, kita semakin memperbaiki diri kita, agar tak menyakiti seperti orang lain menyakiti kita.


Semoga...


Meta morfillah

Text Widget