Sepuluh tahun di
dunia katanya hanya seujung kuku waktu di akhirat. Itulah sebabnya dunia ini
dikatakan fana dan sebentar. Tapi sepuluh tahun di dunia tetap saja berarti
banyak. Bagiku. Meniti hari sepuluh tahun setelah usia 11 tahun tanpamu.
Sangat berbeda. Seringkali, kuhadirkan dirimu dalam bayangan langkahku di kala
sepi. Kuhadirkan suaramu di kala sedih. Kuhadirkan petuahmu di kala hendak
berbuat buruk. Merasai seolah-olah kau hidup dalam kehidupanku. Kepura-puraan
yang menyenangkan. Suara lantang yang kuhadirkan dan ingin kudengarkan.
Mungkinkah aku gila? Kurasa tidak, selama khayalanku membuatku terjaga dari
keterpurukan. Sakitkah aku? Secara psikologis? Mungkinkah father
complex? Atau hanya rindu yang merindu pekat? Tiada sosok yang sanggup
menggantikan dirimu.
Tapi jadi bagus
juga kan? Belajar dari kehilangan. Membuat kita lebih dewasa, mandiri, tidak
cengeng, dan sedikit introvert. Hanya menampakkan tawa sedang tangis selalu
bergemuruh di jiwa. Tak usah mereka tahu. Itu hanya rahasia kita.
Tapi mengapa
ketegaran itu, yang kubangun sepuluh tahun sering luruh sekejap saat [ingin]
kusebut namamu. Sesungguhnya menyebut namamu atau julukanmu pun ku tak bisa.
Tak sanggup. Dan keirian seperti bocah masih sering menghampiri, kala melihat
anak-anak di taman, bus, atau di jalan bergandeng atau digendong oleh ayah
mereka. Aahh…agoniaku. Tak akan lengkap hidupku tanpamu. Agoniaku.
No comments:
Post a Comment