Pages

18 July, 2012

Paradoks untuk sebuah "nama"


Keluh,,keluh,,dan keluh. 

Ia ingin mengeluh tapi tak bisa. Ia telan saja makna “mendahulukan kepentingan umat dibanding kepentingan pribadi”. Ia tertawa sangat hambar. Ia bersedih dengan muka datar. Di sebagian dielukan, di sebagian dijadikan bulanan. Ia tetap belajar (harus!) tegar. Ia cari sendiri celah untuk bersyukur di tengah deraan himpitan nafas yang kian sesak. Diburu waktu. Penguasa yang tak kenal nurani, tak dapat digugat, tak mampu disuap, terlebih dibeli. Dan ia lupa batasan zalim itu. Sudahkah ia zalim pada dirinya sendiri? Terutama zalim pada keluarganya, orangtuanya yang sangat disayanginya? Bobrok ia rasa di dalam, megah terasa di luar. Ah,, ia sungguh paradox yang nyata. Representatif manusia seutuhnya.

No comments:

Post a Comment

Text Widget