Pages

10 May, 2018

[Review buku] Pulang

Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG
Dimensi: viii + 464 hlm, 13.5 x 20 cm, cetakan pertama Desember 2012
ISBN: 978 979 910 5158

Lintang tak pernah paham apa yang membuat ayahnya tak bisa pulang ke negara asalnya, Indonesia. Negeri yang jauh dari tanah kelahirannya, Prancis. Tapi ia pun tak pernah berani bertanya atau mengusik tentang Indonesia dan masa lalu ayahnya, sebab itu adalah teritori pribadi seorang Dimas Suryo. Bahkan tidak pula bagi mantan istrinya, Vivienne.

Hingga dosen pembimbing skripsinya di Universitas Sorbonne menyuruh ia menggali tentang sejarah kelam Indonesia di tahun 1965, di mana cerita ayahnya selalu terhenti di waktu itu. Ia pun harus datang ke tanah kelahiran ayahnya dan bertemu Segara Alam, yang mengubah takdir hidupnya. Berkelindan kisah hidup mereka dari zaman orangtua hingga kembali ke masa kini, jauh namun bertautan dekat. Sebagian dirinya adalah Paris, sebagian lagi Jakarta. Manakah yang akan ia pilih?

Novel yang menggali isu sejarah berlatar belakang tahun 1965 di Indonesia dan Prancis ini seperti buku sejarah yang tidak membosankan. Dibalut dalam drama keluarga, persahabatan, cinta, hingga dua generasi sungguh membuka wawasan saya tentang gambaran perasaan anak cucu eks tapol (tahanan politik) yang bahkan tidak diberi kesempatan disidang/diadili dengan layak. Bahkan banyak yang hanya salah tempat, salah waktu, bahkan tak bersalah tetap kecipratan dosanya PKI.

Mencoba melihat dari segala sisi, itu yang saya rasakan. Penulis melalui tokoh Dimas Suryo yang netral seperti Swiss, berada di tengah, tidak condong pada golongan Karl Max yang komunis atau M. Natsir yang Masyumi (melalui karyanya Capita Selecta). Ada banyak nilai dan prinsip yang bisa diambil dari novel ini. Seperti toleransi, nasionalisme, daya ketahanmalangan, dll. Tentu saja yang paling menyentuh adalah keinginan terakhir Dimas Suryo yang tergenapi: dikubur di tanah Karet. Sentimentil melankolik, namun saya paham karena pernah berpikir seperti itu.

Alur cerita yang maju mundur dengan tahun-tahun yang berbeda, meski kadang membuat saya lost in time, tapi tidak terlalu bingung. Diambil dari banyak point of view sehingga membuatnya lebih dalam. Sungguh jurnalisme penulis begitu terasa indah dipadupadan dengan diksi yang romantis!

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Mungkin menertawakan diri sendiri adalah cara kami bertahan." (H.17)

"Bagiku karya sastra pada akhirnya adalah persoalan cahaya dari hati. Cahaya karya itu tidak datang dari tema atau kisah penderitaan buruh atau petani. Cahaya itu datang dari kemampuan karya itu untuk menyentuh batin pembacanya." (H.40)

"Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat sesuatu dengan jernih. Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat mata." (H.253)

"Meski tak punya apa-apa selain kebaikan, kami akan tetap bertahan dalam hidup." (H.292)

"Sejarah telah membuat dan membentuk aku jadi seperti ini. Sejarah juga yang menentukan perbuatan dan tindakanku di masa yang akan datang." (H.298)

"Seorang anak jauh lebih tersinggung jika ada yang menghina orangtuanya di depan publik." (H.361)

"Kau tak boleh menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang hingga hati orang itu tercecer ke mana-mana. Kau harus berani memilih dengan segala risikonya. Tidak memilih juga berarti memilih. Memilih untuk sendiri dan sunyi." (H.448)

"Can death is sleep, when life is but a dream." (H.459)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget