Pages

22 June, 2012

Hari Kebangkitan Sarjana Pendidikan


Hari “Kebangkitan” Sarjana Pendidikan

Oleh : Iska Meta Furi

Kita pasti pernah mendengar cerita saat Kaisar Jepang bertanya berapa jumlah guru yang tersisa setelah Jepang dibom atom Sekutu? Cerita ini menunjukkan betapa bangsa Jepang menyadari bahwa untuk bangkit dari keterpurukan pasca perang hanyalah dengan memajukan pendidikan. Juga menekankan betapa pentingnya arti seorang guru (sarjana pendidikan) bagi kemajuan sebuah negara.   

            Hari ini kenyataan yang kita lihat adalah kontradiktif dari cerita tersebut. Begitu banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang dicetak tiap tahunnya. Namun mengapa masih saja dikatakan Indonesia kekurangan guru? Seperti yang dinyatakan oleh Anies Baswedan PhD, Rektor Universitas Paramadina Jakarta, dalam Antaranews.com bahwa Indonesia saat ini mengalami kekurangan guru hingga 34 persen, baik di kota, di desa, maupun daerah terpencil. Dari hal itu timbullah pertanyaan kemanakah para sarjana pendidikan tersebut? 

Rasa bangga

Inilah yang mungkin kurang dimiliki oleh para sarjana pendidikan. Rasa bangga akan titel yang disandangnya dan tanggung jawab luhur yang diembannya. Persepsi di Indonesia masih menganggap menjadi sarjana pendidikan merupakan pilihan kedua. Dan bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan. Lulusannya tidak terlalu berkembang dan gaji yang didapatkan seringkali kecil, tidak cukup untuk kebutuhan hidup. Tak sepadan dengan tanggung jawab yang diembannya.

Berbeda halnya dengan yang dikatakan Bapak Hendry H. Widjaya, Direktur Eksekutif Persatuan Instruktur Kompeten Indonesia (PIKI), “Di India, untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan tidaklah mudah. Dan tidak sembarangan universitas yang dapat mencetak sarjana pendidikan. Banyak persyaratan ketat karena program ilmu pendidikan adalah pilihan nomor satu.”

Banyak sekali lulusan sarjana pendidikan di Indonesia yang sepertinya “lupa” akan keberhargaan dirinya. Mereka “lupa” pada idealisme dan keluhuran profesi yang seharusnya mereka tanamkan pada pribadinya. Sarjana pendidikan yang seharusnya mendidik para penerus bangsa ini tidak konsisten pada gelar yang telah mereka dapatkan. Lulus kuliah yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mendapatkan pekerjaan. Pemikiran yang sangat dangkal sekali. Dan miris! Karena kebanyakan dari mereka “berpindah jalur” dan meninggalkan gelar S.Pd dengan begitu mudahnya. Idealisme yang tergantikan dengan rupiah.

Peluang

Jika saja kita mau melihat peluang, seharusnya sarjana pendidikan tidaklah ada yang menjadi pengangguran ataupun “berpindah jalur”. Ketika kita memilih dengan ikhlas untuk menjadi sarjana pendidikan, maka siapkanlah diri kita dengan hal terbaik. Karena guru (sarjana pendidikan) merupakan ujung tombak untuk meningkatkan kemajuan bangsa Indonesia. Sebab sebagus apapun program atau kurikulum pendidikan yang dicanangkan pemerintah, maka hal itu tidak ada artinya bila tidak ada guru yang berkualitas.Tingkatkan kompetensi di tiap harinya dan ubah pola mental kita. Seperti yang saya kutip dari Financial Revolution,

"5% orang didunia menguasai 90% uang yang beredar, mereka adalah orang2
terkaya didunia yang bekerja dengan membangun aset. Sedangkan sisanya 95% manusia di dunia memperebutkan 10% uang yang beredar, mereka adalah
orang-orang yang bekerja untuk orang lain (pegawai)".

Sadarkah Anda? Bila ingin menjadi orang terkaya yang harus kita lakukan adalah membangun aset. Aset terpenting dari sebuah negara adalah SDMnya. Dan siapa lagi yang dapat membangun (mendidik) SDM tersebut jikalau bukan kita, sarjana pendidikan?

Mungkin kita butuh sebuah hari yang dirayakan khusus untuk memperingati kebangkitan sarjana pendidikan di Indonesia. Jika 2 Mei adalah hari pendidikan dan 20 Mei adalah hari Kebangkitan Nasional. Maka kita gabungkan saja menjadi 22 Mei untuk Hari Kebangkitan Sarjana Pendidikan Indonesia. Bangkitlah sarjana pendidikan! Tunjukkan kontribusimu untuk memajukan bersama Indonesia tercinta!. (*)


 

No comments:

Post a Comment

Text Widget