Hari
“Kebangkitan” Sarjana Pendidikan
Oleh
: Iska Meta Furi
Kita
pasti pernah mendengar cerita saat Kaisar Jepang bertanya berapa jumlah guru
yang tersisa setelah Jepang dibom atom Sekutu? Cerita ini menunjukkan betapa
bangsa Jepang menyadari bahwa untuk bangkit dari keterpurukan pasca perang
hanyalah dengan memajukan pendidikan. Juga menekankan betapa pentingnya arti
seorang guru (sarjana pendidikan) bagi kemajuan sebuah negara.
Hari ini kenyataan yang kita lihat adalah kontradiktif
dari cerita tersebut. Begitu banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang dicetak
tiap tahunnya. Namun mengapa masih saja dikatakan Indonesia kekurangan guru?
Seperti yang dinyatakan oleh Anies Baswedan PhD,
Rektor Universitas Paramadina Jakarta, dalam Antaranews.com bahwa Indonesia
saat ini mengalami kekurangan guru hingga 34 persen, baik di kota, di desa,
maupun daerah terpencil. Dari hal itu timbullah pertanyaan kemanakah para
sarjana pendidikan tersebut?
Rasa
bangga
Inilah
yang mungkin kurang dimiliki oleh para sarjana pendidikan. Rasa bangga akan
titel yang disandangnya dan tanggung jawab luhur yang diembannya. Persepsi di
Indonesia masih menganggap menjadi sarjana pendidikan merupakan pilihan kedua.
Dan bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan. Lulusannya tidak terlalu berkembang
dan gaji yang didapatkan seringkali kecil, tidak cukup untuk kebutuhan hidup.
Tak sepadan dengan tanggung jawab yang diembannya.
Berbeda
halnya dengan yang dikatakan Bapak Hendry H. Widjaya, Direktur Eksekutif
Persatuan Instruktur Kompeten Indonesia (PIKI), “Di India, untuk mendapatkan
gelar sarjana pendidikan tidaklah mudah. Dan tidak sembarangan universitas yang
dapat mencetak sarjana pendidikan. Banyak persyaratan ketat karena program ilmu
pendidikan adalah pilihan nomor satu.”
Banyak
sekali lulusan sarjana pendidikan di Indonesia yang sepertinya “lupa” akan
keberhargaan dirinya. Mereka “lupa” pada idealisme dan keluhuran profesi yang
seharusnya mereka tanamkan pada pribadinya. Sarjana pendidikan yang seharusnya
mendidik para penerus bangsa ini tidak konsisten pada gelar yang telah mereka
dapatkan. Lulus kuliah yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mendapatkan
pekerjaan. Pemikiran yang sangat dangkal sekali. Dan miris! Karena kebanyakan
dari mereka “berpindah jalur” dan meninggalkan gelar S.Pd dengan begitu
mudahnya. Idealisme yang tergantikan dengan rupiah.
Peluang
Jika
saja kita mau melihat peluang, seharusnya sarjana pendidikan tidaklah ada yang
menjadi pengangguran ataupun “berpindah jalur”. Ketika kita memilih dengan
ikhlas untuk menjadi sarjana pendidikan, maka siapkanlah diri kita dengan hal
terbaik. Karena guru (sarjana pendidikan) merupakan
ujung tombak untuk meningkatkan kemajuan bangsa Indonesia. Sebab sebagus apapun
program atau kurikulum pendidikan yang dicanangkan pemerintah, maka hal itu
tidak ada artinya bila tidak ada guru yang berkualitas.Tingkatkan
kompetensi di tiap harinya dan ubah pola mental kita. Seperti yang saya kutip
dari Financial Revolution,
"5% orang didunia
menguasai 90% uang yang beredar, mereka adalah orang2
terkaya didunia yang
bekerja dengan membangun aset.
Sedangkan sisanya 95% manusia di dunia memperebutkan 10% uang yang beredar,
mereka adalah
orang-orang yang bekerja untuk orang lain (pegawai)".
Sadarkah
Anda? Bila ingin menjadi orang terkaya yang harus kita lakukan adalah membangun
aset. Aset terpenting dari sebuah negara adalah SDMnya. Dan siapa lagi yang
dapat membangun (mendidik) SDM tersebut jikalau bukan kita, sarjana pendidikan?
Mungkin
kita butuh sebuah hari yang dirayakan khusus untuk memperingati kebangkitan
sarjana pendidikan di Indonesia. Jika 2 Mei adalah hari pendidikan dan 20 Mei
adalah hari Kebangkitan Nasional. Maka kita gabungkan saja menjadi 22 Mei untuk
Hari Kebangkitan Sarjana Pendidikan Indonesia. Bangkitlah sarjana pendidikan! Tunjukkan
kontribusimu untuk memajukan bersama Indonesia tercinta!. (*)
No comments:
Post a Comment