ALFABET
Namanya Ibu Nimfa.
Dia
sangat mencintai ilmu. Bahkan demi ilmu tersebut separuh hidupnya ia habiskan
untuk belajar. Konon ia sempat bertemu dengan periplaneta americana yang tinggal di Amerika. Ia adalah sosok
kecoa teranggun dan terpintar yang pernah ku lihat selama hidupku. Baru tiga
hari yang lalu ia tiba di kota kami dan mengajar di sekolah pusat. Ibu Nimfa
sangat bersemangat mengajak kaum kecoa untuk belajar. Namun itu adalah suatu
hal yang aneh di kota kami. Kota kami begitu makmur dan tenteram, sehingga para
tetua kota menganggap keturunan kaum kami tidak perlu belajar. Sekolah yang
dibangun pun hanyalah formalitas dan fungsi utamanya adalah tempat untuk para
pejantan dan betina saling berkenalan, sebelum akhirnya mereka saling
menyatukan janji menjadi sejoli. Maka, kehadiran Ibu Nimfa pun dianggap sebagai
sesuatu yang aneh.
Hari ini pelajaran
alfabet di sekolah. Ibu Nimfa yang mengajar. Namun sedari tadi Ibu Nimfa
menjelaskan, pejantan dan betina tidak memperhatikan. Mereka malah saling asik
memberi kode. Mencoba terlihat menarik sembari berharap kodenya tidak bertepuk
sebelah antena (karena kami tidak punya tangan).
“Walaupun kita bangsa
kecoa, namun kita tetaplah harus pintar agar tidak mudah dijajah atau ditipu
bangsa lain. Untuk pintar kita harus banyak membaca. Dan untuk membaca, maka
kita tidak boleh buta huruf. Di sini, kita akan memberantas buta huruf
tersebut. Kita akan mempelajari alfabet yang digunakan oleh bangsa manusia.”
Jelas Ibu Nimfa.
“Hoaaemm...alfabet
apa tuh Bu? Makanan baru ya?” celetuk Rudi yang sering tidur di kelas.
“Bukan Rud, nama
betina manusia. Ya kan bu?” seru Budi, yang memang agak budi (budek dikit).
“Ha..ha...ha..ha....”
para pejantan dan betina menertawakan Rudi dan Budi.
“Sst.. sudah, sudah.
Kembali ke materi. Sebelum kita mulai latihan pengucapan alfabet, ada yang mau
ditanyakan?” tanya Ibu Nimfa.
Aku mengacungkan
antenaku.
“Ya Blatta?”
“Mengapa kita
mempelajari alfabet bahasa manusia Bu? Mengapa tidak bangsa lain saja, seperti
kucing misalnya?” tanyaku.
“Pertanyaan cerdas.
Mengapa bangsa manusia, dan bukan bangsa lain. Karena kita tahu..bahwa bangsa
terhebat di muka bumi ini adalah bangsa manusia. Dan jika kita ingin belajar
sungguh-sungguh, belajarlah dari mereka yang terbaik. Selain itu, hampir semua
produk dan properti yang kita gunakan berasal dari bangsa manusia dan ditulisi
alfabet manusia. Jadi untuk mengetahui kegunaan produk dan properti itu, kita
harus dapat membaca alfabetnya dengan benar. Agar tidak terjadi efek samping
yang membahayakan.” Jelas Ibu Nimfa.
“Ribet amat sih Bu,
buat apa susah payah kayak gitu. Itu kan gak penting. Yang penting itu kita
harus meneruskan keturunan. Pejantan harus bisa cari makanan, betina harus bisa
bertelur banyak. Itulah tujuan hidup kita bu!”
Ibu Nimfa menghela
napas mendengar ucapan Ratu, kecoak betina yang suka dandan. Ratu memang tidak
peduli dengan sekolah, dia ke sekolah hanya karena dipaksa oleh ayahnya yang
merupakan tetua kota. Sekedar formalitas.
“Memang benar
perkataan Ratu. Di kota kalian yang begitu nyaman dan makmur ini, segalanya
telah tersedia. Hingga tugas kalian hanyalah meneruskan keturunan. Namun
ketahuilah, coro-coroku.. dengan ilmu yang kalian pelajari, kalian akan menjadi
kecoa yang berkualitas. Dengan membaca, kalian dapat meningkatkan taraf hidup
kalian. Kalian bisa membedakan mana produk yang berbahaya dan mana yang tidak.
Dan tidaklah pernah ilmu itu akan merugikan kita.”
Ibu Nimfa menatap
seisi kelas. Kebanyakan mereka tak acuh dengan perkataan Ibu Nimfa, dan masih
saja asik bertukar kode antena.
“Oke,
Ibu rasa cukup pertanyaannya. Sekarang mari kita latihan.” Ucap Ibu Nimfa
sembari menghela nafas panjang. Ia tahu ini akan sulit dan butuh waktu yang
lama.
“Hei Blatta, lo tahu
gak kalau Ibu Nimfa kemarin berdebat dan dicaci sama tetua kota di sidang
bulanan kota?” tanya Sari tetanggaku yang senang bergosip.
“Tahu darimana kamu?”
tanyaku.
“Ayahku yang cerita,
kemarin ia bertugas menjaga keamanan sidang. Dan ayahku bilang, itu adalah
perdebatan sengit yang pernah terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir.”
“Memang apa yang
didebatkan?” aku jadi penasaran.
“Ibu Nimfa
menginginkan agar dibuat sebuah kebijakan bagi para pejantan dan betina yang
berusia 20 hari hingga 40 hari untuk menyelesaikan sekolah. Dia begitu
menekankan pentingnya membaca dan memberantas buta huruf. Dia bilang bangsa
kita dalam bahaya bila kita tidak melek huruf.
Tentu saja tetua kota tidak setuju dengannya. Karena menurut mereka sekolah itu
tidak penting. Buta huruf pun masih bisa hidup. Dan usia 20-40 hari adalah
waktu yang tepat untuk bertelur, bukannya untuk sekolah. Tapi Ibu Nimfa begitu
keras kepala meminta dibuatkan kebijakan itu. Akhirnya terjadilah perdebatan
dahsyat itu. Tetua kota tidak menyukai pemikiran Ibu Nimfa. Dan malah
mengatainya coro pastur (pasaran turun), karena tidak ada kecoa pejantan yang
memilih Ibu Nimfa sebagai pasangannya dan Ibu Nimfa pun belum pernah bertelur.”
“Apa? Tetua kota
berkata seperti itu?”
“Iya, ayahku bilang
muka Ibu Nimfa sampai mencokelat tua menahan marah dan malu. Lalu ia
mengucapkan terima kasih dan pergi dari ruang sidang.”
Duh
Gusti, kasihan sekali Ibu Nimfa. Aku tak sampai hati membayangkan ia
dipermalukan oleh tetua kota di depan kecoa banyak.
“Huaa....huaaa....ibuuuu....”
“Ayaaahhh...jangan
tinggalkan kamii.. Huhuhuhu..”
Begitu banyak
tangisan dan ratapan anak-anak kecoa memenuhi kota kami. Ini adalah hari
terkelam di kota kami. Banyak mayat-mayat kecoa pejantan dan betina yang mati.
Ini bermula siang
tadi. Saat rumah besar yang tiga tahun kaum kami tempati ingin dihuni kembali
oleh manusia. Ratu yang melihat manusia itu pertama kali. Kemudian ia
memberitahukan pada teman-teman se-ganknya.
Didorong rasa penasaran akan kehadiran manusia, mereka pun melanggar aturan
tetua kota. Mereka mendekati barang-barang yang dibawa manusia tersebut. Dan
celakanya, Ratu yang tidak pernah serius saat belajar Alfabet, malah mendekati
sebuah tabung bertuliskan “TK – Tumpaskan Kecoa!!”. Ia memanjat tutup tabung
itu dan menghirup racun anti kecoa. Ia pun mati seketika. Melihat Ratu yang tak
bernyawa, teman-teman betinanya menjadi panik dan berteriak minta tolong. Kecoa
lain yang mendengar jeritan teman-teman Ratu pun segera terbang menghampiri
mereka.
Dan urusan ini
menjadi demikian kapiran. Anak perempuan manusia itu melihat kawanan kecoa yang
terbang dan menjerit.
“AAArghh.....
KECOAAAA!!!!”
Ayahnya yang melihat
anak itu ketakutan, segera mengambil tabung lain dan menyemprotkannya pada
kawanan kami. Sehingga makin banyak korban kecoa yang berjatuhan dan suasana
menjadi gaduh.
Sinta, salah seekor
kecoa teman Ratu yang berhasil selamat menceritakan kronologis peristiwa
tersebut. Dan inilah akhirnya. Kami berada di pengiringan doa massal dengan
diam-diam agar tak ketahuan manusia tersebut. Kami bahkan tak kuasa memakamkan
mereka dengan layak.
Ibu
Nimfa yang berada di sebelahku memandang sedih pada kecoa yang kehilangan
anggota keluarganya. Aku sempat mendengar gumaman lirihnya, “Seandainya kalian
tidak buta huruf, ini tidak akan terjadi.”
Cerpen simbolisme yang
disertakan dalam lomba “Gerakan Ayo Membaca” EDUWA UNJ ini ditulis oleh...
Iska Meta Furi,
Teknologi Pendidikan UNJ angkatan 2007. Hobi membaca, menulis, berkhayal.
Email : metamorfillah@gmail.com
FB : meta ‘morfillah’
No comments:
Post a Comment