FENOMENA GRAY DIVORCE DAN CITA-CITA RUMAH TANGGA SURGA
Meta morfillah
Banyak dari kita yang berpikir seiring bertambahnya usia pernikahan, maka pernikahan itu akan kokoh dan jauh dari kata pisah. Menariknya, sebagian besar perceraian kini justru terjadi di usia lanjut. Fenomena ini dikenal dengan nama 'gray divorce', yaitu perceraian setelah usia 50 tahun. Jumlahnya meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Pada 1990, hanya sekitar 8,7 persen perceraian yang melibatkan pasangan berusia 50 tahun ke atas. Namun, penelitian dalam The Journals of Gerontology yang dipimpin oleh Susan Brown, profesor sosiologi di Bowling Green State University menyatakan di 2019 angka ini melonjak menjadi 36 persen. Susan Brown mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, gray divorce bukan disebabkan oleh perselingkuhan atau konflik besar, tetapi karena pasangan merasa telah tumbuh ke arah yang berbeda. (dikutip dari www.cnnindonesia.com).
Dari beragam artikel serta buku pernikahan yang penulis baca, bila dirangkum permasalahan yang seringkali menjadi alasan 'gray divorce’ adalah: cinta yang memudar (sebab sudah jarang melakukan aktivitas sederhana yang romantis, seperti bergandengan tangan), empty nest (rumah yang tiba-tiba sepi sebab anak-anak sudah pergi dan membangun keluarganya masing-masing, tinggal berdua tapi malah bingung dan kaku untuk ngobrol), perceraian yang tertunda (menunda cerai sebab anak-anak masih kecil), kehidupan karir menurun (post power syndrome), masalah finansial (bisa jadi banyaknya hutang atau justru salah satu mandiri finansial sehingga merasa mampu hidup sendiri), dan ketidakpuasan dalam pernikahan yang selama ini ditahan (apalagi bila melibatkan orang ketiga atau narkoba).
Hal menarik yang bila dicermati dari penyebab tersebut, sesungguhnya berpusat pada pasangan. Upaya suami dan istri dalam menghidupkan rumah tangganya. Beberapa kasus saat konseling, justru mereka yang bercerai di usia senja tidak memiliki satu pun masalah besar, melainkan ribuan masalah kecil yang dibiarkan saja tanpa pernah dituntaskan berdua.
Maka bila kita memiliki cita-cita rumah tangga surga sebagaimana ungkapan indah “Baiti, Jannati” kita harus sadar bahwa hal itu harus diupayakan bersama. Bata demi bata, pilar demi pilar bangunan cinta kita bersama pasangan haruslah sesuai syariat yang Allah tetapkan. Agar Allah turunkan sakinah, mawaddah, wa rahmah serta berkah ke dalam rumah kita. Meski baru pekarangan surganya saja yang kita mampu, tapi kita usahakan rumah tangga itu.
Mulailah belajar mengenali pasangan setiap detiknya, ta’aruf sepanjang masa. Sebab ia makhluk dinamis yang bertumbuh. Setiap kejadian, peristiwa, dan latar akan membentuk pemikiran atau pun perilaku pasangan kita. Belajarlah membiasakan ngobrol receh hingga deep talk sesering mungkin, agar saat anak-anak dewasa kita tidak kebingungan berdua dengan pasangan dan kehabisan obrolan. Kenali juga diri kita dan bagaimana kita ingin dicintai, lalu ungkapkan pada pasangan, agar tidak ada lagi rasa sendirian dalam pernikahan. Paksakan diri upgrade ilmu, iman, dan amal sebab visi kita jangka panjang: surga.
Percaya bahwa tiap langkah kecil yang kita mulai saat ini, akan berdampak besar di hari tua hingga kehidupan akhirat kita nanti. Meski awalnya mungkin berat, risih, aneh, tidak biasa sebab pola asuh kita tidak seperti itu, tapi visi jelas kita membuat daya tahan dan fitrah pembelajar kita menyala. Jangan sampai gray divorce menjadi fenomena yang dianggap lumrah apalagi bagi umat Muslim. Sebab salah satu nikmat yang bisa kita rasakan hingga akhirat kelak, adalah memiliki keluarga, yang akan bercengkerama di surga. Maka pantaskanlah diri, pasangan, dan keluarga kita menjadi ahli surga.
Rumah tangga, surga; adalah rumah tangga yang bervisi ke surga bersama.
Rumah, tangga surga; adalah rumah yang kita upayakan menjadi tangga menuju surga.




