Dokternya kurang cocok…
Bagaimana, bila kamu sudah tak memiliki ekspektasi apa pun, hingga
memilih untuk menjadi batu. Diam di pojok sana, tidak peduli dengan
sekitar, namun kecewamu tak hilang. Patah hati, bukan karena cinta lawan
jenis. Patah hati yang lain, lebih kompleks. Hebatnya, kamu didiamkan
saja. Dibiarkan. Hiduplah dengan caramu, sesukamu. Jiwamu yang awalnya
supportif dan produktif, mulai melemah, memikirkan apakah menyerah, atau
berubah menjadi iblis? Ciptakan beragam konflik dan bermasalah. Toh,
mereka tak akan pernah peduli lagi padamu.
Menanggapi ketidakpedulian dengan ketidakpedulian lagi. Apatis, pesimis, dan lainnya.
Itukah yang diinginkan oleh mereka?
Entah… status quo kah?
Uluran tangan siapa yang bisa diharapkan?
Kita sama-sama sakit, namun tak mau mencari obatnya
bersama. Padahal, jelas-jelas kita harus bersama mencarinya. Sebab, kita
manusia. Tak bisa berdiri sendiri.
Ada nyeri yang sesak di dalam dada, membuat bimbang begitu meraja. Dan tibalah saatnya, menjadi tidak peduli.
Beliau sendiri yang bilang, tak butuh inisiatif, tak butuh dipedulikan selama yang menjalani senang. Jadi, untuk apa kaupeduli?
Berhenti.
Mungkin memang jawabannya harus berhenti. Meski kamu
manusia, yang tak bisa mendiamkan saat ketidakadilan yang diulang-ulang
menjadi pembenaran dan pemakluman.
“Sometimes people don’t notice the things you do for them… until you STOP doing it.”
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment