Gambar diambil dari sini |
Aku pernah mengalami perpisahan,
dan kali pertamanya kutinggalkan dia menangis. Aku dalam posisi meninggalkan,
dan dia yang ditinggalkan. Sakit, melihat dia menangis. Tahu, bagaimana rasanya
menyakiti orang yang kamu cintai? Tapi harus kulakukan, sebab ada yang lebih
bermakna ketimbang cinta itu, saat itu.
Belajar dari pengalaman itu, aku
selalu membuat kalimat perpisahan yang menyenangkan. Berapa kali, kuhadapi
situasi di mana harus aku yang memutuskan meninggalkan. Atau menolak. Sungguh,
itu tak mudah. Terlebih bila kamu memang cinta, atau masih cinta.
Memang, hubungan-hubungan itu tak
berubah. Tak rusak, meski butuh waktu agak lama untuk kami saling menghindar. Tepatnya,
dia yang menghindar, menjauh. Sebab, aku kembali pulih dengan cepat. Sebab,
mungkin mereka jauh lebih terluka. Dan luka itu, aku yang menanamnya.
Kali ini, kali pertama kurasakan
perpisahan yang berbeda. Aku tahu, kembali harus aku yang memutuskan. Tapi ini
lebih perih. Sebab, bukan pada kami. Dia atau diriku. Tapi, orang lain yang
jauh lebih mencintainya. Orang yang rela mengorbankan nyawanya demi dia. Meski ingin
kupaksakan, hati kecilku tak kuasa. Manalah bisa? Bila impianku juga menjadi
seorang ibu yang dicintai anaknya. Manalah bisa, aku menyakiti seorang ibu? Tiga
hari, kuhabiskan dalam tangis. Menangisi situasi, kondisi, dan hal lain di luar
kuasaku. Aku tak menggugat Tuhan, atau pun menyalahkan keadaan. Sebab, kutahu…
itu semua hal sia-sia. Pagi, saat berangkat dan sepanjang perjalanan, aku
menangis dalam diam. Sembari merenung, tentunya. Malam, setelah lelah fisik dan
hatiku, aku menangis kembali. Sulitnya, ada mama yang tertidur di sampingku…
sehingga aku mematikan lampu dan air mataku mengalir tanpa suara. Kautahu,
menangis tanpa suara itu jauh lebih menyesakkan dibandingkan menangis
meraung-raung. Bukan lega yang kudapat, tapi semakin sesak. Tiga hari seperti
itu. Hingga air mataku kering, dan aku terlalu lelah untuk menangis.
Lalu, tibalah harinya aku harus
mengucapkan kata itu. aku berharap sekali, kali ini saja, bukan aku yang
mengucapkan kata itu. Untuk kali pertamanya, aku lebih memilih ditinggalkan. Tapi,
kenyataan memosisikan bahwa akulah penentunya. Kalimat yang sudah kusiapkan
baik-baik, tak satu pun keluar. Yang ada, aku hanya tertawa. Menertawakan kesedihan
yang kulalui tiga malam sebelumnya. Menertawakan kehidupan yang kian lucu. Lalu,
setelah hening yang panjang, kita selesai. Dalam tawa, dan sedikit guyonan agar
tak menggantung diri, lalu ditutup ucapan hati-hati di perjalanan pulang. Selesai
begitu saja. Semudah itu melepaskan. Legaaa…. Meski ada nyeri di dada.
Terima kasih, pernah hadir dan
memperjuangkanku dengan kesungguhanmu.
Maaf, bila aku tak sengaja
menyakiti.
Tolong, tetaplah berhubungan baik
denganku. Kunjungi aku, meski kita tak akan berada di bawah atap rumah yang
sama. Tapi, masih bisa berteman, kan?
“Only know you love her, when you let her go…”
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment