Aku masih ingat nuansa serba tujuh
saat kamu menyatakan cinta. Ya, kamu begitu menggilai angka tujuh. Kamu bilang
angka tujuh adalah angka kita. Padahal hari lahirmu atau pun hari lahirku bukan
tujuh. Pun, kamu dan bukan anak atau cucu ketujuh. Tapi, kamu mendesain momen
istimewa, tanggal tujuh, bulan tujuh dan tahun berakhiran tujuh. Aku curiga,
apa benar kamu menunggu waktu yang tepat selama itu, atau pada saat itu kamu
baru saja jatuh hati padaku? Bagaimana misalnya, kamu kelewatan tanggal cantik itu? Akankah kamu tetap menyatakan cintamu
padaku? Haha… entahlah.
Lalu, setelah sekian lama kita
asyik dengan kesibukan masing-masing, tepat tujuh tahun dari waktu itu, kita
bertemu kembali. Aku mulai bertanya-tanya, apa gerangan dengan angka tujuh? Benarkah
angka itu istimewa dan ajaib bagi kita?
Pertemuan tak sengaja, di kereta.
Aah… aku dan imajiku selalu menempatkan stasiun, dan bandara sebagai tempat
romantis sekaligus menyakitkan, sebab dalam cerita klise, kedua tempat itulah
biasanya yang digunakan sebagai tempat pertemuan dan—lebih banyak—perpisahan. Mana
kutahu, di tengah sesaknya penumpang, ada kamu di sebelahku. Kamu yang
menyadari terlebih dahulu. Yaa.. selalu saja kamu, sama seperti kamu yang lebih
dahulu menyadari ada rasa suka di antara kita. Sedangkan aku, agak lambat, baru
menyadari saat kamu pergi. Kembali pada pertemuan di kereta yang penuh sesak,
kamu mengenaliku dan menegur, “Hai, Apa kabar?”
Aku begitu bodoh, menyadari bahwa
ada teguran, tapi tak menyangka bahwa akulah objek yang ditegur, sehingga kamu
menyentuh halus pundakku yang lebih pendek darimu, dan mengulangi, “Hai, Apa
kabar?”
Aku menoleh ke kanan—lebih tepatnya
mendongak. Karena kamu terasa semakin tinggi dari kali terakhir aku melihatmu. Tak
heran, hobimu kan berenang dan bermain basket.—dan sempat terpaku sekian detik
mengenali matamu. Mata yang sama, yang pernah membuatku begitu nyaman
menatapnya, seperti saat aku menatap kolam renang yang biru. Membuatku ingin
terus berada di sana, tenggelam dalam birunya. Untunglah, sentakan kereta saat
berguncang menyadarkanku dari hipnosis itu.
Aku tersenyum dan membalasmu
dengan pendek. Yaa, agak sulit untukku membuka percakapan kembali denganmu. Sebab,
dengan membuka percakapan, aku takut ada bagian lain dalam diriku yang ikut
terkoyak, terbuka dan kembali pedih. Sebab kamu seperti mentari yang begitu
menyengat. Aku tak bisa mendekat. Tapi kamu dengan kekeraskepalaanmu, masih
saja mencoba membuka percakapan. Bertanya kabar keluargaku, teman-teman
dekatku, kegemaranku, dan kehidupanku setelah tanpamu. Aku hanya menjawab
sekadar. Sependek mungkin. Hingga mungkin kamu menyadari, ada keengganan dalam
nada bicaraku. Perlahan kita diam. Aku mulai menyibukkan diri dengan membaca
pesan-pesan di ponselku. Kamu pun sama. Kita seketika menjadi sibuk di dunia
maya sana, padahal kita begitu dekat. Sejujurnya, aku benci keadaan ini. Berharap
segera saja kereta berhenti di tujuan akhirnya, sehingga kamu dan aku bisa
lepas dan kembali menjadi dua orang yang tak lagi saling mengenal. Syukurlah,
harapanku tak lama terwujud. Kereta tiba di stasiun terakhir. Sudah kusiapkan
kalimat basa-basi untuk pamit padamu. Tapi, lagi-lagi kamu lebih cepat dariku. Kamu
menutup pertemuan itu dengan kalimat, “Lucu ya, setelah tujuh tahun tak
bertemu, tak sengaja kita dipertemukan. Mengapa saat denganmu, angka tujuh
begitu melekat ya?”
“…..” Damn! Aku kehabisan kata-kata mendengar kalimatmu.
“Baiklah, sampai jumpa.”
Lalu kamu melangkah pergi. Kembali
pergi, sama seperti saat kamu melangkah pergi dari kehidupanku.
Aku hanya berharap, semoga “Sampai
jumpa” tak akan menjelma pertemuan.
Cukup.
Meta morfillah
bagus mba. ini fiksi atau bukan?
ReplyDeletereal bukan? hehe.,., rada nyesek juga kayaknya :D. bagus
ReplyDeleteini real kayaknya ya dan bikin jleb :((
ReplyDeleteReally Fiksi kok... hehe.
ReplyDelete