Pernah merasa sama sepertiku?
Saat bersama mama—satu-satunya
orang yang kupercayakan hatiku padanya—seringkali jiwa kekanak-kanakanku
menjadi lebih gigantis. Di hadapannya, aku benar-benar menjadi diriku yang
sesungguhnya, tanpa sedikit pun berusaha jaga image, semua keburukanku pastinya
mama yang paling tahu. Saat mama di sampingku, aku tak takut bangun siang. Bahkan
sepertinya, selama mama ada di kosanku, aku jadi bangun lebih siang. Sebab
terlalu nyaman tidur bersamanya. Di dekatnya. Tak takut ketinggalan salat
subuh, sebab pasti ada yang membangunkanku dari tidur lelapku. Tak perlu
bicara, sarapan sudah selalu tersedia. Walau itu semua didapatkan dengan iringan
“nyanyian khas” mama.
“Anak gadis bangun siang,
rezekinya dipatok ayam!”
“Gimana mau jadi istri dan ibu
kalau hidupmu kayak gini?”
“Pantas kamu sakit melulu. Ga ketemu
matahari, sih!”
Yaa… di hadapan mamaku, aku amat
sangat tidak mandiri. Tak heran, bila kusela “nyanyiannya” dengan bilang bahwa
aku tak begitu saat mama tak ada, mama tak percaya. Haha… semua orang apalagi
orang tua, memang melihat bukti, toh!
Tapi, itulah yang terjadi. Saat mama
tak di sisiku, alarm tubuhku mendadak aktif. Bahkan aku menjelma sepertinya. Tidurku
menjadi jarang. Bangunku lebih pagi. Kamarku selalu bersih dan rapi, sebab aku
membunuh sepi dan kekosongan dengan bebenah. Tumpukan cucian pun tidak ada—kecuali
air mati atau tidak naik ke kosanku. Aku menjadi sadar diri dan mawas diri,
bahwa tak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri. Aku jadi lebih pandai
mengontrol pola makan, bahkan mendisiplinkan diri untuk tak melewatkan makan—sebab
biasanya aku paling malas makan. Juga, aku menjadi begitu perhatian terhadap
apa yang kumakan karena tak mau sakit. Sebab, jauh dari orang tua, sendirian,
di kosan, itu adalah hal yang cukup menyiksa. Akan lebih menyiksa lagi, bila
ditambah sakit. Pernah aku mengalami, pingsan di kamar sendiri hingga sadar
sendiri. Sungguh, tak enak rasanya. Sakit tanpa ada seorang pun yang tahu
apalagi menemani. Berbeda saat ada mama. Aku sering bermanja-manja, mengeluhkan
segala penyakitku. Bukan obat yang kucari, hanya perhatiannya saja. Belaian dan
pelukan mama sudah menjadi obatnya.
Sungguh lucu, bukan? Semandiri apa
pun, aku menjadi demikian manja dan melemah di hadapan mama. Seakan mama adalah
batu kryptoniteku. Kekuatan sekaligus kelemahanku. Tak peduli usia, atau
seberapa tangguhnya aku di luar sana. Saat kembali di hadapan mama, mendadak
aku menjelma menjadi anak gadis kecilnya yang tak kunjung menua. Dan aku
menikmatinya.
Pernah, kalian merasakan hal yang
sama denganku?
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment