Meninggalkan zona nyaman itu berat. Berat sekali.
Setelah mengajukan resign di kantor lama, hanya
seminggu saya dapat menikmati jadi pengangguran. Senin malam, senior saya
menghubungi dan menawarkan pekerjaan sebagai Instructional Designer di
kantornya. Bidang pekerjaannya, walau masih terkait apa yang saya pelajari dan
kerjakan selama ini, namun agak berbeda media. Selama ini saya agak lemah di
bidang media, dari kuliah saya menyadari itu, sehingga tak memilihnya. Saya sudah
menjelaskan hal itu pada kakak kelas saya, dan dia tetap menyuruh saya datang
ke kantornya. Malam itu, ramai wasap saya. Tiga senior dan seorang teman
menyuruh saya mencoba datang dan melamar ke kantor itu. Seperti biasa, saya tak
pernah menolak kesempatan. Toh, saya pikir aka nada banyak waktu dalam
mempertimbangkan saya diterima atau tidak. Saya pun tak memiliki ekspektasi
akan diterima.
Selasa siang, saya diinterview oleh kakak kelas dan
HR perusahaan itu. Setelah wawancara pun, saya main ke kantor lama. Setidaknya seminggu
sekali saya menyempatkan diri ke sana, karena meski saya sudah tak bekerja di
sana, mereka tetaplah keluarga yang saya sayangi. Cinta tapi tak jodoh, haha…
kayak lagu T2. Rabu pagi, saya membuat NPWP—hal yang tak sempat saya lakukan
saat bekerja dahulu—lalu pulang ke Bogor bersama mama dan uda saya. Sorenya,
saya mendapat telepon bahwa saya diterima dan disuruh mulai bekerja besok, hari
kamis. Saat itu, saya agak sedih. Mengapa? Karena niat saya sebulan menganggur
dan membantu chef alladzu—usaha brownies bersama teman-teman komunitas Pencinta
Anak Yatim—harus terhenti. Tapi tak lama, saya mengucap hamdalah dan innalillah…
pekerjaan baru adalah amanah baru. Berat rasanya, terutama saya memang tak
terlalu menguasai bidang pekerjaan baru saya. Tapi, saya ingat lagi dua
pekerjaan saya sebelumnya… keduanya dimulai dengan cara yang sama. Saya tak
pernah melamar atau pun berniat melamar di sana. Sama sekali tak ada ekspektasi
apa-apa terhadap perusahaan sebelumnya. Tapi mereka yang memilih saya, dan saya
bertahan dua tahun di kedua tempat. Keduanya meninggalkan kenangan manis. Murid-murid
saya yang kebanyakan berkebutuhan khusus, serta sahabat-sahabat yang setia
menemani dan tak putus hubungan hingga kini. Keduanya pun member pembelajaran
yang berbeda namun membuat saya utuh seperti pribadi saya saat ini.
Di perusahaan yang baru ini, ternyata saya akan
menjadi satu-satunya instructional designer. Menggantikan kakak kelas saya yang
akan resign bulan ini karena sakit. Transfer knowledge seadanya. Bahkan dalam
seminggu hari kerja, saya hanya datang ke kantor satu kali. Sebab, saya sendiri
kurang paham bagaimana ritme kerja dan apa tanggung jawab saya. Selama ini,
saya menunggu perintah dari senior saya. Tak boleh jauh dari handphone, sebab
sewaktu-waktu ada koordinasi dan saya harus siap mobile.
Kautahu, pekerjaannya lebih seperti marketing dan
project manager. Selain saya berpikir sebagai instructional designer, saya juga
harus memastikan project berjalan sesuai timeline, memastikan kualitas hasil
pekerjaan, dan juga mempresentasikan dari awal project hingga akhir ke klien. Ibaratnya
saya garda depan. Setelah mendapat gambaran itu, hati saya berkali-kali tak
tenang. Saya agak keberatan untuk menjadi front office. Tapi, kembali dalam
pergulatan batin saya, saya berpikir “Apa lagi scenario yang Allah ingin
berikan pada saya?”
Jujur saja, saya merasa bahwa hidup saya dan
pekerjaan saya selama ini, bagaikan tingkatan pembelajaran yang harus saya
selesaikan. Dan semuanya saya selesaikan dalam kurun yang sama. Dua tahun. Lalu
lanjut ke tahap selanjutnya, dengan kemudahan yang saya dapat, untuk
membuktikan apakah pembelajaran selanjutnya saya akan lulus atau tidak. Saat mengajar
di homeschooling, saya belajar kesabaran menghadapi anak-anak berkebutuhan
khusus dan anak-anak normal yang memiliki segudang masalah hingga putus
sekolah. Saat bekerja di perusahaan sebelumnya, saya belajar menekan ego,
bekerja secara tim dan kepemimpinan. Saat ini, saya merasa goal saya adalah menuntaskan pelajaran komunikasi, bagaimana
menghadapi beragam karakter klien yang harus saya pilah-pilih, tidak sekadar
menjadi “yes-man”.
Satu hal yang paling berasa, adalah perubahan itu
sendiri. Betapa pergulatan pikiran dan konflik batin saya kerap muncul. Tak jarang
membandingkan dengan kantor lama, betapa “surgawi” kantor lama saya. Semua kenyamanan
ada di sana, sangat-sangat nyaman hingga menumpulkan. Lantas saya teringat
tulisan pak rhenald kasali,
“Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi
ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan
dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur. Kadang kita
menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang
menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran. Hidup
itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan
ini akan crowded. Jadi, apakah Anda
termasuk orang yang mengalami gejala kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman?”
Yaa… perubahan itu menyakitkan. Belajar lagi dari
nol. Keluar dari zona nyaman. Persis seperti batu berlian yang dibentuk, dan
akan semakin mahal bila ia memiliki banyak sudut cahaya, banyak pembentukan.
Semua perubahan ini, insyaa allah telah dan akan
saya lewati kembali dengan baik, selama ada dukungan dari keluarga. Terutama mama.
Doanya yang memeluk dari jauh begitu kuat dan menenteramkan, meski raga tak
bersua. Setiap kali orang bilang saya beruntung, atau saya merasa sangat
beruntung, saya percaya bahwa itu adalah doa mama saya yang dikabulkan.
*Saya menuliskan semua yang saya rasakan, bukan
sekadar curhat… tapi agar saya ingat bahwa “saya pernah merasa begitu bodoh,
buntu, tak berguna dan merasa masalah yang saya hadapi rumit dan tak selesai-selesai”
saat ini. Untuk kemudian saya tertawakan di beberapa waktu ke depan, saat saya
sudah berhasil menyelesaikannya, atau menyadari bahwa masalah saya tidak ada
apa-apanya.*
No comments:
Post a Comment