Hari pertama, 2 Mei 2014
Kami bergegas sarapan, lalu check out dari hostel. Sebab, tujuan kami adalah ke Malaka. Kami
menaiki moda transportasi yang berbeda, mulai dari LCCT hingga sky bus. Langit begitu cerah dan
matahari begitu semangat memancarkan sinarnya. Tiba di Malaka, kami agak
kebingungan menemukan hostel yang sudah kami booking, sebab tidak ada papan namanya. Setelah bolak-balik dan
yakin pada satu tempat yang kami curigai—memang itulah hostel kami, jika
berdasarkan alamatnya. Namun digembok—dan berteriak-teriak di depan pintunya.
Tak lama keluarlah seorang lelaki Chinese—namanya
Steve kalau tak salah. Saya lupa!—dan setelah kami konfirmasi, ternyata memang
benarlah itu hostel yang kami cari. Steve bercerita bahwa ia mengelola hostel
ini sendirian, di samping itu ia membuka semacam toko baju hasil desainnya
sendiri. Ia meminta maaf agak lama membuka pintu, karena ia baru tidur beberapa
jam di pagi itu. Semalaman ia begadang membuat desain baju. Well, cukup salut sama Steve. Mandiri
sekali, patut dicontoh!
Scene di pintu belakang hostel Malaka |
Jam Merah Malaka |
Hari yang cerah dan pemandangan yang indah di
Malaka sangat sayang jika dilewatkan. Maka, kami bergegas menyusuri Malaka,
berfoto di setiap sudut yang kami anggap bagus. Hingga tak terasa, hari
menjelang siang, dan kami sangat lapar. Di sini, kami diuji kembali… berjalan
bolak-balik mencari tempat makan yang halal. Banyak tempat makanan di malaka,
namun setiap kali kami masuk, mereka yang melihat kami memakai jilbab,
memberitahu bahwa makanannya tidak halal. Yaa… memang Malaka seperti China town
nya Malaysia, terlalu banyak Chinese.
Kami pun bertanya-tanya, ke orang sekitar di mana kami bisa menemukan makanan halal.
Mereka menunjuk ke satu tempat bernama Kampung Jawa. Lumayan jaraknya. Terlebih
matahari yang semakin terik bersinar, membuat kami meleleh berjalan sejauh itu.
Sesampainya di Kampung Jawa, kami memesan sate
kerang, mie dan es teh manis. Ada kejadian lucu di sini, saat memesan es teh
manis. Perbedaan bahasa Melayu dan Indonesia, serta kekurangmampuan pelayannya
dalam bahasa inggris, membuat kami lama memesan es teh manis.
“…and sweet
ice tea, two.”
Muka pelayannya bingung, dan mengernyit seakan
berkata, “Maaf, kamu pesan apa? Ulangi.”
“Es teh manis dua.”
Dia masih tak paham, lalu memanggil seniornya.
Kami mengulangi pesanan kami. Tapi pelayan itu dan seniornya bingung kembali.
Mulailah kami dengan bahasa tubuh dan kosakata
bahasa inggris seadanya menambahkan,
“Ice”
“Cold”
Dan pelayan itu masih juga tidak paham. Ia malah
menggeleng-gelengkan kepalanya. Hingga salah satu dari kami menunjuk es teh manis
yang dipesan orang di samping kami, dan berkata “Like that!”
Pelayan itu melihat ke sana dan menyeringai seraya
berkata, “Ooo… Teh O sejuk!”
Kami bertiga serentak berkata, “Naaahh…. Itu!”
Tak lama, dia membawakan pesanan kami dengan benar.
Ternyata, teh manis di sana namanya teh O! Dan kalau mau minuman yang dingon bilangnya sejuk, hahah…
Makanan di Kampung Jawa itu begitu sesuai dengan
namanya. Rasanya maaaaniiisss… sampai sate pun manis. Berasa kayak makan gula
bentuk sate.. haha. Sehingga lekas membuat kenyang dan agak eneg. Dari Kampung Jawa, kami memutuskan
kembali ke hostel untuk salat dan beristirahat sejenak. Sesampainya di hostel,
Steve memberitahu bahwa nanti malam akan ada perayaan di Malaka, tak jauh dari
hostel kami. Ia menyarankan agar kami beristirahat untuk merecharge energi nanti malam. Kami pun menurut, dan menunda kelanjutan
eksplor Malaka hingga sore hari, agar kuat begadang melihat perayaan di malam
hari.
Lalu sore hari, kami melanjutkan eksplor Malaka hingga kami menemukan tempat makan yang halal, lumayan enak dan tak terlalu jauh dari hostel kami. Pemandangan senjanya sangat cantik. Tak lama, kami kembali ke hostel untuk salat, istirahat sejenak dan lanjut ke perayaan. Kami menghabiskan waktu menyusuri jalanan di Malaka malam hari yang sekejap berubah seperti pasar sogo jongkoknya Tanah Abang.
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment