Hari terakhir, 3 Mei 2014
Sebelum check
out, Chatel sempat membeli beberapa baju desain Steve untuk oleh-oleh. Steve
pun memberikan diskon untuknya. Kami cukup senang dengan jamuan Steve. Dia ramah,
mandiri dan cukup informatif. Mungkin, kalau kami ke Malaka lagi, kami akan
mampir ke hostel Steve, meski tempatnya kecil.
Perjalanan hari terakhir kami, dihabiskan ke Batu
Caves. Mengunjungi kuil alam, di mana ada patung dewa raksasa yang
tiiiiinggiiii sekali. Kami memang tidak berminat untuk ke Petronas, sebab kami
mencari scene yang masih alami, tak terlalu kota… haha. Petronas sudah terlalu mainstream. Dari Batu Caves, kami
menyempatkan belanja oleh-oleh. Namun makanan di Batu Caves yang kurang
memuaskan, membuat kami ingin kembali ke Petailing—lokasi hostel pertama yang
kami tempati kemarin—untuk membeli makanan yang mirip dengan masakan rumah di
Indonesia. Kami lahap sekali makan di sana. Betapa merindukannya, rasa makanan
Indonesia, terutama SAMBAL! Waah… enaaaak bangeeeet. Kayak baru kali pertama
makan yang sebenarnya!
|
Welcome to Batu Caves! |
|
Bus di Malaysia |
Tak lama, hujan turun lebat disertai angin kencang.
Tanpa kabar, atau mendung, tiba-tiba saja cuaca berubah ekstrem. Kami yang
tadinya mau naik LCCT ke lokasi bus bandara, mengurungkan niat dan memilih naik
taksi sampai ke lokasi bus yang mengantarkan ke bandara. Sayangnya, hujan yang
begitu deras dan menyebabkan banjir, membuat kami kesulitan mendapatkan taksi. Agak
menakutkan, sebab sudah pukul 16.30 waktu setempat. Kami takut terlambat ke
bandara. Untunglah, ada satu taksi yang mau mengangkut kami. Walau lebih mahal,
tapi bagi kami yang mengejar waktu, hal itu tak jadi soal. Sesampainya di
lokasi bus yang mengantarkan kami ke bandara, ternyata cuaca cerah. Agak aneh
orang-orang melihat kami yang basah kuyup, sementara mereka kering kerontang.
Kami tiba di bandara pukul 17.30, dan langsung
mengantre ke imigrasi. Dan salah satu kelemahan di Malaysia, adalah antrean
imigrasinya. Saat berangkat dan pulang pun, antreannya panjang mengular. Saya jadi
agak membandingkan dengan Singapura. Agak menyebalkan sekali, karena pesawat
kami berangkat pukul 20.00, dan sampai pukul 19.40 kami masih di imigrasi. Muka
kami sudah mulai khawatir.
Oh ya, kami bertiga mengantre di baris yang berbeda.
Saya keluar lebih dahulu dan bergegas menuju ruang pesawat. Tapi, namanya pergi
bertiga, ya pulang harus bertiga dooong. Tetaplah, saya menunggu dua teman
saya, meski saya sudah di ruang tunggu pesawat. Firasat saya tidak enak, sebab
ruang tunggu sudah kosong. Dan benar saja, tak lama setelah dua teman saya
datang dan menjulurkan paspor ke petugas, mereka menolak! Kami kaget, dan
terbata-bata menjelaskan bahwa ini bahkan belum pukul 20.00, sembari menunjuk
jam dinding yang menunjukkan pukul 19.55. Mereka malah marah dan bilang bahwa
seharusnya kami sudah masuk dari pukul 19.45. dan sempat menyalahkan kami,
bahwa kami main-main dan suka terlambat—setelah melihat paspor kami dari
Indonesia.
Huwaaa…. Mata kami bertiga sudah berkaca-kaca. Membayangkan harus
membeli tiket pesawat baru, dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Padahal besoknya
kami harus bekerja, belum lagi uang kami yang pas-pasan… haha. Kami bertiga pun
memohon-mohon pada petugas, berdalih bahwa masih ada 5 menit, toh pesawat belum
berangkat. Akhirnya kami pun diizinkan masuk, tapi tidak diantar. Kami disuruh
berlari menuju pesawat dengan jarak yang lumayan. Alhamdulillaahh… kami
langsung berlari kencang, ketakutan pesawat akan meninggalkan kami, sampai lupa
mengucapkan terima kasih. Hingga akhirnya, di tengah berlari, kami berteriak terima
kasih pada petugas. Meski dicemberutin, kami sampai ke pesawat, dan duduk di
tempat masing-masing. Saya terpisah sendirian, dari kedua teman saya. Saya duduk
di belakang dan bersiap untuk terbang. Tapi, 15 menit menunggu…. Ternyata pesawat
belum berangkat. Mereka masih menunggu penumpang yang belum naik. Aah… agak
menyebalkan, mengapa giliran kami tadi tidak boleh masuk, tapi giliran
penumpang yang telat ini ditungguin. Entahlah, mungkin mereka membeli kursi
prioritas. Di benak saya, hal itu sudah tak penting. Yang penting, saya bisa
pulang lagi ke Indonesia. Seriously, saya takut dijadiin TKW di Malaysia… haha.
Belum pernah saya secinta itu sama Indonesia. Betapa saya kangen sama tanah air
saya!
***
Yaah… bepergian sejauh apa pun, pada akhirnya akan
membelajarkan kita arti “pulang”. Sebab perjalanan seharusnya memberikan kita
warna dan perspektif baru mengenai tempat tinggal kita selama ini. Dan semestinyalah,
kita semakin cinta pada tanah yang kita jejak, air yang kita minum, dan udara
yang kita hirup. Damn, I Love You
Indonesia!
Meta morfillah