Ndut. Baik. Tabah.
Itu tiga kata yang terlintas saat menyebut namanya. Saya baru dekat
dengannya saat skripsi, itu pun mungkin tidak terlalu dekat sekali. Hanya
sebatas sering bareng saat mengerjakan skripsi dan gila-gilaan dengan berfoto
ria di perpustakaan jurusan. Saya mengenal dia lebih dekat setelah kami satu
kantor. Di kantor, dia adalah salah satu teman dekat saya. Mungkin karena kami
berasal dari jurusan yang sama di kampus. Teman senasib sepenanggungan
sependeritaan.
Semakin saya mengenalnya, semakin saya temukan banyak nilai kebaikan
pada dirinya. Meski dia suka ngeledek, becanda dengan ceplas ceplos, dan kadang
agak emosional, tapi saya merasakan itu
semua tulus. Apa yang dia pikirkan, ya dia utarakan. Tapi, setelahnya dia tak
menyimpan dendam. Dan seringkali yang dia katakan benar, meski pengemasannya
agak ketus, hahaha. Tanpa sadar, dia selalu menyediakan waktunya bila saya
membutuhkan. Mau mengantar ke mana-mana dengan si kumbangnya. Meski kurang enak
badan, banyak kerjaan, tetap saja dia tipe yang royal dan loyal pada
sahabatnya.
Hebatnya, dia mampu mewujudkan salah satu mimpi saya. Jalan-jalan
keluar negeri. Dari mulai bikin passport, sampai akhirnya saya menjejak di
negeri tetangga (Singapura dan Malaysia), semua berkat dia. Saya yang pengecut,
kecerdasan spasial rendah (suka nyasar, lupa jalan, nama, muka, alamat, dll),
serta agak perhitungan untuk fun, akhirnya
berani. Semua itu berkat dukungan dia, baik dari moriil, waktu, tenaga, hingga
finansial. Chatelia dan Reza. Berkali-kali, saat kami bersama, mereka berdua
seringkali mengeluarkan uang untuk mentraktir. Hingga kadang saya tak enak
sendiri. Saya tak suka dibayari terus, tapi mau bayarin mereka, setiap ga pas
waktunya. Selalu saja pas saya sedang bokek… menyebalkan!
Lalu, setelah bulan Mei, sekembalinya dari Malaysia, dia sakit. Sakit yang
lumayan parah, dan ternyata banyak sekali penyakit yang ia derita. Saya bilang
ia seperti menabung penyakit. Namun, dia tetap saja bersikap biasa. Saya tahu,
bahwa sebenarnya ia rapuh, namun ia tak mau menunjukkannya. Benar-benar tipikal
wanita kuat.
Hampir setengah tahun ia rehat dari kantor, karena penyakitnya membuat
ia kembali belajar seperti bayi. Saya mulai merasakan kehilangan dia. Teman makan,
teman ngobrol, dan teman jalan saya. Terutama setiap saya pulang malam. Dahulu,
ada dia yang minimal bersedia mengantarkan saya sampai terminal Blok M. Sejak
dia sakit, saya sering berjalan sendirian. Kalau terpaksa pulang agak malam,
saya sering bingung mau mengajak makan siapa, minta tolong antar sama siapa. Ya,
kadang setelah kehilangan kita baru menyadari betapa banyak perhatian seseorang
dan berharga kehadirannya. Saya kangeeeeeen sekali dengan dia. Sempat saya
menangis sedih, saat ia berada dalam kondisi terburuknya. Saat itu ia mulai tak
mengenali orang yang menjenguknya, sering menceracau tanpa disadari. Saya menangis
begitu sedih. Saya sendiri heran. Belum pernah saya meneteskan air mata sebegitu
sedihnya untuk seorang teman. Saat itulah saya menyadari, bahwa dia sudah
menjadi teman spesial. Meski kami semakin jarang bertemu, ngobrol dan bahkan
saya lebih banyak diam pasif saat bertemu dengannya, saya semakin sayang dia. Sakitnya
dia, terasa sakit juga ke diri saya.
Allah begitu sayang padanya. Saat dia sudah mulai membaik, Allah
menguji lagi dirinya dengan mengambil orang yang disayanginya. Ayahnya meninggal.
Saya tahu bagaimana rasanya sakit ditinggalkan yang tidak akan pernah bisa
kembali bertemu lagi. Saya mengalaminya. Tapi, begitulah saya… tak pernah bisa
menghibur dengan baik. Saya hanya bisa menitipkan doa diam-diam dan hadir saat
ia butuh. Hanya itu. saya tak pandai mengucapkan sesuatu yang mampu membesarkan
semangatnya. Saya hanya bisa meminta Allah untuk menguatkan dan membesarkan
hatinya.
Aahh… begitu banyak emosi yang tercurah saat saya menuliskan tentang
ini semua. Sekarang, dia sedang menantikan waktu dioperasi. Saya membayangkan
bagaimana bila saya jadi dirinya. Apa yang sedang ia pikirkan, bayangkan, atau
rasakan? Saya yakin, ada rasa takut. Tapi saya lebih yakin, ia tidak akan
membaginya kepada siapa pun. Ia terlalu tangguh. Ia tak pernah mau menyusahkan
orang lain dengan masalahnya. Aaah… chatel… semoga Allah memberikanmu kesembuhan
dan tiada lagi penyakit setelahnya. Saya dan sahabat-sahabatmu yang lain
menantikan kembalinya dirimu.
Terima kasih banyak, sudah menasehati dengan perbuatanmu, tanpa perlu
kauucapkan.
Maafkan, bila saya belum bisa menjadi sahabat yang baik.
Love you,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment