Banyak yang bertanya, mengapa saya resign?
Banyak pula yang menilai bahwa keputusan saya
(resign) adalah keputusan emosional, tak masuk akal, sebab saya memang belum
memiliki pekerjaan pengganti.
Semua berpikir bahwa saya hanya ikut resign karena
supervisor saya juga resign.
Saya tak peduli dengan semua anggapan itu. Terserah
lah orang lain mau bilang apa. Tapi saya tahu keputusan terbaik untuk hati dan
kehidupan saya. Mereka tak perlu tahu seberapa dalam luka yang saya dapat.
Saya menuliskan tulisan ini, semata karena saya
ingin melepaskan segala beban di kepala saya yang membelukar tentang pekerjaan
saat ini. Serta beragam pembelajaran yang saya dapatkan setelah beberapa waktu
saya renungkan. Pelajaran berharga dari semua hal yang saya lalui adalah,
MEMILIH PEKERJAAN SAMA DENGAN MEMILIH JODOH. JIKA
SALAH, KAMU TAK AKAN BAHAGIA BERLARUT-LARUT. JIKA BENAR, BUATLAH KOMITMEN DAN
PERTAHANKAN MESKI KAMU HARUS BERDARAH-DARAH.
Ya, saya sudah lelah dengan mencari-cari pekerjaan,
meninggalkan rekan kerja, apalagi ditinggalkan. Divisi saya adalah divisi yang
paling tinggi turn overnya. Dalam dua tahun, saya mengalami lima kali
kehilangan rekan satu divisi. Apakah mudah? Tentu tidak. Semua berpengaruh baik
secara profesional mau pun personal. Untuk load pekerjaan, saya masih bisa
handle. Tapi dampak psikis, emosional saya, tidak. Saya belum setangguh itu.
Setiap kehilangan membuat saya semakin takut untuk membuka diri dan kata-kata
saya semakin tajam. Dan menyedihkannya, di saat saya mencoba mempertahankan dan
menguatkan diri saya, leader saya yang sudah saya anggap bapak saya di kantor
menyangsikan. Beliau menggeneralisir bahwa untuk generasi Y (gen Y), seperti
saya memang tidak akan bertahan lama. Beliau justru meramal bahwa saya juga tak
lama lagi akan resign. Dia memperkirakan bahwa usia saya di kantor itu tak akan
lebih dari tiga tahun seperti rekan-rekan saya sebelumnya. Mendengar penilaian
dan kejujuran hatinya seperti ini, ternyata jauh lebih sakit dibandingkan luka
yang saya terima karena tidak jadi menikah. Pelajaran berharga lainnya yang saya
dapatkan adalah,
HATI-HATI MENILAI ORANG, JANGAN TERLALU
MENGGENERALISIR. PENGAKUAN BAHWA KAMU DIRAGUKAN ATAU TAK MEYAKINKAN DAPAT
MELEMAHKANMU SELEMAH-LEMAHNYA.
Analoginya, pekerjaan itu benar-benar seperti
jodoh. Saya jatuh hati dengan kantor saya saat ini, meski awalnya tidak. Tapi setelah
beberapa waktu, saya mencoba mencintai pekerjaannya (meski menurut leader saya,
ini bukan passion saya. Tapi ketahuilah, passion saya pribadi adalah berbagi. Bukan
ambisi mengejar jenjang karir atau pun gaji) dan orang-orang di dalamnya. Lalu,
saya bertanya kemungkinan saya untuk ‘menikah’ dengan kantor saya. Saya ingin
menghabiskan waktu saya hingga menua atau hingga tak lagi diizinkan oleh wali
saya untuk bekerja, di kantor ini. Namun, kantor saya meragukan saya. Dia tak
yakin pada saya. Saat saya meminta komitmen, dia malah berkata bahwa saya tak
akan lama lagi juga akan meninggalkannya. Sebagai orang dengan logika normal,
saya tak menggunakan perasaan saya saat mendengar pengakuannya. Saya hanya
berpikir bahwa saya harus pergi meninggalkan dia secepatnya. Toh, bagi dia sama
saja, kapan pun saya pergi, hasilnya ya tetap saya akan pergi. Untuk apa saya
bertahan dan menunda-nunda? Meski hati saya sakit, kecewa, sedih, dan berat untuk
meninggalkannya karena saya masih sayang, tetaplah tercetus sebuah surat
pengunduran diri.
Bagi yang tak paham, memang terkesan emosional
sekali. Saya seperti tak memikirkan cash flow hidup saya, cicilan motor,
listrik, air, pulsa, dan lain sebagainya. Otomatis saya jadi pengangguran. Sebab,
saya memang belum mencari pekerjaan pengganti. Tapi bagi saya tidak. Saya sudah
mengadukan kekecewaan hati saya pada Tuhan yang menciptakan saya. Saya mengadu
tentang kemiskinan saya dalam segi materi duniawi pada Tuhan saya yang maha
kaya. Saya hanya berpikir satu hal. Bahwa saya harus terus bergerak demi memberi
makan tiga mulut esok hari. Dan dalam kebodohan saya di mata manusia lainnya,
saya hanya percaya bahwa saya akan memberikan seluruh hal yang bisa saya
berikan untuk kontribusi bagi kebaikan, lalu saya akan menerima hasilnya dengan
baik pula. Mungkin secara finansial, saya jatuh. Tapi saya masih sehat, punya
waktu, tenaga, gagasan, dan kemauan. Saya hanya percaya jika ingin mendapat
banyak, saya harus memberi banyak. Hukum give
and take. Semua dimulai dari memberi dahulu, baru mendapat. Bukan seperti
selama ini, take and give. Saya sedang
belajar mengeja keikhlasan, keyakinan, kreativitas dan kedermawanan tanpa
pamrih. Mengingat kembali masa-masa saya pernah susah, setelah cukup merasakan
agak enak. Yaa… hidup bagaikan roda, berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.
Hidup tak pernah menjanjikan kemudahan, tapi dia selalu menjanjikan kekayaan
hati dari berbagai pembelajaran yang dapat dipetik, bila kita mau berpikir. Dan
saya bersyukur untuk itu. Atas kekayaan hati dan rasa yang diberikan oleh
kehidupan.
No comments:
Post a Comment