“Hanya karena kamu
pernah dikecewakan seseorang yang kamu sayangi, bukan berarti kamu bisa
mengecewakan orang lain yang menyayangimu.”
Gambar dari sini |
Sudah seberapa sering
kamu dikecewakan? Walau sudah sering dikatakan kepadamu, bahwa jangan pernah
terlalu berharap atau percaya pada manusia, sebab kamu pasti akan kecewa. Cara
terbaik untuk tidak kecewa adalah hanya berharap pada Tuhan, atau jangan pernah
memiliki harapan berlebihan pada seseorang.
Kalau dipikir-pikir lagi, selama ini sudah seberapa sering
kita dikecewakan orang yang sangat kita sayangi dan percayai? Mungkin begitu
sering. Meskipun kadang-kadang kita tidak bisa menjelaskan bagaimana kita
perlahan belajar memaafkan dan melupakannya, lalu melewati rasa kekecewaan yang
membuat dunia kita kelam, hati terasa dicerabut kasar—begitu sakit—namun hingga
hari ini kita tetap hidup dan berjalan sebagaimana biasanya. Bagaimana kita
bisa pulih, setelah berkali-kali dilukai? Apakah untuk soal perasaan, kita juga
memiliki benang-benang fibrinogen yang otomatis terproduksi saat terdeteksi
tubuh kita mendapat cedera/luka? Apakah otomatis, Tuhan membuatkan
benang-benang fibrinogen untuk menambal luka hati akibat rasa kecewa? Melalui
waktukah, obat segala penyakit? Maha baiknya Tuhan, memberikan kita jeda waktu,
sebagai penyembuh luka.
Forget to forgive… or … forgive to forget??
Berapa perbandingan antara orang yang mudah melupakan rasa
kecewanya untuk memaafkan dengan orang yang memaafkan untuk melupakan? Mana yang
lebih mudah, mencoba melupakan terlebih dahulu rasa kecewa tersebut, atau
mencoba memaafkan dahulu, sembari perlahan melupakan rasa sakit itu? Setiap
orang memiliki caranya masing-masing. Pastinya, setiap permasalahan memiliki
penyelesaian. Tergantung pribadi, akankah kita terus berfokus pada kekecewaan? Hanya saja, apakah dengan terus mengingat
kesakitan itu, kamu akan merasa nikmat? Damai? Apakah dengan mempertahankan
perihnya rasa kecewa, otomatis memberikan kita hak untuk mengecewakan orang
lain yang menyayangi kita? Hanya karena kita merasa paling terzalimi, lantas
membenarkan kita untuk mengabaikan perasaan orang lain. Tanpa sadar, kita
berubah dari korban “yang dikecewakan”, menjadi pelaku “yang mengecewakan”.
Mungkin, pelan-pelan kita harus menyadari kenyataan bahwa
suka atau tidak suka kita semua pasti
mengalami kecewa, dikecewakan dan mengecewakan. Itu sebuah siklus, dan
masing-masing kita memiliki jatahnya. Toh, pada akhirnya… kita sudah lupa
hampir sebagian besar peristiwa yang telah kita lewati hari ini. Mungkin rumus yang sama juga berlaku untuk rasa kecewa kita.
Meta morfillah
jika kita yg dikecewakan maka maafkan, jika kita yang mengecewakan maka meminta maaf lah. Sibukkan diri, jangan ingat2 masa itu, nanti juga lupa sendiri
ReplyDeletesalam