Ada beberapa pria yang lebih terbuka kepada sahabat wanitanya
dibandingkan kekasihnya.
Salah satunya seperti sahabat saya, Jo. Sungguh lucu, ketika
saya yang berbeda kantor dan hanya bertemu beberapa kali dalam sebulan, jauh
lebih tahu tentang aktivitas dan hari-hari yang ia hadapi, dibandingkan
kekasihnya. Contohnya, seperti dua minggu lalu, Jo mengajak saya nonton film,
lalu di tengah serunya film, ia bercerita bahwa minggu depan ia akan mendaki
Gunung Rinjani. Saya hanya mengangguk-angguk, setengah mendengarkan, karena
lebih fokus pada film di hadapan saya.
Seminggu kemudian, Jihan—kekasih Jo—menelepon saya.
“Tha, kamu tahu enggak Jo ke mana?”
“Loh, bukannya dia ke Rinjani?”
“What! Aduuh.. itu orang ya, kenapa enggak bilang-bilang
sih. Pantesan dari kemarin HPnya susah banget dihubungi. Kebiasaan deh, enggak
pernah cerita.”
“….”
“Tha tahu dari mana dia naik ke Rinjani?”
“Dia sendiri yang ngomong pas nonton minggu lalu…”
“Hah? Minggu lalu dia nonton sama tha?”
“Iya. Kenapa?”
“Padahal minggu lalu aku juga ngajakin dia nonton, tapi dia
bilang lagi malas ke bioskop. Iihh… Jo kenapa, sih? Nyebelin deh!”
Aku hanya diam. Tak lama Jihan memutuskan sambungan
teleponnya. Huff… kejadian ini bukanlah sekali dua saja terjadi. Sejak kekasih
pertamanya hingga kekasih kesekiannya saat ini, Jo masih saja berperilaku
seperti itu. Dan sialnya, aku selalu saja kena getahnya! Jadi bagian pendengar
curhatan kekasih-kekasihnya dan segala macam uneg-uneg mereka. Menyebalkan!
***
“Jo, kenapa sih lo enggak terbuka sama cewek-cewek lo?”
“Jihan ngadu lagi sama lo?”
Aku mengangguk.
“Kasihan tahu, cewek-cewek lo. Mereka pasti merasa
dinomorduakan sama lo. Gw juga jadi enggak enak. Masak gw jauh lebih tahu
kegiatan lo dibanding mereka sih…”
“Biarin aja, sih. Kan lo sahabat gw.”
“Iyaa… tapi enggak gitu juga. Memang kenapa, sih, lo enggak
seterbuka itu ke cewek-cewek lo?”
Jo diam dan membuang pandangannya ke arah jam sembilan. Tanda
bahwa dia tak mau membincangkan lagi masalah ini. Tapi aku bosan. Bosan menghadapi
keluhan-keluhan yang sama dari kekasihnya.
“Atau… karena lo enggak pernah yakin sama mereka?”
Jo menoleh ke arahku. Alisnya yang sebelah mengernyit. Menampakkan
kebingungan.
“Yaah.. lo gak pernah cerita sama mereka, karena lo berpikir
bahwa hubungan lo sama mereka enggak akan lama. Jadi, buat apa cerita? Cuma buang-buang
energi, toh!? Makanya lo lebih terbuka sama gw, karena gw sahabat lo, enggak
ada kata ‘putus’ dalam persahabatan. Gitu?”
“Gila, lo, Tha! Pemikiran lo canggih banget. Cocok lo jadi
detektif.”
Terasa sindiran dalam nada suara Jo. Dia kesal. Tapi, aku
kan lebih kesal. Biar saja, sekali-sekali aku tak memedulikan tatapan marahnya.
“Apa kalau gw jadi cewek lo, lo bakal kayak gitu juga ke gw,
Jo?”
“Case closed! Gw enggak suka berandai-andai, Tha.”
Jo beranjak pergi. Meninggalkan aku yang cemberut sebelum
akhirnya mengalah dan mengikutinya. Aku tak mengerti pemikiran lelaki. Mungkin sama
dengan lelaki yang tak pernah mengerti tentang kami, wanita.
***
Tha, ini klise sih. Tapi coba deh kapan-kapan bicara hati ke hati sama Jo. Dan yang paling penting tanya dulu hati kamu *if you know what i mean* ;)
ReplyDelete