Gambar diambil dari sini |
Kemarin saya pergi takziyah ke rumah tante di Bekasi, sebab
om saya meninggal dunia. Di sana, saya mendengarkan kronologis bagaimana om
meninggal dan detik-detik terakhir hidupnya melalui cerita yang dikisahkan oleh
tante. Satu hal yang menarik, saat om sudah tak bernyawa, tante masih agak
kesulitan menerima kenyataan bahwa om telah pergi. Butuh beberapa menit dan
beberapa orang untuk menyadarkan beliau, bahwa om sudah tiada.
“Tiga puluh enam tahun bersama. Saya masih tidak dapat
percaya, bahwa ia ninggalin saya. Bahkan saya tidak mendapat firasat apa pun
bahwa ia akan pergi jauh. Memang sebelumnya dia sempat berujar bahwa ia berharap
ia yang lebih dahulu dipanggil Tuhan daripada saya. Sebab, dia berkata tak akan
sanggup bila ditinggalkan oleh saya.”
Di sana, mama saya menguatkan tante dengan menyimak
ceritanya tanpa menyela. Mama pernah ada di posisi tante, saat bapak meninggal.
Bapak dan mama tercatat dua puluh dua tahun bersama. Bilangan tahun mereka,
meramu banyak kisah, hingga maut yang memisahkan.
Ya… angka-angka itu hanya menjelma sebaris angka bagi saya. Tapi
tidak bagi mereka—ibu dan tante saya. Saya membayangkan berapa banyak air mata,
pertengkaran, pengendalian diri, penahanan ego, senyum palsu, hingga senyum
bahagia yang harus mereka lewati demi mencapai bilangan tersebut. Penyatuan kultur
yang berbeda, sifat dan karakter yang bagai hitam dan putih—tak sewarna—serta perbedaan-perbedaan
lainnya yang bagai langit dan bumi. Menyimak beragam hubungan teman saya yang
pacaran bahkan menikah satu tahun saja sudah putus atau cerai, bukankah itu
sebuah prestasi?
Mama pernah berkata pada saya, “Menjadi seorang perempuan,
haruslah memiliki sabar dengan tingkat kesabaran di atas sabar. Ego dengan
tingkat terendah di bawah ego. Latihlah sekarang, agar kelak kamu menjadi istri
dan ibu yang tangguh.”
Kembali ke bilangan-bilangan itu—yang begitu menyita
perhatian saya. Saya bertanya pada mama, pernahkah terpikir akan sampai
bilangan keberapakah hubungan ini?
Jawabannya, tidak. Bahkan kalau pun terpikir, selalu
terpikir bahwa akan selamanya—selama nafas masih berhembus.
Lalu saya asyik bermain dalam benak saya, tak jenuhkah? Melihat
dia lagi, dia lagi, yang berada di sampingmu saat kamu akan menutup mata
(tidur) dan membuka mata kembali (bangun tidur). Namun, tak saya tanyakan. Nanti
saja, saya simpan dahulu pertanyaan itu.
Juga mengenai pembicaraan “Siapa yang akan dipanggil Tuhan
lebih dahulu?”
Mengapa dari kisah-kisah yang saya baca dan saya amati,
kebanyakan suami yang meminta dipanggil Tuhan terlebih dahulu dibandingkan
istrinya? Tak kasihankah pada sang istri? Hal ini ingin sekali saya tanyakan
pada para lelaki, terutama lelaki yang kelak bersama saya. Apa pertimbangan
mereka?
Ah.. berangkat dari bilangan tahun yang terlewati bersama
seseorang dalam hidup, membuat saya banyak bertanya-tanya, dan sampai pada
ujung pertanyaan, “Kira-kira, pada bilangan tahun berapa kita ditakdirkan
bersama oleh Tuhan?”
Dan saya memejamkan mata.
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment