Malam ini, udaku yang luar biasa sakit. Bila dia sakit, sekeluarga terutama mama langsung bingung dan pusing. Pasalnya, ia tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya. Dibawa ke dokter pun, dokter bingung mau kasih tindakan apa. Seperti saat dia sakit gigi dahulu. Giginya bolong, itu pun baru kami ketahui setelah seharian melihat ia kurang nafsu makan. Menyuruhnya buka mulut itu susah sekali. Beragam cara dicoba, seperti aku yang mengambil sikat gigi dan membujuknya membuka mulut di kamar, bilang "Ayo uda, kita sikat gigi."
Memang sedikit berbohong. Dia tak mau membuka giginya juga. Mungkin karena dia pikir ini bukannya saat mandi. Pertama, dia tidak berada di kamar mandi. Kedua, dia tidak telanjang seperti saat mandi. Juga cara mama, memaksa membuka mulutnya dengan jari tangan. Tapi udaku mengatupkan rahangnya rapat. Saat dibawa ke dokter, dokter menyerah. Bagaimana mau memeriksa, bila disuruh membuka mulut saja tidak mau?
Kali ini, uda beberapa kali mengernyit. Sedikit-sedikit menggelinjang. Bulir keringat menghiasi keningnya. Mama langsung pusing dan khawatir. Aku pelan-pelan terpengaruhi khawatir mama dan memerhatikan uda yang kuhitung hampir tiap 3 menit sekali menggelinjang. Kami berdua mencoba memeriksa ala kadar. Pertama yang kami curigai adalah gigi. Mengapa? Sebab gejalanya mirip seperti orang sakit gigi yang menahan sakit. Tapi sepertinya tidak. Mengapa? Sebab saat kami sentuh kepala atasnya, tepat di bagian jambang atas telinga, ia mengernyit hebat. Kami pun berspekulasi bahwa ini adalah sakit telinga. Memang kotoran telinga udaku itu kering. Saat kuusulkan untuk mengorek telinganya pakai alat korek besi, mama menolak. Beliau bilang, harus ke dokter THT. Kami saling menatap masygul. Masing-masing memiliki pikiran yang sama. Apakah kali ini dokternya bisa menghadapi uda? Tapi kali ini kami harus ke dokter. Sebab itu di luar kuasa kami.
Setelah mencari tahu jadwal praktik dokter THT di RS bilangan jakarta pusat langganan kami, ditemukan bahwa dokter THT hanya berpraktik di hari senin hingga kamis pukul 19
00-20.00 WIB. Aku menyarankan mama untuk cari yang di bogor agar lebih dekat, atau dokter praktik mandiri. Tapi mama menolak. Beliau yang berpengalaman di dunia kesehatan, tak mau asal pada anaknya. Jadilah kami akan ke Jakarta hari senin nanti.
Udaku begitu gelisah, meski diberi obat penenang sama mama. Sulit tidur. Lalu, mama pun pindah ke ranjangnya. Menemani sambil menggenggam tangannya. Sesekali mengelap bulir keringat yang timbul di kening karena uda menahan sakitnya. Saat uda terlihat tak tenang, mama berulang kali berkata, "Tenang... sabar ya, Nak. Mama ada di sini."
Setiap mama berkata seperti itu, uda kembali tenang dan tersenyum sambil meringis menahan sakitnya.
Udaku yang tabah, karena dia begitu luar biasa hingga tak mampu mengucapkan apa yang dirasakannya. Ia begitu kuat. Menahan sakit hingga begitu lama, tanpa pernah mengeluh. Paling, ia ganya berbaring saja dan menjadi lebih pendiam saat sakit. Tidak meminta macam-macam.
Mamaku yang selalu ada. Yaa... setiap ada yang sakit, mama siaga dan selalu berkata, "Tenang, mama di sini."
Biasanya juga akan berkata, "Apa yang kamu rasa? Kalau kamu sakit, mama bingung. Cepat sembuh dong, Sayang..."
Lalu yang sakit, tanpa diminta, akan dibelikan beragam makanan yang bisa mempercepat kesembuhannya, meningkatkan nafsu makannya, bahkan kalau meminta sesuatu akan diusahakan pengabulannya. Meski saat itu mama tidak punya uang, ia akan berusaha meminjam demi kesembuhan anaknya.
Aku berpikir...
Mama selalu ada di sini. Di hati dan di samping kami, baik saat senang dan terutama sedih atau sakit. Semoga, aku bisa menjadi sepertinya. Saat ia sakit, aku ingin menenangkannya, meyakinkannya dengan berkata, "Tenang, Ma. Aku ada di sini..."
Semoga... ya Tuhan. Semoga.
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment