Kadang ku takut dan
gugup
Dan ku merasa oh-oh
tak sanggup
Melihat tantangan di
sekitarku
Aku merasa tak mampu
Tujuh orang di hadapanku tengah membaca persiapan materi
microteaching mereka. Bahkan beberapa nampak melakukan persiapan maksimal. Membawa
kertas karton, spidol, contoh dedaunan dalam bentuk cetakan foto dan aslinya. Hanya
aku yang terlihat begitu santai dengan tes ini. Yaa… kami adalah calon pelamar
posisi guru di sebuah SD Islam terpadu dengan konsep alam. Aku malah asyik
mengamati luasnya tanah sekolah itu. Ada kebun pepaya, singkong, arena
outbound, bahkan sebuah bangunan untuk SMP yang sedang dibangun. Kelas-kelasnya
pun unik. Tidak bertembok, melainkan berbentuk rumah panggung dari bambu—mengingatkanku
pada rumah makan sunda. Sejujurnya, dalam hatiku sangatlah takut dan gugup. Aku
sempat bercakap-cakap dengan beberapa pelamar dan mengetahui background mereka
yang sangat mendukung. Ada yang baru lulus kuliah jurusan PGSD, bekerja sebagai
guru bahasa inggris di sekolah lain, mengajar bimbel, dan semuanya masih aktif.
Lagi-lagi, hanya aku yang sedang tidak bekerja, sudah lama juga tidak mengajar.
Terakhir adalah tahun 2012. Itu pun aku biasa menangani anak SMP, bukan SD. Rasa
tak percaya diriku sebenarnya menguat, namun sedang kualihkan dengan mencoba
menikmati pemandangan yang indah.
Namun ku tak mau
menyerah
Aku tak ingin berputus
asa
Dengan gagah berani
aku melangkah
Dan berkata aku bisa…
Perlahan aku menenangkan diri dengan kalimat positif yang
memotivasiku. Mengingat mati, mengingat tujuanku mengajar kembali, meluruskan
niat, dan menihilkan ekspektasiku. Sebab seringkali ekspektasi akan melahirkan
kekecewaan yang dalam. Persis seperti mencoba mencintai tapi sadar akan risiko
melepaskan. Aku pun mulai tenang.
Rangkaian tes dimulai. Diawali dengan presentasi selama 15 menit
dengan mengenalkan diri serta interview langsung oleh ketua yayasan yang siap
dengan beragam pertanyaan. Sebab aku tak punya ekspektasi dan berharap cepat
keluar dari atmosfer para pelamar yang semakin sering berkomat-kamit
menghafalkan materi microteaching mereka, aku pun mengajukan diri untuk
presentasi dan interview pertama. Disaksikan oleh sepuluh orang, aku merasa
begitu lancar bahkan termasuk setoran hafalan surat pendek—aku membacakan
surat At tin—dan membaca Al Quran. Aku menganggapnya seperti biasa saat aku presentasi ke klien dan mengaji. Perpaduan keseharianku dahulu. Setelahnya tes
microteaching, lagi-lagi aku maju pertama—kali ini karena semua sepakat jika
yang pertama bagus, biasanya ke belakangnya bagus, dan mereka memilihku karena aku dinilai berani—sebagai contoh. Aku membawakan matematika materi
pecahan sederhana kelas 3 SD semester dua. Waktu yang diberikan hanya 15 menit. Aku tidak memiliki ide kreatif seperti menyiapkan slide atau peraga, dan
lainnya. Aku mengajar biasa, menggunakan whiteboard, menggambar dan bercerita, disertai
simulasi menyuruh peserta lain maju mengerjakan soal. Aku hanya memakai waktu
5 menit. Aku sudah tak bersemangat karena perutku keroncongan dan perkiraanku bahwa tes akan selesai dalam tiga jam, ternyata meleset hingga enam jam membuatku ingin cepat pulang.
Aku bisa… aku pasti
bisa…
Ku harus terus
berusaha
Bila ku gagal itu tak
mengapa
Setidaknya ku tlah
mencoba
Setelahnya aku menikmati berpura-pura sebagai peserta didik,
dan menyaksikan teman-teman pelamar lainnya beraksi. Meski persiapan mereka
begitu hebat, banyak juga yang tiba-tiba lupa pada materi. Wajar… grogi. Hal ini
pun menerbitkan senyumku, bahwa bila aku gagal setidaknya aku telah
mencoba. Aku telah merasakan kembali bagaimana adrenalinku terpacu dalam
sebuah persaingan sehat.
Aku bisa… aku pasti
bisa…
Ku tak mau berputus
asa
Coba terus coba
sampai ku bisa
AKU PASTI BISA!
Tes terakhir adalah mengerjakan 5 soal uraian dalam waktu 5
menit. Aku mengerjakannya dengan mudah, terutama soal hitungan. Hanya 1 soal
yang agak kuragukan, tapi aku sudah tak peduli lagi. Aku hanya ingin
melewati semua rangkaian tes sebaik mungkin tanpa mencemaskan hasilnya. Aku hanya
tidak ingin berputus asa, mencoba menjemput takdir terbaik. Just do the best, and let Allah the rest.
Itu semua terjadi di tanggal 10 November 2015. Pihak sekolah
memberitahu bahwa dalam waktu dua minggu hasilnya baru akan diumumkan. Pelamar
yang lolos tes akan dihubungi via telepon. Dan hari ini, tepat eminggu setelahnya, aku ditelepon. Esok, aku diminta untuk tandatangan kontrak dan langsung mengajar—belum diputuskan
akan mengajar di kelas kecil atau besar, dan mata pelajaran apa. Alhamdulillah…
kali ini, Allah ingin aku kembali pada dunia yang selama ini kuhindari. Ya,
dunia pendidikan formal. Dunia yang menyebabkanku dilema, sebab aku mencintai dunia ini tapi juga membencinya, bila menjadikan belajar adalah beban
untuk anak-anak. Tapi kini, aku telah memiliki perspektif baru, dan berusaha
agar cita-citaku menjadikan belajar itu menyenangkan terwujud. Sebab ilmu adalah
keutamaan untuk meraih ridaNya. Semoga Allah meridai keputusan ini, dan
menjadikanku rida terhadap keputusannya.
*cerita lirik Aku Bisa - AFI Junior. Lagu penyemangatku!
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment