Jangan biarkan sepi
merasuk, sebab akan datang kawannya yang lain: kantuk & suntuk!
Lantai satu terlihat begitu lengang seperti biasa. Menjadi orang
pertama yang menyapa meja-meja tak berpenghuni, menyentuh saklar lampu, kipas
angin, dan AC adalah keterbiasaanku. Kalau boleh jujur, aku membenci sepi yang
seperti ini. Sepi di tempat yang seharusnya ramai. Tapi sudahlah, tak usah kita
bahas mengapa kantor ini selalu sepi meski jam menunjukkan pukul 08.30. Khususnya
di lantai satu ini. Dengan sepi itu, aku bermain tiap harinya, tapi tak mau
begitu akrab. Menyetel musik dengan volume yang cukup kencang adalah upayaku
mengusir sepi. Sebab, bila dibiarkan sepi meraja, tak lama kantuk dan suntuk
pun datang menyambangi. Sayang, aku tak digaji untuk mengantuk atau mudah
suntuk.
Saat sepi seperti ini, benakku malah merimbun. Banyak kata
yang berseliweran minta dituangkan. Banyak kata yang berusaha muncul
berkali-kali, menggoda, menarik perhatianku untuk melakukan sesuatu. Salah satunya,
adalah kata BAHAGIA.
Ya, kata BAHAGIA beberapa waktu terakhir berulang kali
timbul tenggelam dalam kepalaku yang seperti hutan kata-kata. Membenak,
membelukar. Jadi, bagaimana bila kita bahas tentang bahagia?
BAHAGIA.
Bukankah kata itu begitu magis?
Membuat banyak orang memburunya. Begitu merinduinya. Seperti
pesakitan merindu obat. Semua orang begitu mengharapkannya. Tapi, kebahagiaan
begitu tega. Semakin dipikirkan, semakin ia melipir. Semakin dicari, semakin ia
lari. Semakin diburu, semakin ia tak tentu. Semakin ditangkap, semakin ia
melesat. Semakin dihadang, semakin ia hilang. (Paragraf ini dimodifikasi dari
prolog buku “lapis-lapis keberkahan” ustad Salim A. Fillah)
Dalam mata kita, kebahagiaan selalu tampak seperti pelangi. Hanya
terlihat di atas kepala orang lain. Tak pernah di kepala kita. Kehidupan orang
lain selalu terlihat lebih cerah, terdengar lebih ceria, dan lebih bercahaya. Penderitaan
kita terasa berlipat-lipat, bila dibandingkan dengan orang lain.
Pertanyaannya adalah,
apakah mungkin selama kita hidup dan bernafas di muka bumi, kita bisa mencapai suatu
kebahagiaan yang total, sempurna, dan final tanpa ada kesulitan lain?
Seberapa pun sukses hidup kita menurut pandangan dunia saat
ini, sukses dari segi finansial, pengakuan diri, nama baik, keluarga yang
sempurna, tetap kita tidak dapat mencapai suatu situasi bahagia yang final.
Kita mungkin merasa bahagia jam ini, namun jam berikutnya kita sudah menemukan
kesulitan yang dapat membuat rasa bahagia kita terusik. Manusiawi…
Betapa sayangnya jika hidup kita setiap hari, detik demi
detik dihabiskan untuk berusaha mencapai bahagia sejati.
Namun jika hidup kita bukan untuk mencapai bahagia, untuk
apakah hidup kita?
Mungkin ini tentang kesadaran kita. Kesadaran bahwa bahagia
bukanlah tujuan. Sebab, bila bahagia dijadikan tujuan utama dalam hidup, kita
akan luput untuk menikmati proses meraih kebahagiaan itu. bila bahagia
dijadikan cita-cita, kita akan kehilangan gelora. Sebab, bila bahagia sudah
tercapai, apa lagi yang akan kita upayakan? Kehilangan visi, rasa dan makna
akan kehidupan itu sendiri. Sebab, bila bahagia dijadikan tema utama kehidupan,
kita akan kehilangan ia setelah kematian.
Bagaimana? Apakah kamu setuju dengan apa yang aku tuliskan
di atas? Atau kamu memiliki pendapat lain?
meta morfillah
No comments:
Post a Comment