Sampai kapan aku akan menunggu?
Mungkin pertanyaan itu kerap kali kita lontarkan dalam hati. Untuk
segala hal, kepastian dari seseorang, penyelesaian akan suatu hal, atau
akhir dari segalanya.
Apakah mudah menunggu itu? Menyenangkankah? Atau malah menyebalkan?
Semua tergantung pada apa, siapa dan seberapa siap kita dalam
menunggu. Bila yang ditunggu adalah kepastian dari seseorang yang kita
cintai, bisa jadi hal itu menyebalkan. Sebab, hanya dia yang tahu berapa
lama lagi kamu harus menunggu. Kamu menjadi si pasif, yang pasrah
diombang-ambing nasib yang ia kendalikan. Bila yang ditunggu adalah
akhir dari segalanya, seperti kematian, bisa jadi itu menyenangkan. Kamu
akan menunggu penyelesaian hidupmu dengan penuh kesadaran, dan akan
selalu mengupayakan yang terbaik dari dirimu agar penyelesaian atas
hidupmu berakhir indah.
Sebab hidup adalah perihal menunggu. Menunggu kapan waktu kita tidak
menunggu lagi. Sadarkah kamu akan hidup kita yang pada dasarnya selalu
menunggu?
Begitu pun kehilangan. Kita menunggu, kapan kita akan kehilangan
sesuatu. Kehilangan orang-orang yang kita cintai, kehilangan sebuah
benda yang kita sayangi, dan kehilangan lainnya. Semua hanya permainan
waktu. Lagi-lagi kita hanya menunggu. Sebab, kehilangan adalah niscaya.
Hanya satu kehilangan yang amat sangat ingin kita hindari. Kehilangan
iman. Mampukah kamu bayangkan, bila esok hari saat kamu terbangun,
tiba-tiba kamu sudah tak beriman?
Mana lebih menyakitkan? Kehilangan prinsip hidupmu (iman), ataukah kehilangan pasangan hidup?
Ah, sebenarnya apa yang sedang kubicarakan? Menunggu dan
kehilangan... Ini hanyalah tulisan pengalih perhatianku, saat menunggu
kapan tiba di rumah, melihat kemacetan Jakarta yang semakin parah. Dan
tentang kehilangan waktu bersama keluarga, yang diambil paksa melalui
kemacetan ini. Aaah...
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment