"Bagaimana caramu mempertahankan prinsip untuk tidak berpacaran? Setelah
kamu pernah merasakan pacaran yang indah, yang lalu kamu putuskan
dengan sebaik-baiknya hanya karena takut dosa?"
"Sebab aku telah mengalaminya. Aku tahu nikmat semu dari pacaran.
Semakin ke sini, aku semakin yakin atas pengamatanku terhadap hubungan
pacaran," katanya sembari menatap tajam tepat di kedua bola mataku,
"Selama pacaran, mereka berpikir sedang berusaha saling memahami..."
"Tapi bukan itu yang terjadi!" tegasnya. "Kenyataannya ialah mereka
berusaha untuk tampil lebih baik dari yang sebenarnya. Sehingga setiap
kali berbicara, sebenarnya mereka sedang menyembunyikan diri
masing-masing. Mereka sedang membuat iklan untuk menggoda pembeli.
Karena takut bila pelanggan tidak puas, akhirnya ia akan ditinggalkan.
Bukankah hal itu amat sangat munafik?"
"Tapi tidak semua orang berpacaran seperti itu. Ada yang apa adanya."
"Mari kita jujur. Apa iya 100% yang kita tampilkan padanya tentang
diri kita itu benar? Tidak kan. Jujur saja, kayaknya kita beda deh waktu
di dekat dia dengan saat kita sendiri di rumah. Ini berbahaya untuk
perkembangan kepribadian kita. Kita berlatih jadi orang yang hipokrit,
bahkan bermuka banyak. Ya, enggak?"
"Tapi, saat kita jatuh cinta, bukankah hal yang wajar? Lalu timbul
rasa ingin memiliki, itu pun hal yang wajar? Sebab cinta adalah fitrah,
kan?"
"Kamu pernah makan sayur lodeh, yang bumbunya dimakan duluan?
Pacaran itu seperti menghabiskan bumbu sayur lodeh tersebut, sebelum
sayurnya matang. Lantas ketika sayur matang, rasanya sudah tidak enak.
Hambar, tak ada bumbu. Seperti itulah pacaran, tergesa-gesa menikmati
sisi-sisi indah dalam hubungan dua insan sebelum ia dihalalkan. Tak
hanya berakibat dosa yang menjanjikan siksa akhirat. Tapi terkadang
Allah menyegerakan rasa pedih dan perih dalam jiwa saat kita masih di
dunia. Ketika pacaran, mereka sudah merasai semua bumbu yang seharusnya
digunakan untuk menyedapkan kehidupan rumah tangga. Saling mencurahkan
perasaan, berbagi, sentuhan mesra, sandaran, pergi berdua, semuanya
sudah. Sungguh, jiwa begitu mudah bosan. Kalau semuanya sudah dilakukan,
saat menikah nanti mau apa lagi? Kalau Anda menikah dan pernah pacaran,
Anda akan membandingkan pacaran dengan pernikahan. Dan pasti pacaran
lebih indah, karena pacaran memang hanya mencari rasa yang indah. Lalu,
jadilah kenangan pacaran sebagai penyesalan dalam hidup rumah tangga.
Atau, kalau Anda membandingkan pasangan Anda dengan pacar Anda, pasti
pacar Anda dahulu lebih sempurna. Ya, karena selama pacaran, hanya sifat
baiknya saja yang ditunjukkan pada Anda."
"Lantas, bila tidak pacaran, dari mana kita dapat mengenal pasangan kita?"
"Cara untuk belajar terbaik menjadi istri terbaik hanyalah melalui
suami. Cara untuk menjadi suami terbaik hanyalah melalui istri. TIDAK
BISA MELALUI PACARAN. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana menjadi pacar
terbaik, bukan suami atau istri terbaik."
"Lalu bagaimana bila kita terlanjur jatuh hati pada sebuah nama?"
"Ibnu Mas'ud sudah memberitahukan caranya dalam sebuah hadits.
Bunyinya 'Apabila kamu merasa kagum dengan seseorang, ingatlah
kejelekan-kejelekannya.' Itu adalah salah satu cara menetralisir hati
yang mulai terkontaminasi pada sebuah nama. Bukan bermaksud su'udzan
(berburuk sangka) atau pun tajassus (mencari-cari aib), melainkan lebih
kepada pengembalian objektivitas yang manusiawi. Juga untuk memutus
salah satu rantai tazyin (menghias-hias) yang dilakukan syaithan: yang
buruk tampak baik, yang busuk tercium wangi, yang nista terdengar mulia.
Bukan orangnya yang kemudian harus kita sikapi sebagai 'orang yang
banyak kekurangan'. Tetapi lebih agar interaksi yang kita lakukan
benar-benat proporsional. Tidakkah terpikir bahwa yang harus dicintai
karena Allah banyak jumlahnya? Tak hanya dia, tapi keadilan yang
melekati cinta menuntut perhatian besar kita pada masalah-masalah besar
umat ini."
"Jadi intinya, tidak ada pacaran sebelum pernikahan?"
"Ya! Keinginan untuk berpacaran dalam diri kita adalah manifestasi
kepengecutan yang bertahta dalam sanubari. Kita pengecut, masih
takut-takut untuk menanggung beban dalam hidup berumahtangga. Dan di
baliknya, kita begitu licik untuk bersegera menikmati sisi-sisi indah
dalam hubungan dua insan. Benar-benar pengecut. Belajar dari ahli puasa.
Ada dua kebahagiaan baginya, saat berbuka dan saat Allah menyapa lembut
memberikan pahala. Maka menjaga diri dari tidak berpacaran adalah puasa
panjang syahwatmu. Kekuatan ada pada menahan. Dan rasa nikmat itu
terasa, di waktu buka yang penuh kejutan. Coba saja, kalau Allah yang
menghalalkan, setitis cicipan surga akan menjadi shadaqah berpahala.
Nikmatnya pacaran setelah pernikahan."
*Modifikasi dari buku "Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan" karya Salim A. Fillah
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment