Menjadi gurunya manusia: Mengajar seru, belajar seru!
Oleh Iska Meta Furi
“Maaf ya, Bu Meta… menurut saya pelajaran ini sangat berat bagi anak kelas 2 SD. Yang kelas 5 saja belum tentu mengerti tangga konversi seperti ini. Saya paham, Bu Meta masih guru baru, dan kalau tidak salah terbiasa mengajar SMP. Tolong jangan samakan SD dan SMP. Pertimbangkan juga kemampuan anak, jangan memaksakan materi. Saya berkata begini, karena saya juga seorang guru.”
Masih jelas di ingatan saya saat kali pertama bekerja di Sekolah Islam Ibnu Hajar. Saat itu saya mengajarkan Matematika di kelas 2 SD. Bab mengukur berat, membahas tangga konversi kilogram, ons dan gram. Mengikuti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang tersedia, saya mengajarkan hanya menambah dan mengurangi angka 0 (nol) di belakangnya. Lalu saya beri beberapa soal untuk latihan di rumah. Ternyata banyak yang kebingungan.
Waktu pulang sekolah tiba, ada seorang ibu yang masuk ke kelas saya dan bertanya siapa yang mengajarkan matematika tadi pagi. Saya pun menjawab, bahwa saya yang mengajarkan. Dengan raut muka yang serius dan agak kurang bersahabat, ibu tersebut menegur saya dengan kalimat pembuka di atas.
Bayangkan, hari pertama bekerja, saya sudah kena tegur orangtua! Beragam penolakan dalam diri saya ingin saya keluarkan. Ada banyak alasan yang bisa saya kemukakan untuk membela diri saya, misalnya saja saya belum dilatih untuk mengajar sesuai cara sekolah ini, saya hanya mengikuti RPP yang sudah disediakan oleh sekolah (yang kurang sesuai dengan gaya mengajar saya), dan banyak lagi. Tapi saya memilih diam. Tidak ada gunanya menyalahkan keadaan atau orang lain. Saya mencoba berpikir dari sudut pandang sang ibu dan memikirkan lagi kata-katanya. Ibu tersebut tidak sepenuhnya salah.
Pada akhirnya saya hanya diam dan berkata, “Baik Bu. Terima kasih untuk masukannya. Saya akan perbaiki cara mengajar saya. Semoga bisa lebih baik.”
Malamnya, saya tidak bisa tidur. Memikirkan bagaimana cara terbaik mengajarkan hal yang sulit dan abstrak seperti Matematika pada anak kelas 2 SD yang pikirannya masih sangat konkret. Saya baca-baca lagi buku terkait materi. Tidak ketemu caranya. Saya tanya-tanya ke forum, tidak ada juga yang bisa memberi ide. Bosan, saya buka media sosial. Dan saya melihat beragam lagu anak-anak yang dikreasikan dalam pembelajaran. Aha! Saya dapat ide. Saya menggubah sebuah lagu menjadi media pembelajaran saya untuk besok.
Esok paginya, saya mengajar Matematika kembali. Kali ini saya lebih bersemangat.
“Anak-anak, matematika kemarin kita belajar apaa?”
“Kilo, ons, dan gram, Buuu!”
“Betul sekali. Sudah hafal beluuum??”
“Belum, Bu.”
“Susah Ibu!”
“Aku gak ngerti, Bu.”
“Susah yaaa?? Hehe… mau Ibu buat gampang, gak?”
“MAUUU!!”
“Gimana caranya, Bu?”
“Ibu buatkan lagu, dicatat dulu di buku ya, nanti kita nyanyikan sama-sama.”
Lalu saya pun menulis di papan tulis mengenai liriknya.
Nada lagu : saya mau tamasya/becak
Dari kilo ke ons, nolnya ditambah satu
Dari ons ke gram, nolnya ditambah dua
Dari kilo ke gram, nolnya ditambah tigaaaa
Jika dibalik, nolnya dikurang aja!
Setelah itu, saya menyanyikannya dahulu, lalu saya ulangi per baris kemudian diikuti anak-anak. Saya suruh mereka mengulangi hingga 3 kali. Setelah mereka tahu nadanya, saya jelaskan sedikit dan memberikan contoh.
“Nah, sekarang coba Ibu kasih soal ya, 8000 gram =… kg. Berapa hasilnya?”
Tiba-tiba anak yang kemarin ibunya menegur saya mengangkat tangan dan menjawab dengan lantang dan benar.
“8, Bu!”
“Mengapa bisa hasilnya 8?”
“Kan kata lagunya, kalau dari kilo ke gram nolnya ditambah tiga. Tapi ini dibalik, jadi nolnya dikurang tiga. Nolnya dicoret aja. Sisanya 8 deh, Bu!”
“Wah hebat! Benar sekali. Yang lain paham maksudnya?”
“Paham, Buuu!!” serentak mereka menjawab.
Saya tersenyum puas. Sebab mereka hampir semuanya menjawab soal yang saya berikan dengan tepat, maka saya pun memberikan free time 10 menit untuk bermain.
“Karena kalian sudah hebat di Matematika, Ibu mau kasih kalian reward.”
“YEEEYYY!!! Reward apa, Bu?”
“Kita main kereta-keretaan, yuk! Keliling kelas sambil menyanyikan lagu tadi. Sekarang, baris! Ikhwan di depan, Ibu di tengah, batas ikhwan dan akhwat, akhwat mengikuti di belakang Ibu.”
Mereka pun segera berbaris dan menuruti perintah saya. Mereka senang, saya jauh lebih senang. Kelas kami pun jadi menyenangkan.
Ternyata, saat guru menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar anak, pembelajaran pun otomatis akan seru dan menyenangkan. Kebetulan, anak di kelas saya saat itu banyak yang Insting (ini saya ketahui kelak, saat belajar STIFIn) yang memang suka belajar dalam keadaan damai dan memakai musik/lagu. Saat saya mengajar berikutnya, banyak dari mereka yang meminta saya menggubah lagu kembali agar bisa dinyanyikan. Dan saya pun jadi suka searching berbagai lagu yang menunjang pembelajaran.
Maka hal pertama untuk mengajar seru sehingga menciptakan belajar seru bagi anak didik adalah dengan merencanakan metode belajar yang sesuai dengan jenjang penerimaan pembelajaran (usia dan gaya belajar anak).
--------+++++----------
Nah, lain lagi saat saya mengajar di SMP Angkatan Pertama yang didominasi belahan otak kanan: Feeling dan Intuiting (saat mengajar SMP, saya sudah sedikit paham mengenai STIFIn teaching dan STIFIn learning). Amat berbeda dengan pengalaman saya mengajar 2 tahun di komunitas homeschooling SMP. Kalau dulu, saya bisa dengan mudah mengajar dengan memberi instruksi dan menjelaskan rinci langsung ke materi, sekarang tidak seperti itu.
Membangun minat belajar anak SMP dengan dominan belahan otak kanan cukup menantang. Sebab, mereka gemar bercerita, diskusi, kritis, moody-an dan santai abis. Jika saya menerapkan langsung metode pembelajaran atau gaya mengajar saya terdahulu (yang dominan belahan otak kiri: Thinking banget!), mereka tidak akan tertarik, bosan, mengantuk, dan jangan harap akan mendapatkan hasil maksimal.
Maka menjadi sangat penting, menarik perhatian mereka di awal pembelajaran dengan setting alpha zone dan apersepsi.
Saat merancang RPP pun, saya jauh lebih fokus menciptakan kenyamanan dan minat belajar mereka. Sehingga baru kali itu, saya banyak membaca dan mencari beragam ice breaking yang bisa dikombinasikan ke dalam pelajaran. Untuk tiap tipe STIFIn, berbeda alpha zonenya.
Sensing: ice breaking
Thinking: brain games
Intuiting: games
Feeling: fun story
Insting : music
Sebab di kelas itu hanya ada 3 tipe yakni Sensing, Intuiting, dan Feeling, maka saya fokus menciptakan sebuah alpha zone yang mengandung unsur ice breaking, games, dan fun story.
Saat itu semester 2, tema Eco Culinary (kuliner sehat). Perlu diketahui, meski SMP, kami tetap menganut kurikulum tematik yang berbeda tiap semester. Goalnya pun berbeda untuk tiap semester. Semester kedua ini, anak-anak dituntut untuk bisa berbisnis kuliner sehat. Dengan tetap memperhatikan aliran ilmu dan materi pembelajaran yang bisa diintegrasikan pada tema, saya membuka semester dua dengan pelajaran IPA, bab ciri-ciri makhluk hidup.
Saya membuat games “kuliner” dengan bercerita lucu yang di dalamnya terkandung jenis dan rasa makanan (fun story). Saat mereka mendengar kata “sadas”, maka mereka harus membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang (ice breaking). Sementara saat mendengar kata “burger” mereka membentuk kelompok 3 orang, dan kata “lapis talas” membentuk kelompok 2 orang.
Lalu saat mendengar rasa “pedas”, maka mereka harus menghentakkan tangan dan kaki, sembari berteriak “HAH!!”. Saat mendengar kata “asin”, mereka harus senyum datar 5 jari, menyipitkan mata dan mengangkat bahu. Dan saat mendengar kata “manis”, mereka harus berekspresi menyilangkan kedua telunjuknya di pipi sembari senyum. Yang telat berekspresi atau membentuk kelompok dapat konsekuensi dicoreng wajahnya dengan bedak.
Saya memulai games dengan menjelaskan rinci aturan main dan kesepakatan. Setelah semua jelas, saya bercerita dengan intonasi yang dimainkan.
“Kemarin, Ibu pusing dan sedang ingin makan sesuatu yang pedas.”
Sengaja saya mengetes dengan memberi penekanan pada kata “pedas”. Mereka pun berekspresi sesuai yang saya harapkan, dan itu lucu sekali! Lalu saya melanjutkan cerita.
“Akhirnya Ibu makan sa…mbal (sengaja mengecoh, agar mereka berpikir saya akan berkata ‘sadas’, dan ternyata memang beberapa bersiap membentuk kelompok, hahaha).”
“Huuu… ibu mah! Kirain mau ngomong ‘sadas’.”
“Iya, niih. Ibu sengaja ya?”
“Hahahaha…”
“Tapi ternyata memang kurang pedas, jadi Ibu membeli sadas level 3.”
“Eh, kelompok! Kelompok!”
“4, 4… hayo buruan!”
Tersisa 3 orang yang tidak berhasil membentuk kelompok (sebab jumlah muridnya hanya 11), dan jatuhlah konsekuensi coreng bedak pada mereka, hahaha!
“Hayo, Bu… lanjut! Buruan!”
Mereka begitu semangat hingga permainan selesai. Saat saya melihat mereka tertawa puas dan siap menerima pelajaran, maka saya melanjutkan dengan melontarkan pertanyaan apersepsi.
“Menurut kalian, sadas dan burger itu termasuk kuliner jenis apa, sih? Sehat atau tidak?”
“Tidaaakk!!”
“Junk food, Bu. Gak sehat itu!”
“Ya, benar. Terus yang dibilang kuliner sehat itu yang bagaimana?”
“Yang banyak sayurnya, Bu.”
“Masaknya gak pakai mecin, Bu.”
“4 sehat 5 sempurna, Bu!”
“Bagus. Nah, kalau istilah kuliner atau eco culinary nya kalian tahu tidak maksudnya?”
“Kuliner itu makanan, Bu!”
“Maknyoss!!”
“Hahaha, betul bahwa kuliner berkaitan dengan pengolahan makanan. Dan eco culinary adalah pengolahan makanan yang sehat atau selaras dengan kehidupan. Baiklah kita lanjut tonton video berikut ini. Kalian perhatikan dan cari tahu apa maksud isi video ini, ya!”
Saya pun memutarkan video tentang bahaya junk food dan mendiskusikannya bersama-sama. Barulah saya masuk ke materi pembelajaran IPA.
“Jadi, makan itu penting tidak untuk makhluk hidup?”
“Penting, Bu! Kalau gak makan nanti lemas.”
“Bisa mati juga, Bu!”
“Mengapa penting?”
“Sebagai sumber energi, Bu.”
“Nah, makhluk hidup selain manusia ada apa lagi?”
“Hewan.”
“Tumbuhan.”
“Betul sekali! Hewan dan tumbuhan makannya bagaimana?”
“Ya, gitu, Bu!”
“Tumbuhan dari akar. Hewan ada yang macam-macam makanannya, Bu. Ada daging, rumput, dll.”
“Ya, benar. Sekarang, apa saja sih ciri-ciri makhluk hidup dan makhluk tak hidup/benda mati?”
Begitulah usaha membuat mereka mau belajar. Meski memang butuh waktu yang agak banyak untuk memulai, tapi tidak mengapa yang penting hasrat belajar mereka timbul dan mereka senang dalam melakukannya.
Sehingga cara kedua saya untuk mengajar seru sehingga menciptakan belajar seru bagi anak didik adalah dengan mengaplikasikan STIFIn dalam proses pembelajaran.
--------+++++---------
Ada juga cara seru mengajar lainnya, yakni memadukan konten materi ke dalam modifikasi permainan. Saya suka mengajak mereka mereview materi dengan bermain. Bisa dengan ular tangga, cerdas cermat, atau BINGO. Hal ini biasa saya lakukan saat materi pelajaran sudah selesai disampaikan.
Saya memodifikasi games ular tangga yang umum diketahui dengan gaya saya sendiri. Jadi saya bilang ini games “Ular tangga ala Bu Meta”.
Saya menggambar sejumlah 10 kotak mendatar dan 10 kotak menurun di papan tulis menggunakan spidol. Sehingga akan tercipta 100 kotak. Di kotak 1, saya menuliskan “START”, di kotak 100 saya menuliskan “FINISH”, di kotak-kotak lainnya ada yang saya biarkan kosong, ada yang saya gambari buah (apel, jeruk, pisang), ada yang saya beri tulisan “POIN 50” dan “POIN 100”, juga ada gambar ular dan tangga yang seimbang jumlahnya.
Cara bermainnya, saya membentuk kelompok berdasarkan STIFIN mereka, dan memberi mereka kertas origami yang sesuai warna STIFIn mereka (merah untuk Sensing, hitam untuk Thinking, biru untuk Intuiting, hijau untuk Feeling, dan kuning untuk Insting). Kertas itu saya tempelkan selotip di ujungnya, sebagai pion jalan mereka. Lalu saya membuat 6 gulungan kertas sebagai pengganti dadu. Mereka akan jalan sesuai dengan urutan kelompok STIFIn, mengambil kertas yang dikocok, lalu menjalankan pion.
Bila pion mereka berhenti di kotak yang kosong, maka mereka berhak mendapatkan pertanyaan. Pertanyaan tersebut harus dijawab dalam waktu 5 hitungan (10 hitungan untuk soal MTK/IPA yang membutuhkan perhitungan). Bila berhasil menjawab, mereka mendapatkan 50 poin. Bila tidak, pertanyaan tidak akan dilempar dan mereka tidak mendapat poin. Bila pion mereka berhenti di kotak yang bergambar buah, maka mereka tidak mendapat pertanyaan. Bila berhenti di kotak yang ada tulisan “POIN 50” atau “POIN 100”, maka mereka mendapatkan poin tanpa perlu menjawab pertanyaan. Bila berhenti di kotak yang ada gambar ular maka ia harus turun ke kotak yang dituju ekor sang ular. Bila berhenti di kotak yang ada gambar tangganya, maka ia boleh naik ke kotak yang menjadi ujung tangga.
Peraturannya, saya tentukan waktu main, misal 1 jam. Yang berhasil mencapai finish pertama, dialah yang menang dan permainan pun berakhir, Jika sampai 1 jam, belum ada yang mencapai finish, maka pemenang adalah yang mengumpulkan poin terbanyak.
“Ibu, itu gambar bom atau apa, sih?”
Biasanya mereka akan tertarik saat melihat saya menggambar kotak-kotak dan isi dalam kotak.
“Kita mau ngapain, sih, Bu?”
Saya hanya tersenyum dan terus menggambar. Nanti ketika saya menjelaskan maksud gambar dan permainan ini, biasanya mereka akan berkomentar seperti ini,
“Ih, Ibu itu apel sama jeruknya kayak bom. Pisangnya kayak bulan sabit. Terus ularnya jelek banget ih, gak jelas.”
“Ya, soalnya Ibu gak jago gambar. Kalau Ibu jago, Ibu bukan mengajar IPA, PLH, tapi ngajar SBK. Udah, terima aja. Yang penting gamesnya seru.”
“Sini, aku yang gambarin, Bu!”
“Gak usah. Yuk, kita mulai permainannya!”
Mereka pun akan menertawakan gambar saya dan tetap asyik mengikuti pelajaran. Dan bila tiba saat permainan berakhir, biasanya mereka minta diperpanjang waktunya, bahkan menagih untuk terus bermain. Di akhir permainan, kelompok yang menang akan diberikan reward. Biasanya saya akan membelikan cokelat atau es krim.
Begitulah beragam upaya saya dalam menciptakan cara mengajar seru sehingga belajar pun seru. Sebab saya ingin menjadi “gurunya manusia”.
Menjadi “gurunya manusia” artinya harus menjadi guru yang mengajar dengan hati dan tentunya menyenangkan. Itu hal yang senantiasa saya ingat dari orangtua dan dosen saya. Mengajar dengan cinta, sehingga berhasil menjadi “dokter cinta belajar”. Sebab yang kita ajarkan, bukanlah robot. Anak didik kita adalah manusia utuh yang memiliki jiwa dan perasaan. Meski dalam tantangan di kesehariannya nyatanya tidaklah mudah.
Well… ada banyak cara untuk mengajar seru sehingga belajar pun menjadi seru dan menyenangkan. Tapi satu hal yang perlu dilakukan sebelum mencari cara itu, adalah mengondisikan hati kita agar ikhlas mengajar dan mau berupaya terbaik bagi keberhasilan anak didik. Meskipun mungkin cukup menyita waktu dan perlu banyak persiapan, latihan, serta pembelajaran. Sebab, tidak ada kata “berhenti” untuk belajar, terutama bagi gurunya manusia!
***
#Tulisan ini memenangkan hadiah Juara I di Lomba Menulis: Mengajar seru, belajar seru dalam Pekan Lomba Hari Guru Nasional di Sekolah Islam Ibnu Hajar Bogor.
##Bogor, 15 November 2017
Meta morfillah